Senin, 03 Januari 2022

Kekurangan Bukan Akhir Dari Segala-galanya

 


Bab 1  

Rasa Sepi, Terhina dan Tersisih Di Tengah Keramaian…

Hendi berdiri mematung di bawah pohon Kiara payung yang rindang di halaman sekolah. Matanya melotot marah memperhatikan teman-teman sekolahnya yang mencibir, sembari berteriak dan berlarian mengitari dirinya.

“Bla…bla…bla…Hendi gagap, Hendi gagap, Hendi gagap…” teriak mereka bersahutan. Mereka selalu menjadikan Hendi sebagai bahan olok-olokan saban hari, terutama Hartono.

Ketidakmampuan Hendi untuk berbicara secara normal seperti layaknya Hartono dan kawan-kawannya atau alias gagap, hingga jadi sasaran empuk ejekan mereka. Setiap istirahat sekolah merupakan saat yang sangat menyakitkan dan menyesakkan dada Hendi. Berbeda dengan teman-temannya yang lain menyambut waktu istirahat dengan sukacita, berlarian sambil bermain dan ada yang memanfaatkan waktu dengan bercanda, jajan serta mengobrol ala anak-anak yang mengasyikan.

Sementara, di SDN 120 Medan yang terletak di perempatan jalan Gunung Krakatau dengan Jalan Bilal Medan itu terlihat Hartono, anak seorang bintara TNI itu punya pengaruh yang dominan di tengah-tengah teman sekelasnya. Dia selalu mengomando teman-temannya untuk memperolok-olok Hendi. Seperti saat itu, murid-murid kelas 5 SDN 120 Medan bergerombol berlarian mengitari Hendi, sambil  mengejek.

Hendi gondok bukan main, terlihat wajahnya berkerut-kedut dan matanya mencorong tak lekang dari wajah Hartono yang jadi motor penggerak teman-temannya sekelas menghina dirinya. Saking marahnya, leher Hendi terasa tersekat tak mampu bicara sama sekali. Ada keinginan dalam hati Hendi untuk menghajar Hartono, agar mereka semua menghentikan olok-olokannya. Walau kondisi fisiknya tak memungkinkan Hendi untuk meradang karena badannya sedikit lebih kecil dari Hartono, namun amarahnya sudah menguasai isi alam pikirnya. Makanya, secara perlahan-lahan Hendi mendekati Hartono.

Hartono dapat membaca maksud Hendi mendekati dirinya. Wow! Ternyata, Badan Hartono yang lebih besar tidak membuat nyalinya lebih besar. Dirinya gentar juga lihat kenekatan Hendi. Terutama tuh…mata Hendi yang mencorong seperti terbakar api amarah. Makanya, Hartono langsung mencari dukungan. Dia pun menoleh memberi isyarat dengan ekor matanya pada temannya, Gito, Sonson dan Kendo. Ketiga temannya itu cepat tanggap melihat keinginan Hartono untuk layani kemarahan Hendi. Mereka segera menghampiri Hartono. Mereka berdiri sejajar di  sisi kanan-kiri Hartono dan siap untuk menghadang Hendi.  Mereka siap mengeroyok Hendi.

Wah! Hendi menghentikan langkahnya. Dia berpikir, tidak mungkin ia menghadapi Hartono dan kawan-kawannya sekaligus. Itu tindakan konyol,  bisik hatinya. Akhirnya ia terpaksa memutuskan untuk mengalah dan masuk ke dalam kelas saja. Namun, seketika langkahnya terhenti takkala dengan sigap Hartono dan kawan-kawannya menghadang gerak langkahnya. Hartono cs tak membiarkan pemuas ego yang mengasyikan mereka berlalu…

“Hweee…gagap mau ke mana kau…!” hardik Hartono, sambil mengejek. Kedua tangan Hartono menggerak-gerakkan kedua daun telinganya dan menjulurkan lidahnya, mengejek. Begitu juga dengan Gito, Sonson dan Kendo melakukan hal yang sama.

“Ayo ngomong kau… Jangan melotot aja kau bisanya…!”sambung Kendo.

Kemarahan Hendi hampir meledak. Dadanya kembang-kempis menahan gejolak hatinya. Dia siap meradang Hartono dan kawan-kawannya. Hendi sudah tidak peduli kekuatan lawan lagi. Nafsu amarahnya sudah tak terbendung, tangannya terkepal itu langsung diayunkan ke wajah Hartono. Hartono dengan sigap berkelit. Tubuh Hendi terhuyung ke depan. Tiba-tiba Gito mendorong tubuh Hendi dari belakang. Alhasil, Hendi terjatuh terjengkang. Kesempatan ini tak dilewatkan Hartono, makanya dia bermaksud menginjak tubuh Hendi yang sudah tak berdaya…

 Tapi, tiba-tiba muncul Ibu Guru Erika, guru kelas mereka menghardik.

“Hartono hentikan!!!” teriak Ibu Guru Erika melerai pertikaian mereka. Ibu Guru Erika menghampiri Hartono dan Hendi. Teman-teman Hartono langsung mengkeret dan segera melangkahkan kakinya menjauhi Hartono dan Hendi. Mereka takut memperoleh hukuman dari Ibu Guru Erika yang sangat galak itu. Tanpa tedeng aling-aling Ibu Guru Erika langsung menjewer telinga Hartono maupun Hendi. Seketika wajah Hartono menjadi pucat pasi, ketakutan. Sementara mata Hendi berkaca-kaca.

“Awas kalian kalau berkelahi lagi!!!” ancam Ibu Guru Erika. Sebenarnya Ia tahu biang keributan, yaitu Hartono. Ibu Guru Erika sangat prihatin dan kasihan pada Hendi karena cacatnya itu, dia selalu dijadikan objek ejekan dan mainan teman-temannya sekelas. “Dan kamu Hartono… Ibu harap kamu belajar menghargari sesama temanmu! Kekurangan yang dimiliki temanmu jangan kamu jadikan objek olok-olokan, ngerti!!!” sambung Ibu Guru Erika. Hartono menganggukkan kepalanya, sambil menunduk.

“Nah, sekarang kamu Hartono segera minta maaf ama Hendi…!” perintah Ibu Guru Erika. Hartono menjulurkan tangannya pada Hendi, sambil menundukkan kepalanya. Begitu juga, Hendi segera menyambut tangan Hartono. Dijabatnya tangan Hartono dan disaksikan oleh Ibu Guru Erika serta teman-temannya sekolahnya yang berkerumun mengelilingi mereka.

Begitu kedua tangan mereka saling berjabat tangan, terdengar riuh suara tepukan tangan teman-temannya sekolah. Namun, suara tepukan tangan itu terdengar di telinga Hartono seperti palu-godam, menyakitkan. Suatu penghinaan bagi dirinya. Niat baik Ibu Guru Erika itu disalah-artikan oleh Hartono. Hati Hartono tidak terima ia dipermalukan seperti itu  di depan teman-temannya.

Rasa sakit hati Hartono itu dipendamnya rapat-rapat, agar Ibu Guru Erika tidak mengetahuinya. Ada keinginan dalam hati Hartono untuk membuat perhitungan dengan Hendi kelak.

Tak lama kemudian Ibu Guru Erika meninggalkan Hendi dan Hartono menuju kantor Kepala Sekolah. .Begitu juga, teman-teman sekolah lainnya pada berhamburan bermain kembali di halaman sekolah. Tinggallah Hendi dan Hartono berdua saling berhadapan. Hartono menatap tajam wajah Hendi dan melangkahkan kakinya berlalu. Ketika berselisih, Hartono dengan sengaja menyenggol tubuh Hendi dengan bahunya, sambil bergumam.

“Awas kau nanti…!”

Hendi termangu dengar ancaman Hartono. Dirinya tidak gentar menghadapi Hartono seorang, namun yang Hendi cemaskan adalah tindakan Hartono yang suka main keroyokan. Sesuatu yang Hendi tidak mengerti mengapa dirinya selalu dimusuhi dan dijauhi teman-temannya??? Apa salah dirinya??? Apa karena cacatnya ini, sehingga ia tidak layak bergaul dengan mereka??? Apa cacatnya ini menular, hingga ia dijauhi? Demikian segala pertanyaan berkecamuk dalam benaknya Hendi. Akhirnya ia terduduk lemas di bawah pohon Akasia Payung, satu dari tiga pohon besar yang ada di halaman sekolahnya itu. Pandangan Hendi menerawang jauh menembus keramaian anak-anak yang asyik bermain dan bercanda di halaman sekolah SDN 120 Medan itu.

Kelanjutan kisahnya yok baca di link: KBM  sebuah aplikasi di play store.

Bisikan Yang Menggoda


 Bab 1

Kesan Pertama. Hatiku begitu berbunga-bunga. Aku tak sabar ingin segera sampai di rumah pemondokanku. Aku ingin tumpahkan gejolak hatiku pada Ratna, teman sekamarku. Memang dengannya aku suka berbagi rasa. Pasti dia akan terheran-heran dan penasaran dengar berita dariku. Dengan setengah berlari, aku bergegas menyelusuri lorong-lorong sempit menuju rumah pemondokan. Aku yakin Ratna telah lebih dahulu sampai daripadaku.

Rumah pemondokanku itu memang tak begitu jauh dari tempatku kuliah. Namun untuk mencapainya, aku harus berlompat-lompat kecil menghindari jalanan yang becek, agar sepatu maupun celana panjangku tidak ternoda oleh lumpur. Maklumlah aku harus memilih rumah pemondokan yang sederhana dan murah, sesuai dengan kocekku. Sebenarnya aku pun kepingin sih, tinggal di rumah pemondokan yang mewah, seperti di Griya Kencana di Setia Budi Medan itu loh… Namun apa daya, itu seperti mimpi rasanya. Tapi, sudahlah aku tak perlu merisaukan masalah tempat pemondokan itu. Toh, aku masih bisa menjalani perkuliahanku tanpa ada masalah, ya-nggak?

Akhirnya, sampai juga aku di ujung gang Dahlia, tepat di depan rumah pemondokanku. Aku lihat induk semangku dengan ciri khasnya mengunyah daun sirih beserta remeh-remehnya sedang duduk di kursi malasnya. Aku begidik, melihat warna merah yang meleleh di selah-selah sudut bibirnya itu. Memang aneh, di zaman semodern begini, masih ada saja yang nginang daun sirih bercampur remeh-remehnya begitu. Apa seperti candu, ya nikmatnya? Tapi, yah memang aneh. Coba lihat induk semangku itu masih memiliki gigi yang utuh. Padahal usianya sudah kepala tujuh gitu. Aneh-nggak? Tapi sudahlah, mengapa kita harus pusing-pusing mikirin itu. Sementara aku harus dapat menyesuaikan diri terhadap kebiasaan induk semangku itu, karena hanya rumah pemondokan ini yang tarifnya paling murah.

“Daaa Amangboru, Ratna sudah pulang?” sapaku, sambil bertanya tentang sahabat karibku itu.

Induk semangku itu menoleh dan dengan gaya dia menurunkan kaca mata kunonya, hanya sekedar untuk memperhatikanku. Sorot matanya mencorong. Maklumlah, memang matanya sudah kabur berat, seiring dengan usianya yang sudah tujuh puluhan itu.

“Oh, kaunya itu Ana?” dia balik tanya. Namun belum sempat aku jawab. Lanjutnya, “Tadi, Ratna juga menanyakanmu. Aku kira dia ada di kamarnya sekarang. Oya si Andrewpun, tadi meminta  kamu segera menemuinya di Medan Plaza jam 6 sore nanti!!!”      

“Oya! Terima kasih Amangboru. Aku tinggal dulu ya Amang…!” jawabku sekedar basa-basi. Tanpa menunggu reaksi Induk semangku itu, aku langsung bergegas menuju ke kamar pemondokanku. Memang aku sengaja untuk menghindari pembahasan tentang si Andrew, cucunya itu yang buat aku sebal sekali.

“Ana jangan kamu kecewakan cucuku itu, ya!” teriak induk semangku itu.

“Huuu!” dengusku menghalau teriakan induk semangku itu. Aku tidak ingin ucapan induk semangku itu  mempengaruhi perasaanku yang lagi berbunga-bunga. Rasanya saat ini hatiku hampir meledak, tak sabar menyampaikan kabar gembira ini pada Ratna. Aku tidak peduli dengan si Andrew, si penuntut dan sok pengatur itu. 

Begitu Ratna membuka pintu kamar pemondokan, langsung saja aku cengkram kedua tangannya dan aku brondong dengan suara ceria. ”Aku punya kabar gembira, Rat! Coba apa tebak?”

Ratna pun langsung menatapku. Keningnya mengernyit, heran. Tak biasanya dia melihat aku pulang dengan begitu ceria.

“Tumben, kamu begitu ceria Ana? Kabar Apa lagi  yang kamu bawa hari ini?” sambutnya, sembari memeluk pinggangku.

“Kamu tau nggak, aku tadi ketemu arjuna mencari cinta loh!”

“Ah, arjuna kamu bilang? Apa bukan keledai Ana?” sela Ratna. Lalu Ratna melepaskan pelukannya dan melangkahkan kakinya menuju ranjangnya.

“Ini super beda Rat,” ujarku.

 “Alaaa, apa sih bedanya bagimu Ana? Bukankah kamu sudah punya Andrew dan Gilang? Mau apa lagi kamu?” komentar Ratna, sembari meletakkan buku novel yang baru dibacanya. Ratnapun lalu duduk di sisi ranjangnya dan bersandar di daun ranjang, sembari memperhatikanku yang sedang meletakkan buku di atas meja belajarku. Ratna menjadi penasaran juga melihat sikapku. Dia merasa iri melihat aku dapat mengeksploitasi diriku. Sebenarnya, dia ingin memiliki karakter yang kuat dan dapat membuat cowok terpesona, tidak hanya mengandalkan kecantikan semata. Harus ada kekuatan yang menonjol memancar  dari dalam diri, sebagai ciri  khas gitu, batin Ratna.

Sementara itu, aku sungguh sumringah dengar komentar Ratna. Dia tau betul aku suka sekali mempermainkan perasaan laki-laki, terutama terhadap laki-laki yang mudah aku perdaya oleh kerupawanan dan kekuatan khasku. Tanpa menoleh aku menyelanya. “Ah, jangan cepat berburuk-sangka begitulah kawan! Ini yang aku temukan di dalam perpustakaan kampus beda loh. Jika aku katakan padamu, pasti kamu tidak akan percaya!”

“Ooo kelihatannya apa dia begitu spesial? Apa dia laki-laki sejati seperti yang kamu impi-impikan itu?” berondong Ratna sinis.

Aku tidak menanggapi pertanyaan Ratna yang bernada sumbang itu. Aku jatuhkan tubuhku di atas ranjang. Pikiranku melayang mengingat dan membayangkan pertemuan itu. Hatiku rasanya berbunga-bunga, melihat cara dia memandangku, sikapnya dan senyumannya yang menyejukkan hati, terutama tutur katanya yang membuat diriku terlena. Dia mampu baca apa yang ada di dalam dadaku. Dia sungguh menghargai aku, memperlakukan aku dengan penuh perhatian. Di matanya tidak aku temukan sikap dan perangai laki-laki yang suka memperdaya kaum perempuan. Aku ingin sekali dekat dengan dirinya, merebahkan kepalaku di dadanya yang bidang itu, tentu begitu asyik sekali. Aku rasa dirinya laki-laki yang mampu membimbing diriku untuk melepaskan beban deritaku dan kehausanku akan belaian kasih sayang yang sesungguhnya dari seorang laki-laki sejati. Tapi yang menjadi tanda tanya dalam benakku, apa dia memiliki perasaan yang sama dengan apa sedang aku rasakan ini ya?

Saat itu, aku betul-betul sedang kesal sekali di dalam ruangan perpustakaan kampusku. Aku tak menemukan buku yang aku cari. Padahal, aku sedang diburu waktu untuk menyelesaikan tugas yang diberikan dosen killerku, Bapak M. Sianturi yang menyebalkan itu. Dia selalu memberi beban tugas dalam waktu mepet sekali. Di mana bahan literaturnya sangat langka lagi. Apalagi dia sudah mengultimatum barang siapa yang tidak menyelesaikan tugas yang diberikan ini, maka jangan harap dapat lulus mata kuliah yang diasuhnya itu. Tabu baginya tawar-menawar. Untuk mengantisipasi ancaman Dosen Killerku itu, maka aku sudah mengumpulkan setumpuk buku psikologi pendidikan di hadapanku. Namun dari sederet buku yang aku kumpulkan ini tak satupun yang membahas mengenai cara mengatasi kesulitan belajar seperti yang diinginkan Bapak M. Sianturi itu. Padahal sudah semua buku aku bolak-balik, halaman demi halaman.

Tanpa aku sadari secara refleks aku lampiaskan kekesalanku dengan mengetuk-ngetuk ujung pulpenku di atas buku tulisku. Akibat perbuatanku itu, membuat seseorang yang duduk di hadapanku merasa terganggu juga.

Untuk kelanjutan kisahnya yok baca dan klik: KBM di play store.
#novelromance 
#kekasihsejati

Ilmu Penakluk Cewek



 Bab 1

“Wouuu…!” Tanpa sadar decak kagum meluncur dari bibir cowok keren itu.

 Yeah, tumben itu cowok! Matanya blingsatan juga lihat cewek yang satu ini, kayak gak pernah lihat cewek cakap saja. Atau cewek yang satu memang benar-benar beda kali. Dadanya pun berdebar-debar kencang pandang itu cewek. Dari balik kaca mobil, ia menatap ke arah cewek yang baru melintas di hadapannya. Dia pun jadi penasaran banget, ingin kenal itu cewek. Phuih, angannya…! Padahal cowok keren itu, tahunya hanya buku melulu lho... Aneh-nggak, kalau cowok keren itu belum pernah lakukan pedekate ama cewek?! Lucunya, dia sudah jadi anak kuliahan, semester lima lagi.  Huh, siapa yang mau percaya, tapi itu kenyataannya bookish…bookish!!! Ketika itu jam perkuliahan sedang berlangsung dan suasananya sangat hening sekali. Kebetulan dia sedang menanti seseorang di tempat parkir kampus itu. Hanya sayup-sayup terdengar ke luar suara Dosen menerangkan materi perkuliahan. Cuaca pun pagi itu sangat cerah mengiringi langkah itu cewek. Langkahnya begitu ringan…

Angan itu cowok terus menggoda dan matanya gak lekang memperhatikan itu cewek, sampai-sampai dia menjulurkan kepalanya keluar lewat jendela mobilnya. Sementara, cewek itu meleburkan diri ama teman-temannya di depan ruang perkuliahan anak sastra. Dilihatnya itu cewek dengan gembira setengah bercengkerama ama teman-temannya. Pendek kata, gerak-gerik tubuh itu cewek buat jatuh bangun hatinya...

Sementara itu, Toro temannya cowok itu muncul. Wow…! Dia begitu terbelalak lihat gerak-gerik aneh itu cowok. Toro menoleh lihat tu cewek yang jadi perhatian temannya. Toro pun setengah terpesona juga gitu lihat dengan jelas wajah cewek yang menggoda hati temannya itu. Sesaat kemudian, Toro menoleh memperhatikan temannya kembali. Dia langsung tersenyum geli lihat temannya yang satu ini. Makanya, timbul niat jailnya untuk menggoda itu cowok. Toro dengan berjingkat-jingkat menghampiri sobatnya itu.

“Hai Ridho!!! Siapa pula yang kamu perhatikan dari tadi tuh?” Tiba-tiba Toro dengan wajah kocaknya menegur dan menodong dengan jarinya, mengejuti dari balik mobil, sambil buka pintu mobil sebelah kiri.

Ridho pun tersentak dan terduduk, angannya langsung buyar. Dia langsung menoleh. Wow! Wajah Ridho langsung merah-padam, jengah. Namun, ada kesal di wajahnya. “Ah, kamu ganggu saja Toro!” gerutu Ridho.

“Payah kamu! Gak bisa buat orang senang dikit saja.”

 “Alaaa, janganlah kamu marah. Gak biasanya kamu seperti ini,” kilah Toro ringan, sambil menampar bahu Ridho. Lantas, Toro pun menggoda dengan pura-pura melongok ke arah kumpulan cewek yang telah mengusik hati Ridho, “Emangnya siapa sih yang telah menggoda hatimu itu?”

Ridho pun gak ingin menutupi gejolak hatinya, tatkala Toro menggodanya. Dia langsung tersenyum. Dia yakin Toro pun pasti akan mengagumi itu cewek yang telah menggetarkan hatinya.

“Toro, kamu kenal cewek yang baju pink itu?” Ridho balik tanya, sambil menunjuk ke arah cewek berbaju pink dan bercelana jeans merah jambu merk Lee Cooper yang berada di koridor ruang perkuliahan anak sastra.

“Oh itu, cewek yang telah menarik perhatianmu tadi! Wow…cakep juga tuh cewek, Dho! Tapiii…aku nggak kenal dia.”

Yeah! Dugaan Ridho nggak meleset, ternyata Toro terpesona juga, gitu lihat wajah itu cewek. Apalagi, cewek itu begitu menonjol di antara teman-temannya. Makanya, tanpa sadar decak kagum meluncur dari bibir Toro.

“Ck…ck…ck…!”

Sesaat kemudian, Toro noleh memperhatikan Ridho. Dia jadi tersenyum lihat wajah Ridho. Dia tahu betul, Ridho belum pernah nembak cewek, keberaniannya dikit payah. Selama ini Ridho suka memendam perasaan kagumnya ama cewek. Di otaknya hanya ada kamus belajar-belajar melulu! Wajarlah kalau Ridho sampai hari gini belum punya pacar… Walau boleh dibilang pergaulannya nggak ada masalah tuh. Kesempatan ini nggak boleh dibiarkan, batin Toro. Dengan setengah meledek dia berkata, “Tapi kamu punya nyali nggak tuk dekati tuh cewek?”

“Sontoloyo kamu, Toro! Jangan remehin aku!!!” sergah Ridho, sambil memalingkan wajahnya.

Tahu nggak? Wajah Ridho memerah. Dia jadi tersenyum kecut. Gemas hatinya dengar ledekan sahabat karibnya itu.

“Buktiinlah…kalau kamu berani!!!” timpal Toro, sambil menyeringai.

“Oke! Kalau aku berhasil dapatkan tuh cewek, apa taruhannya?” tantang Ridho. Hatinya semakin panas, diledek oleh Toro.

“Oh, kamu mau unjuk nyali rupanya!” sambut Toro setengah tertawa. “Boleh juga tuh…! Kalau kamu berhasil gaet tuh cewek, akan kutraktir kamu sebulan. Terserah kamu pilih, mau makan bakso, hamburger atau yang lainnya. Tapiii… kamu harus buktikan kemampuanmu ini dalam waktu dua Minggu,”

Wow…! Ridho jadi garuk-garuk kepala. Tapi gitu lihat Toro cengar-cengir langsung Ridho berkata mantap.

“Aku terima tantanganmu!!!”

Lalu Ridho pun mengusungkan tangannya menyambut tantangan Toro.

“Oke, deal!!!”

Toro pun menyambut tangan Ridho dan tersenyum. Dalam hati dia menertawai Ridho. Lalu Toro menepuk bahu Ridho mengalihkan perhatiannya.

 “Nah, sekarang buruan. Entar kita nggak ketemu Ibu Mega lagi di rumahnya.”

Kebetulan memang mereka berdua bermaksud untuk temui Ibu Mega, Dosen Pembimbingnya.

Dengan terpaksa Ridho menstarter mobilnya dan segera beranjak dari pelataran parkir kampus itu. Ridho merasa berat mengalihkan perhatiannya, sukmanya benar-benar sudah terbetot ama itu cewek. Apalagi Ridho, yang namanya pacaran belum pernah dia lakukan. Lihat cewek yang telah memikat hati, tentu terasa berat untuk meninggalkannya. Kalau dia boleh pilih, ingin rasanya untuk menghampiri cewek yang telah menggoda hatinya itu, ketimbang temui Dosen Pembimbingnya yang dikenal galak. Hati Ridho pun semakin gundah. Apalagi tiba-tiba di tengah jalan, Toro berkomentar.

 “Paling-paling, kamu patah hati Dho?”

“Mengapa pula kamu berkata seperti itu Toro?” Dipandangnya wajah Toro dengan penasaran.

“Aku gak bermaksud ngecilkan hatimu, Dho. Aku hanya sekedar ingatkan kamu. Kayaknya cewek tadi, bukan sembarang cewek deh. Dari gayanya kulihat dia cewek yang sudah matang. Aku yakin banyak cowok yang telah berlabuh di hatinya.”

“Alaaa, jangan berprasangkalah kamu, Toro! Sebelum janur kuning menghias di depan rumahnya, berarti kan masih ada peluang, Toro,” kilah Ridhco, membesarkan hati. Dia pun tersenyum kecut. Apa pun yang dikatakan Toro, maka Ridho sudah nggak peduli. Dia telah bertetapan hati untuk mengenal itu cewek. Dia pun menduga, paling-paling Toro sengaja untuk melemahkan hatinya saja, agar kalah taruhan.

“Aku kasihan ama kamu, Ridho. Otakmu boleh kuakui, tapi masalah cewek, kamu itu seperti bau kencur. Entar kamu salah pilih lagi,” ujar Toro memanas-manasi Ridho.

 “Sudahlah Toro, gak perlu jeles gitu ah,” tukas Ridho. Ridho nggak ingin dipojokkan Toro terus. Walau dia gak dapat memungkiri ucapan Toro itu.

“Ya sudah, terserah kamu lah! Kamu yang menjalani ini!” sahut Toro menutup pembicaraan.

Untuk kelanjutan kisahnya dapat diperoleh di Aplikasi: KBM di play store.