Kamis, 19 Februari 2009

Membangun Percaya Diri


Orang tua mana yang tidak ingin anaknya, seperti bocah ajaib pengukir sejarah dunia Thomas Alva Edison, Albert Einstein, Marie Curie dan lain-lain. Atau seperti Taufik Hidayat (pemain bulu tangkis) dan pintarnya kayak BJ Habibie. Paling-tidak, anak punya semangat dan keberanian untuk mencontoh perilaku tokoh-tokoh tersebut meraih prestasi dalam hidupnya maupun mengaktualisasikan segenap kemampuan anak.

Namun kini yang jadi persoalan, bagaimana mewujudkan harapan tersebut menjadi suatu kenyataan? Jika kita perhatikan anak bermasalah dengan percaya dirinya. Anak selalu mengeluh dan mudah menyerah. Jika diminta untuk melakukan sesuatu, anak takut secara berlebihan dan merasa tak yakin dapat melakukannya. Apalagi keberanian anak, payah. Anak tak punya keberanian berkomunikasi dengan orang lain. Tidak itu saja, kita pun sering direpotkan banyak hal, karena anak tidak punya keberanian untuk melakukan/memenuhi sendiri setiap keinginan maupun kebutuhannya.

Tentunya tidak dapat dipungkiri anak yang tidak memiliki percaya diri, maka akan menghambat perkembangan prestasi intelektual, ketrampilan maupun kemandirian anak. Anak jadi tidak cakap dalam segala hal. Anak tidak punya keberanian untuk mengaktualisasikan segenap kemampuan yang dimilikinya. Kita tentu tidak menginginkan, jika anak menjadi serba tergantung pada orang lain, terutama dari orang tuanya. Kalau anak serba tergantung, bagaimana nantinya setelah dewasa?

Kalau kita ingin membentuk atau meningkatkan rasa Percaya Diri anak, maka kita harus mengetahui terlebih dahulu unsur pembentuk Percaya Diri itu, agar memudahkan kita menentukan cara yang tepat dan efektif. Perlu kita pahami PD ini tak lain, bagian karakteristik kepribadian seseorang. Sedang proses pembentukannya atau peningkatan PD ini sangat dipengaruhi oleh faktor psikis maupun keterampilan teknis yang dimiliki seseorang.

KONSEP DIRI.

Faktor psikis pembentuk PD sebagai karakteristik kepribadian sangat terkait erat dengan konsep diri seseorang. Konsep diri ini merupakan bagian inti atau penting perkembangan kepribadian seseorang karena sebagai penentu bagaimana seseorang bersikap, berpikir, bertindak dan bertingkah laku. Melalui konsep diri inilah bagaimana seseorang memandang dirinya atau bercermin untuk melakukan penilaian atau mengukur kekuatan, kesanggupan, keberanian, keberartian segenap apa yang dimilikinya. Dengan demikian, pembentukan PD ini sangat tergantung dan dipengaruhi oleh konsep diri yang dimiliki seseorang. Dengan kata lain, semakin mantap konsep diri, maka pembentukan rasa PD pun semakin positif.

Unsur membentuk konsep diri ini meliputi perpaduan lima unsur, antara lain:

1. Self control. Self control ini mengatur power atau kekuatan dorongan dan keinginan dalam diri yang menentukan kesanggupan, keyakinan, keberanian, perasaan dan emosi dalam diri. Self control dalam diri ini yang memberi pengaruh gambaran konsep diri positif atau negatif. Jika kita ingin self control anak mantap maka kita harus mampu menanamkan pentingnya cara berpikir aktif, berpikir positif, memberi aspirasi maupun ambisi yang terarah pada anak.

2. Suasana hati yang sedang dihayati. Suasana hati yang sedang dihayati ini seperti senang, bahagia, cemas, atau sedih. Gambaran keadaan suasana hati atau perasaan sangat mempengaruhi pembentukan power seseorang. Efek senang dan gembira merupakan sumber energi yang meningkatkan power atau self kontrol, sehingga pematangan konsep diri pun semakin mantap, rasa PD pun positif. Sebaliknya, perasaan terpuruk, sedih, pesimis, cemas, marah dan kesal malah membebani hati, sehingga mempengaruhi, menyedot atau menurunkan power atau self control, sehingga konsep diri pun jadi negatif dan membuat orang tidak PD. Oleh karena itu, perlu kita hembuskan perasaan riang, gembira dan senang anak dalam menghadapi berbagai kegiatan atau masalah. Kita ajarkan keterampilan mengatasi masalah pada anak, agar dirinya tidak terpuruk ke dalam kesedihan hati, agar tidak jadi pemurung dan pesimistis. Biasakan anak untuk mengembangkan senyumnya dalam menghadapi maupun mengerjakan segala sesuatu, agar dadanya lapang dan proses bernalarnya berjalan secara penuh. Ingat, senyum manis dapat meningkatkan energi psikis seseorang.

3. Citra fisik. Kondisi fisik seseorang sangat mempengaruhi suasana hati maupun self controlnya. Jika penerimaan terhadap kondisi fisik cukup memuaskan, maka suasana hati maupun self controlnya meningkat, sehingga konsep diri yang terbentuk pun positif. Misalnya, anak menyadari bentuk tubuhnya ideal, maka citra fisiknya jadi positif. Berbeda jika sebaliknya, kalau anak melihat bentuk tubuhnya tidak ideal, maka anak jadi resah dan sibuk memikirkan atau menyesali kondisi fisiknya tersebut. Alhasil, anak jadi merasa rendah diri, cemas dan sebagainya. Di sinilah tugas kita untuk membimbing anak agar mau menerima realita kondisi fisiknya. Kalau kondisi fisiknya tidak bisa diperbaiki, maka anak perlu disadarkan dan dialihkan untuk memikirkan kelebihan atau potensi lain dari dirinya. Kekurangan di satu sisi, bukan berarti menutup kemungkinan kelebihan yang dimiliki anak. Jika potensi atau kelebihan lain anak dapat dimunculkan, maka citra dirinya pun meningkat. Kekurangan yang ada pada dirinya, bukan masalah lagi dan sudah tidak berarti apa-apa lagi. Ingat setiap manusia itu ada kelebihan dan kekurangannya. Berilah contoh-contoh riil pada anak, seperti para tokoh dunia, artis, presenter yang begitu PD padahal kondisi fisiknya begitu tidak ideal.

4. Citra sosial. Salah satu unsur yang mempengaruhi pematangan konsep diri adalah bagaimana penilaian dan penerimaan lingkungan sosial terhadap diri anak. Penerimaan dan penilaian anak yang supel, cerdas dan hebat dapat meningkatkan konsep diri anak secara positif. Sebaliknya, penerimaan lingkungan yang buruk terhadap anak, seperti anak dianggap nakal, bodoh, jelek dan sebagainya dapat melukai hati anak dan diartikan sangat dalam membekas di hati anak. Anak pun jadi menilai negatif dirinya, merasa tak berharga atau tak pantas dan rendah diri. Anak jadi memiliki konsep diri negatif dan rasa percaya dirinya sangat lemah. Oleh karena itu, sikap melecehkan dan memojokkan anak patut kita hindari sejak dini.

5. Citra diri (self image). Citra diri ini merupakan gambaran yang meliputi:

b. nilai profil diri, seperti tingkat kecerdasan, status sosial, ekonomi dan peranan dalam lingkungan sosial,

c. cita-cita ideal anak yang ingin dicapai dan seberapa besar pengaruh tokoh-tokoh ideal yang diidolakan, baik yang ada di lingkungan atau idola fantasi,

d. keberartian diri (kebanggaan diri) terhadap nilai peran diri di lingkungan.

Untuk meningkatkan citra diri anak, maka anak perlu kita hargai, kita tingkatkan nilai perannya dalam lingkungan keluarga maupun pergaulannya. Jika nilai peran anak cukup berarti, maka konsep dirinya pun semakin mantap dan rasa percaya dirinya tinggi.

Perpaduan kelima unsur di atas inilah yang memberi gambaran bagaimana konsep diri terbentuk. Dengan memperhatikan kelima unsur yang membentuk konsep diri ini, maka kita dapat memperhitungkan langkah-langkah yang tepat mengarahkan pembentukan konsep diri positif pada anak agar tumbuh percaya diri anak. Sebaiknya, pembentukan karakter kelima unsur di atas dilakukan sejak dini, agar muncul persistensi (menetap) dari karakter dan sifat-sifat dasar anak. Sebab, karakter dan sifat-sifat dasar anak akan menetap pada usia remaja.

Masalah selanjutnya, adalah bagaimana memantapkan atau meningkatkan konsep diri anak? Point-point penting untuk melakukan pedekate atau langkah-langkah penting yang harus diperhatikan untuk mengatasi, merubah dan meningkatkan konsep diri positif anak:

o Jangan bertindak kasar atau memaksakan pemikiran atau kehendak.

o Lakukan pendekatan kasih sayang pada anak.

o Utamakan kesabaran dan kemauan membangun komunikasi dengan anak secara dua arah.

o Sentuhlah titik peka anak dengan kata-kata sanjungan yang membesarkan hati anak, agar dirinya mau terbuka dan mau menerima buah pikiran kita. Ingat, anak akan lebih terbuka jika diperhatikan, dipahami dan dimengerti.

o berilah dukungan emosional pada anak, seperti memeluk, mengelus rambutnya dan sebagainya.

o Untuk mendapatkan tempat dan agar ucapan kita diperhatikan anak, maka kita terlebih harus mampu memberi efek senang “ego” anak karena diperhatikan, dianggap penting, dihargai dan ditonjolkan nilai perannya, sehingga harga dirinya meningkat.

o Gali letak kelemahan anak, upayakan sikap optimis anak agar dirinya mau menghargai dirinya sendiri.

Aspek keterampilan teknis.

Suatu hal yang kadang tidak terpikirkan oleh kita dan menjadi inti masalah bagi sebahagian orang. Orang mengalami kebingungan ketika hendak melakukan sesuatu. Kebingungan bukan soal keberanian untuk berbuat atau mencoba, tetapi lebih terletak pada bagaimana proses untuk memulai sesuatu itu yang berat.

Bagi anak yang mengalami kesulitan untuk memulai berbuat sesuatu lebih disebabkan anak tidak tahu menyusun jalan pikirannya untuk melakukan proses kegiatan yang hendak dilakukan tersebut. Anak belum mampu menyusun tahapan-tahapan untuk melakukan suatu kegiatan hingga kegiatan dapat diwujudkan dan diselesaikan. Di sinilah pentingnya aspek keterampilan teknis, yaitu kemampuan menyusun kerangka berpikir dan berbuat secara terfokus, terarah dan terukur step by step untuk melakukan proses kegiatan.

Aspek keterampilan teknis tersebut meliputi pengetahuan taktis, metodis dan imajinatif.

1. Taktis. Taktis mengandung arti upaya mengarahkan proses berpikir, bertindak cepat dan efektif secara terukur dan terarah langsung menuju objek sasaran usaha. Taktis ini menunjukkan kecekatan dan keterampilan mengelola pemikiran untuk bertindak cepat dan tepat dalam memproses suatu rangsangan yang dihadapi.

Untuk melatih pengetahuan taktis ini dengan membiasakan anak mengamati atau melakukan observasi segala sesuatu secara detail.

2. Metodis, Metodis mengandung arti prosedur bagaimana cara menggerakkan proses penalaran dan tindakan efektif dalam memproses pokok masalah, sehingga dapat mengurai, menyusun, menimbang dan memecahkan pokok masalah dalam bentuk pola tindakan atau prakarsa.

Untuk melatih pengetahuan metodis, membiasakan dengan cara analisis (mengurai unsur), sintesis (menyusun) dan evaluasis (menilai). Cara efektif untuk melatih pengetahuan metodis anak dapat dilakukan dengan membiasakan memberi contoh langsung dalam penyelesaian suatu soal (masalah) atau pekerjaan atau melibatkan anak langsung dalam pemecahan masalah.

3. Imajinatif, Imajinatif mengandung arti cara berpikir kreatif dalam menelaah dan memecahkan pokok masalah dengan memperhitungkan kemungkinan yang mungkin dapat dimunculkan mengatasi pokok masalah.

Untuk memudahkan anak berpikir kreatif dalam mengobservasi atau pengamatan adalah dengan cara membayangkan gambaran bentuk objek masalah dan pikirkan unsur-unsur penting yang membentuk gambaran atau sesuatu yang dapat mempengaruhi gambaran tersebut melalui proses analisis, sintetis dan evaluasis.

Anak tak boleh ragu mengembangkan pikiran kreatifnya untuk mengkaji berbagai kemungkinan dari banyak sisi dalam mencari kunci jawaban masalah yang dihadapinya (Kalau begini bagaimana ya? Atau kalau begitu bagaimana ya jadinya? Kalau dibuat seperti ini, bagaimana jadinya dan bagaimana mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan lain yang terjadi ya? Kalau mereka tidak setuju dengan usul saya ini, alternatif lain bagaimana yang bagus saya kemukakan pada mereka ya? Dari banyak alternatif ini, mana yang terbaik dan pantas dikemukakan?).

Kini sudah saatnya, kita memikirkan dan meningkatkan kualitas interaksi dengan anak dan kualitas interaksi yang sengaja diaktualisasikan atau dimunculkan secara terencana dan sistematis untuk membentuk persistensi karakter dan sifat dasar anak sejak dini. Karena menurut para ahli psikologi perkembangan persistensi karakter dan sifat dasar anak mulai menetap ketika anak memasuki usia remaja. Begitu juga, jika kita menghendaki anak memiliki sifat-sifat dasar yang menunjang kemampuan percaya dirinya, maka rencanakanlah pola interaksi yang konstruktif dengan anak sejak dini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar