Senin, 03 Januari 2022

Kekurangan Bukan Akhir Dari Segala-galanya

 


Bab 1  

Rasa Sepi, Terhina dan Tersisih Di Tengah Keramaian…

Hendi berdiri mematung di bawah pohon Kiara payung yang rindang di halaman sekolah. Matanya melotot marah memperhatikan teman-teman sekolahnya yang mencibir, sembari berteriak dan berlarian mengitari dirinya.

“Bla…bla…bla…Hendi gagap, Hendi gagap, Hendi gagap…” teriak mereka bersahutan. Mereka selalu menjadikan Hendi sebagai bahan olok-olokan saban hari, terutama Hartono.

Ketidakmampuan Hendi untuk berbicara secara normal seperti layaknya Hartono dan kawan-kawannya atau alias gagap, hingga jadi sasaran empuk ejekan mereka. Setiap istirahat sekolah merupakan saat yang sangat menyakitkan dan menyesakkan dada Hendi. Berbeda dengan teman-temannya yang lain menyambut waktu istirahat dengan sukacita, berlarian sambil bermain dan ada yang memanfaatkan waktu dengan bercanda, jajan serta mengobrol ala anak-anak yang mengasyikan.

Sementara, di SDN 120 Medan yang terletak di perempatan jalan Gunung Krakatau dengan Jalan Bilal Medan itu terlihat Hartono, anak seorang bintara TNI itu punya pengaruh yang dominan di tengah-tengah teman sekelasnya. Dia selalu mengomando teman-temannya untuk memperolok-olok Hendi. Seperti saat itu, murid-murid kelas 5 SDN 120 Medan bergerombol berlarian mengitari Hendi, sambil  mengejek.

Hendi gondok bukan main, terlihat wajahnya berkerut-kedut dan matanya mencorong tak lekang dari wajah Hartono yang jadi motor penggerak teman-temannya sekelas menghina dirinya. Saking marahnya, leher Hendi terasa tersekat tak mampu bicara sama sekali. Ada keinginan dalam hati Hendi untuk menghajar Hartono, agar mereka semua menghentikan olok-olokannya. Walau kondisi fisiknya tak memungkinkan Hendi untuk meradang karena badannya sedikit lebih kecil dari Hartono, namun amarahnya sudah menguasai isi alam pikirnya. Makanya, secara perlahan-lahan Hendi mendekati Hartono.

Hartono dapat membaca maksud Hendi mendekati dirinya. Wow! Ternyata, Badan Hartono yang lebih besar tidak membuat nyalinya lebih besar. Dirinya gentar juga lihat kenekatan Hendi. Terutama tuh…mata Hendi yang mencorong seperti terbakar api amarah. Makanya, Hartono langsung mencari dukungan. Dia pun menoleh memberi isyarat dengan ekor matanya pada temannya, Gito, Sonson dan Kendo. Ketiga temannya itu cepat tanggap melihat keinginan Hartono untuk layani kemarahan Hendi. Mereka segera menghampiri Hartono. Mereka berdiri sejajar di  sisi kanan-kiri Hartono dan siap untuk menghadang Hendi.  Mereka siap mengeroyok Hendi.

Wah! Hendi menghentikan langkahnya. Dia berpikir, tidak mungkin ia menghadapi Hartono dan kawan-kawannya sekaligus. Itu tindakan konyol,  bisik hatinya. Akhirnya ia terpaksa memutuskan untuk mengalah dan masuk ke dalam kelas saja. Namun, seketika langkahnya terhenti takkala dengan sigap Hartono dan kawan-kawannya menghadang gerak langkahnya. Hartono cs tak membiarkan pemuas ego yang mengasyikan mereka berlalu…

“Hweee…gagap mau ke mana kau…!” hardik Hartono, sambil mengejek. Kedua tangan Hartono menggerak-gerakkan kedua daun telinganya dan menjulurkan lidahnya, mengejek. Begitu juga dengan Gito, Sonson dan Kendo melakukan hal yang sama.

“Ayo ngomong kau… Jangan melotot aja kau bisanya…!”sambung Kendo.

Kemarahan Hendi hampir meledak. Dadanya kembang-kempis menahan gejolak hatinya. Dia siap meradang Hartono dan kawan-kawannya. Hendi sudah tidak peduli kekuatan lawan lagi. Nafsu amarahnya sudah tak terbendung, tangannya terkepal itu langsung diayunkan ke wajah Hartono. Hartono dengan sigap berkelit. Tubuh Hendi terhuyung ke depan. Tiba-tiba Gito mendorong tubuh Hendi dari belakang. Alhasil, Hendi terjatuh terjengkang. Kesempatan ini tak dilewatkan Hartono, makanya dia bermaksud menginjak tubuh Hendi yang sudah tak berdaya…

 Tapi, tiba-tiba muncul Ibu Guru Erika, guru kelas mereka menghardik.

“Hartono hentikan!!!” teriak Ibu Guru Erika melerai pertikaian mereka. Ibu Guru Erika menghampiri Hartono dan Hendi. Teman-teman Hartono langsung mengkeret dan segera melangkahkan kakinya menjauhi Hartono dan Hendi. Mereka takut memperoleh hukuman dari Ibu Guru Erika yang sangat galak itu. Tanpa tedeng aling-aling Ibu Guru Erika langsung menjewer telinga Hartono maupun Hendi. Seketika wajah Hartono menjadi pucat pasi, ketakutan. Sementara mata Hendi berkaca-kaca.

“Awas kalian kalau berkelahi lagi!!!” ancam Ibu Guru Erika. Sebenarnya Ia tahu biang keributan, yaitu Hartono. Ibu Guru Erika sangat prihatin dan kasihan pada Hendi karena cacatnya itu, dia selalu dijadikan objek ejekan dan mainan teman-temannya sekelas. “Dan kamu Hartono… Ibu harap kamu belajar menghargari sesama temanmu! Kekurangan yang dimiliki temanmu jangan kamu jadikan objek olok-olokan, ngerti!!!” sambung Ibu Guru Erika. Hartono menganggukkan kepalanya, sambil menunduk.

“Nah, sekarang kamu Hartono segera minta maaf ama Hendi…!” perintah Ibu Guru Erika. Hartono menjulurkan tangannya pada Hendi, sambil menundukkan kepalanya. Begitu juga, Hendi segera menyambut tangan Hartono. Dijabatnya tangan Hartono dan disaksikan oleh Ibu Guru Erika serta teman-temannya sekolahnya yang berkerumun mengelilingi mereka.

Begitu kedua tangan mereka saling berjabat tangan, terdengar riuh suara tepukan tangan teman-temannya sekolah. Namun, suara tepukan tangan itu terdengar di telinga Hartono seperti palu-godam, menyakitkan. Suatu penghinaan bagi dirinya. Niat baik Ibu Guru Erika itu disalah-artikan oleh Hartono. Hati Hartono tidak terima ia dipermalukan seperti itu  di depan teman-temannya.

Rasa sakit hati Hartono itu dipendamnya rapat-rapat, agar Ibu Guru Erika tidak mengetahuinya. Ada keinginan dalam hati Hartono untuk membuat perhitungan dengan Hendi kelak.

Tak lama kemudian Ibu Guru Erika meninggalkan Hendi dan Hartono menuju kantor Kepala Sekolah. .Begitu juga, teman-teman sekolah lainnya pada berhamburan bermain kembali di halaman sekolah. Tinggallah Hendi dan Hartono berdua saling berhadapan. Hartono menatap tajam wajah Hendi dan melangkahkan kakinya berlalu. Ketika berselisih, Hartono dengan sengaja menyenggol tubuh Hendi dengan bahunya, sambil bergumam.

“Awas kau nanti…!”

Hendi termangu dengar ancaman Hartono. Dirinya tidak gentar menghadapi Hartono seorang, namun yang Hendi cemaskan adalah tindakan Hartono yang suka main keroyokan. Sesuatu yang Hendi tidak mengerti mengapa dirinya selalu dimusuhi dan dijauhi teman-temannya??? Apa salah dirinya??? Apa karena cacatnya ini, sehingga ia tidak layak bergaul dengan mereka??? Apa cacatnya ini menular, hingga ia dijauhi? Demikian segala pertanyaan berkecamuk dalam benaknya Hendi. Akhirnya ia terduduk lemas di bawah pohon Akasia Payung, satu dari tiga pohon besar yang ada di halaman sekolahnya itu. Pandangan Hendi menerawang jauh menembus keramaian anak-anak yang asyik bermain dan bercanda di halaman sekolah SDN 120 Medan itu.

Kelanjutan kisahnya yok baca di link: KBM  sebuah aplikasi di play store.

Bisikan Yang Menggoda


 Bab 1

Kesan Pertama. Hatiku begitu berbunga-bunga. Aku tak sabar ingin segera sampai di rumah pemondokanku. Aku ingin tumpahkan gejolak hatiku pada Ratna, teman sekamarku. Memang dengannya aku suka berbagi rasa. Pasti dia akan terheran-heran dan penasaran dengar berita dariku. Dengan setengah berlari, aku bergegas menyelusuri lorong-lorong sempit menuju rumah pemondokan. Aku yakin Ratna telah lebih dahulu sampai daripadaku.

Rumah pemondokanku itu memang tak begitu jauh dari tempatku kuliah. Namun untuk mencapainya, aku harus berlompat-lompat kecil menghindari jalanan yang becek, agar sepatu maupun celana panjangku tidak ternoda oleh lumpur. Maklumlah aku harus memilih rumah pemondokan yang sederhana dan murah, sesuai dengan kocekku. Sebenarnya aku pun kepingin sih, tinggal di rumah pemondokan yang mewah, seperti di Griya Kencana di Setia Budi Medan itu loh… Namun apa daya, itu seperti mimpi rasanya. Tapi, sudahlah aku tak perlu merisaukan masalah tempat pemondokan itu. Toh, aku masih bisa menjalani perkuliahanku tanpa ada masalah, ya-nggak?

Akhirnya, sampai juga aku di ujung gang Dahlia, tepat di depan rumah pemondokanku. Aku lihat induk semangku dengan ciri khasnya mengunyah daun sirih beserta remeh-remehnya sedang duduk di kursi malasnya. Aku begidik, melihat warna merah yang meleleh di selah-selah sudut bibirnya itu. Memang aneh, di zaman semodern begini, masih ada saja yang nginang daun sirih bercampur remeh-remehnya begitu. Apa seperti candu, ya nikmatnya? Tapi, yah memang aneh. Coba lihat induk semangku itu masih memiliki gigi yang utuh. Padahal usianya sudah kepala tujuh gitu. Aneh-nggak? Tapi sudahlah, mengapa kita harus pusing-pusing mikirin itu. Sementara aku harus dapat menyesuaikan diri terhadap kebiasaan induk semangku itu, karena hanya rumah pemondokan ini yang tarifnya paling murah.

“Daaa Amangboru, Ratna sudah pulang?” sapaku, sambil bertanya tentang sahabat karibku itu.

Induk semangku itu menoleh dan dengan gaya dia menurunkan kaca mata kunonya, hanya sekedar untuk memperhatikanku. Sorot matanya mencorong. Maklumlah, memang matanya sudah kabur berat, seiring dengan usianya yang sudah tujuh puluhan itu.

“Oh, kaunya itu Ana?” dia balik tanya. Namun belum sempat aku jawab. Lanjutnya, “Tadi, Ratna juga menanyakanmu. Aku kira dia ada di kamarnya sekarang. Oya si Andrewpun, tadi meminta  kamu segera menemuinya di Medan Plaza jam 6 sore nanti!!!”      

“Oya! Terima kasih Amangboru. Aku tinggal dulu ya Amang…!” jawabku sekedar basa-basi. Tanpa menunggu reaksi Induk semangku itu, aku langsung bergegas menuju ke kamar pemondokanku. Memang aku sengaja untuk menghindari pembahasan tentang si Andrew, cucunya itu yang buat aku sebal sekali.

“Ana jangan kamu kecewakan cucuku itu, ya!” teriak induk semangku itu.

“Huuu!” dengusku menghalau teriakan induk semangku itu. Aku tidak ingin ucapan induk semangku itu  mempengaruhi perasaanku yang lagi berbunga-bunga. Rasanya saat ini hatiku hampir meledak, tak sabar menyampaikan kabar gembira ini pada Ratna. Aku tidak peduli dengan si Andrew, si penuntut dan sok pengatur itu. 

Begitu Ratna membuka pintu kamar pemondokan, langsung saja aku cengkram kedua tangannya dan aku brondong dengan suara ceria. ”Aku punya kabar gembira, Rat! Coba apa tebak?”

Ratna pun langsung menatapku. Keningnya mengernyit, heran. Tak biasanya dia melihat aku pulang dengan begitu ceria.

“Tumben, kamu begitu ceria Ana? Kabar Apa lagi  yang kamu bawa hari ini?” sambutnya, sembari memeluk pinggangku.

“Kamu tau nggak, aku tadi ketemu arjuna mencari cinta loh!”

“Ah, arjuna kamu bilang? Apa bukan keledai Ana?” sela Ratna. Lalu Ratna melepaskan pelukannya dan melangkahkan kakinya menuju ranjangnya.

“Ini super beda Rat,” ujarku.

 “Alaaa, apa sih bedanya bagimu Ana? Bukankah kamu sudah punya Andrew dan Gilang? Mau apa lagi kamu?” komentar Ratna, sembari meletakkan buku novel yang baru dibacanya. Ratnapun lalu duduk di sisi ranjangnya dan bersandar di daun ranjang, sembari memperhatikanku yang sedang meletakkan buku di atas meja belajarku. Ratna menjadi penasaran juga melihat sikapku. Dia merasa iri melihat aku dapat mengeksploitasi diriku. Sebenarnya, dia ingin memiliki karakter yang kuat dan dapat membuat cowok terpesona, tidak hanya mengandalkan kecantikan semata. Harus ada kekuatan yang menonjol memancar  dari dalam diri, sebagai ciri  khas gitu, batin Ratna.

Sementara itu, aku sungguh sumringah dengar komentar Ratna. Dia tau betul aku suka sekali mempermainkan perasaan laki-laki, terutama terhadap laki-laki yang mudah aku perdaya oleh kerupawanan dan kekuatan khasku. Tanpa menoleh aku menyelanya. “Ah, jangan cepat berburuk-sangka begitulah kawan! Ini yang aku temukan di dalam perpustakaan kampus beda loh. Jika aku katakan padamu, pasti kamu tidak akan percaya!”

“Ooo kelihatannya apa dia begitu spesial? Apa dia laki-laki sejati seperti yang kamu impi-impikan itu?” berondong Ratna sinis.

Aku tidak menanggapi pertanyaan Ratna yang bernada sumbang itu. Aku jatuhkan tubuhku di atas ranjang. Pikiranku melayang mengingat dan membayangkan pertemuan itu. Hatiku rasanya berbunga-bunga, melihat cara dia memandangku, sikapnya dan senyumannya yang menyejukkan hati, terutama tutur katanya yang membuat diriku terlena. Dia mampu baca apa yang ada di dalam dadaku. Dia sungguh menghargai aku, memperlakukan aku dengan penuh perhatian. Di matanya tidak aku temukan sikap dan perangai laki-laki yang suka memperdaya kaum perempuan. Aku ingin sekali dekat dengan dirinya, merebahkan kepalaku di dadanya yang bidang itu, tentu begitu asyik sekali. Aku rasa dirinya laki-laki yang mampu membimbing diriku untuk melepaskan beban deritaku dan kehausanku akan belaian kasih sayang yang sesungguhnya dari seorang laki-laki sejati. Tapi yang menjadi tanda tanya dalam benakku, apa dia memiliki perasaan yang sama dengan apa sedang aku rasakan ini ya?

Saat itu, aku betul-betul sedang kesal sekali di dalam ruangan perpustakaan kampusku. Aku tak menemukan buku yang aku cari. Padahal, aku sedang diburu waktu untuk menyelesaikan tugas yang diberikan dosen killerku, Bapak M. Sianturi yang menyebalkan itu. Dia selalu memberi beban tugas dalam waktu mepet sekali. Di mana bahan literaturnya sangat langka lagi. Apalagi dia sudah mengultimatum barang siapa yang tidak menyelesaikan tugas yang diberikan ini, maka jangan harap dapat lulus mata kuliah yang diasuhnya itu. Tabu baginya tawar-menawar. Untuk mengantisipasi ancaman Dosen Killerku itu, maka aku sudah mengumpulkan setumpuk buku psikologi pendidikan di hadapanku. Namun dari sederet buku yang aku kumpulkan ini tak satupun yang membahas mengenai cara mengatasi kesulitan belajar seperti yang diinginkan Bapak M. Sianturi itu. Padahal sudah semua buku aku bolak-balik, halaman demi halaman.

Tanpa aku sadari secara refleks aku lampiaskan kekesalanku dengan mengetuk-ngetuk ujung pulpenku di atas buku tulisku. Akibat perbuatanku itu, membuat seseorang yang duduk di hadapanku merasa terganggu juga.

Untuk kelanjutan kisahnya yok baca dan klik: KBM di play store.
#novelromance 
#kekasihsejati

Ilmu Penakluk Cewek



 Bab 1

“Wouuu…!” Tanpa sadar decak kagum meluncur dari bibir cowok keren itu.

 Yeah, tumben itu cowok! Matanya blingsatan juga lihat cewek yang satu ini, kayak gak pernah lihat cewek cakap saja. Atau cewek yang satu memang benar-benar beda kali. Dadanya pun berdebar-debar kencang pandang itu cewek. Dari balik kaca mobil, ia menatap ke arah cewek yang baru melintas di hadapannya. Dia pun jadi penasaran banget, ingin kenal itu cewek. Phuih, angannya…! Padahal cowok keren itu, tahunya hanya buku melulu lho... Aneh-nggak, kalau cowok keren itu belum pernah lakukan pedekate ama cewek?! Lucunya, dia sudah jadi anak kuliahan, semester lima lagi.  Huh, siapa yang mau percaya, tapi itu kenyataannya bookish…bookish!!! Ketika itu jam perkuliahan sedang berlangsung dan suasananya sangat hening sekali. Kebetulan dia sedang menanti seseorang di tempat parkir kampus itu. Hanya sayup-sayup terdengar ke luar suara Dosen menerangkan materi perkuliahan. Cuaca pun pagi itu sangat cerah mengiringi langkah itu cewek. Langkahnya begitu ringan…

Angan itu cowok terus menggoda dan matanya gak lekang memperhatikan itu cewek, sampai-sampai dia menjulurkan kepalanya keluar lewat jendela mobilnya. Sementara, cewek itu meleburkan diri ama teman-temannya di depan ruang perkuliahan anak sastra. Dilihatnya itu cewek dengan gembira setengah bercengkerama ama teman-temannya. Pendek kata, gerak-gerik tubuh itu cewek buat jatuh bangun hatinya...

Sementara itu, Toro temannya cowok itu muncul. Wow…! Dia begitu terbelalak lihat gerak-gerik aneh itu cowok. Toro menoleh lihat tu cewek yang jadi perhatian temannya. Toro pun setengah terpesona juga gitu lihat dengan jelas wajah cewek yang menggoda hati temannya itu. Sesaat kemudian, Toro menoleh memperhatikan temannya kembali. Dia langsung tersenyum geli lihat temannya yang satu ini. Makanya, timbul niat jailnya untuk menggoda itu cowok. Toro dengan berjingkat-jingkat menghampiri sobatnya itu.

“Hai Ridho!!! Siapa pula yang kamu perhatikan dari tadi tuh?” Tiba-tiba Toro dengan wajah kocaknya menegur dan menodong dengan jarinya, mengejuti dari balik mobil, sambil buka pintu mobil sebelah kiri.

Ridho pun tersentak dan terduduk, angannya langsung buyar. Dia langsung menoleh. Wow! Wajah Ridho langsung merah-padam, jengah. Namun, ada kesal di wajahnya. “Ah, kamu ganggu saja Toro!” gerutu Ridho.

“Payah kamu! Gak bisa buat orang senang dikit saja.”

 “Alaaa, janganlah kamu marah. Gak biasanya kamu seperti ini,” kilah Toro ringan, sambil menampar bahu Ridho. Lantas, Toro pun menggoda dengan pura-pura melongok ke arah kumpulan cewek yang telah mengusik hati Ridho, “Emangnya siapa sih yang telah menggoda hatimu itu?”

Ridho pun gak ingin menutupi gejolak hatinya, tatkala Toro menggodanya. Dia langsung tersenyum. Dia yakin Toro pun pasti akan mengagumi itu cewek yang telah menggetarkan hatinya.

“Toro, kamu kenal cewek yang baju pink itu?” Ridho balik tanya, sambil menunjuk ke arah cewek berbaju pink dan bercelana jeans merah jambu merk Lee Cooper yang berada di koridor ruang perkuliahan anak sastra.

“Oh itu, cewek yang telah menarik perhatianmu tadi! Wow…cakep juga tuh cewek, Dho! Tapiii…aku nggak kenal dia.”

Yeah! Dugaan Ridho nggak meleset, ternyata Toro terpesona juga, gitu lihat wajah itu cewek. Apalagi, cewek itu begitu menonjol di antara teman-temannya. Makanya, tanpa sadar decak kagum meluncur dari bibir Toro.

“Ck…ck…ck…!”

Sesaat kemudian, Toro noleh memperhatikan Ridho. Dia jadi tersenyum lihat wajah Ridho. Dia tahu betul, Ridho belum pernah nembak cewek, keberaniannya dikit payah. Selama ini Ridho suka memendam perasaan kagumnya ama cewek. Di otaknya hanya ada kamus belajar-belajar melulu! Wajarlah kalau Ridho sampai hari gini belum punya pacar… Walau boleh dibilang pergaulannya nggak ada masalah tuh. Kesempatan ini nggak boleh dibiarkan, batin Toro. Dengan setengah meledek dia berkata, “Tapi kamu punya nyali nggak tuk dekati tuh cewek?”

“Sontoloyo kamu, Toro! Jangan remehin aku!!!” sergah Ridho, sambil memalingkan wajahnya.

Tahu nggak? Wajah Ridho memerah. Dia jadi tersenyum kecut. Gemas hatinya dengar ledekan sahabat karibnya itu.

“Buktiinlah…kalau kamu berani!!!” timpal Toro, sambil menyeringai.

“Oke! Kalau aku berhasil dapatkan tuh cewek, apa taruhannya?” tantang Ridho. Hatinya semakin panas, diledek oleh Toro.

“Oh, kamu mau unjuk nyali rupanya!” sambut Toro setengah tertawa. “Boleh juga tuh…! Kalau kamu berhasil gaet tuh cewek, akan kutraktir kamu sebulan. Terserah kamu pilih, mau makan bakso, hamburger atau yang lainnya. Tapiii… kamu harus buktikan kemampuanmu ini dalam waktu dua Minggu,”

Wow…! Ridho jadi garuk-garuk kepala. Tapi gitu lihat Toro cengar-cengir langsung Ridho berkata mantap.

“Aku terima tantanganmu!!!”

Lalu Ridho pun mengusungkan tangannya menyambut tantangan Toro.

“Oke, deal!!!”

Toro pun menyambut tangan Ridho dan tersenyum. Dalam hati dia menertawai Ridho. Lalu Toro menepuk bahu Ridho mengalihkan perhatiannya.

 “Nah, sekarang buruan. Entar kita nggak ketemu Ibu Mega lagi di rumahnya.”

Kebetulan memang mereka berdua bermaksud untuk temui Ibu Mega, Dosen Pembimbingnya.

Dengan terpaksa Ridho menstarter mobilnya dan segera beranjak dari pelataran parkir kampus itu. Ridho merasa berat mengalihkan perhatiannya, sukmanya benar-benar sudah terbetot ama itu cewek. Apalagi Ridho, yang namanya pacaran belum pernah dia lakukan. Lihat cewek yang telah memikat hati, tentu terasa berat untuk meninggalkannya. Kalau dia boleh pilih, ingin rasanya untuk menghampiri cewek yang telah menggoda hatinya itu, ketimbang temui Dosen Pembimbingnya yang dikenal galak. Hati Ridho pun semakin gundah. Apalagi tiba-tiba di tengah jalan, Toro berkomentar.

 “Paling-paling, kamu patah hati Dho?”

“Mengapa pula kamu berkata seperti itu Toro?” Dipandangnya wajah Toro dengan penasaran.

“Aku gak bermaksud ngecilkan hatimu, Dho. Aku hanya sekedar ingatkan kamu. Kayaknya cewek tadi, bukan sembarang cewek deh. Dari gayanya kulihat dia cewek yang sudah matang. Aku yakin banyak cowok yang telah berlabuh di hatinya.”

“Alaaa, jangan berprasangkalah kamu, Toro! Sebelum janur kuning menghias di depan rumahnya, berarti kan masih ada peluang, Toro,” kilah Ridhco, membesarkan hati. Dia pun tersenyum kecut. Apa pun yang dikatakan Toro, maka Ridho sudah nggak peduli. Dia telah bertetapan hati untuk mengenal itu cewek. Dia pun menduga, paling-paling Toro sengaja untuk melemahkan hatinya saja, agar kalah taruhan.

“Aku kasihan ama kamu, Ridho. Otakmu boleh kuakui, tapi masalah cewek, kamu itu seperti bau kencur. Entar kamu salah pilih lagi,” ujar Toro memanas-manasi Ridho.

 “Sudahlah Toro, gak perlu jeles gitu ah,” tukas Ridho. Ridho nggak ingin dipojokkan Toro terus. Walau dia gak dapat memungkiri ucapan Toro itu.

“Ya sudah, terserah kamu lah! Kamu yang menjalani ini!” sahut Toro menutup pembicaraan.

Untuk kelanjutan kisahnya dapat diperoleh di Aplikasi: KBM di play store.

Kamis, 04 November 2021

REINHART'S Adventures on Planet Acrotus


Title : REINHART's Adventures on Planet Acrotus
Genre : Fantasy
Rate : + 13
Author : Enda Kiebo
This novel tells about the curiosity of Reinhart and his four siblings looking for answers to the origins and causes of the crescent-shaped birthmarks on their chests vibrating and creating heat. When Gadjah Biru's grandfather told him, they actually had knight blood. They find it strange. Moreover, about a down-derivative knights. Ridiculous, they thought.
As it turned out, their birthmarks were actually connected to the resonance waves of the Terranos Belt belonging to the Great Knight Eirounos from the planet Acrotus. They were flabbergasted. Now their views have changed. When the special envoy Eirounos asks for help to free Eirounos from the evil Megolianth and his minions. Reinhart's Knight Spirit couldn't resist the call of duty. They are also involved in an adventure to destroy Megolianth who has super powers on the planet Acrotus.
Was Reinhart's mission on the planet Acrotus successful? You can see the answer in the story of REINHART's Adventures on Planet Acrotus.
If you are interested in wanting to know the story of this novel, please click the link below:

Minggu, 26 September 2021

Jangan Paksa Aku...


Jangan Paksa Aku ini menceritakan kronologis peristiwa yang dialami Mardiana (Ana). Peristiwa tragis tersebut membuat jiwa Mardiana terpuruk dan menghancurkan jalinan cintanya.

Di sini Mardiana terjebak dengan tiga lelaki yang sama-sama menginginkan dirinya. Ketiga lelaki ini memiliki karakter yang berbeda. Kalau dengan Gie si playboy, Ana merasa enjoy. Dia diperlakukan berbeda dengan cewek lainnya. Berbeda dengan Aditya yang penuh perhatian. Aditya selalu mengingatkan Mardiana dengan bayang-bayang Hermawan, si belahan jiwanya yang telah meninggalkannya untuk selama-lamanya. Tetapi ada cewek lain yang jadi pesaing dan sangat mengidolakan Aditya, yaitu: Dea dan Safira. Lain lagi, Mardiana dihadapkan dengan Andrew. Cowok psikopat ini selalu membuat Ana kesal. Bahkan, selalu membuat kejutan yang tidak terduga pada Mardiana. Andrew seperti orang kesetanan dan menyimpan dendam kesumat. Dia memaksa, kalau dirinya tidak mendapatkan Ana, maka tidak seorangpun boleh mendapatkan Ana.

 Mardiana pun dihadapkan pada suatu dilema dan rentetan peristiwa tragis yang tidak dapat dibayangkannya. Kini, bagaimana nasib Mardiana? Apakah dia mendapatkan harga dirinya dan kekuatan cintanya kembali? 

Untuk tau jawabannya, yok baca kisahnya di link di bawah ini:

Jangan Paksa Aku

Metaformosis Anak Yang Terlihat Bodoh


Kisah ini diinspirasi oleh true story. Enda Kiebo berusaha keras agar bisa sekolah dan ingin jadi orang pintar. Tapi, masalahnya dari awal dia sudah dibully dan dihalangi oleh Benhart Cs. Apalagi, Benhart memiliki tukang pukul yang keji, bernama Ronggur si “Sang Penakhluk. Namun, Enda Kiebo sungguh beruntung punya sahabat luarbiasa, mereka selalu siap membela tatkala datang terror Benhart Cs. Keberuntungan lain, Enda Kiebo memiliki guru yang memang guru. Guru yang mampu membakar jiwa dan memberi ilmu super genius yang tiada duanya di dunia untuk meraih mimpi.  Melalui gurunya itu, Enda Kiebo berusaha keras membuka tabir rahasia cara dahsyat, metamorfosis menjadi anak genius.

Dalam perjalanannya, Enda Kiebo dan Yan Utama berusaha bantu Sundari mengatasi kesulitannya dan menyelamatkannya dari nafsu  bejat Ronggur. Berhasilkah mereka menolong Sundari?

Bagaimana berhasilkah Enda Kiebo mengatasi rintangan Benhart Cs? Bagaimana cara guru luarbiasa itu menggembleng muridnya agar menguasai ilmu super genius  yang tiada duanya di dunia itu? Apakah  mereka itu benar-benar berhasil meraih mimpinya dalam kehidupan nyata? Untuk tau jawabannya, yok baca novel ini hingga tuntas! Dijamin novel ini banyak memberi inspirasi yang tiada duanya di dunia!

Untuk mengikuti kisahnya dapat mengklik link di bawah ini:

                            Metamorfosis Anak Yang Terlihat Bodoh

Jumat, 20 Agustus 2021

The Metamorphosis of the Stupid Child

 


Part 1

THE SPIRIT OF PURSUING DREAMS


SPIRIT. Fresh in memory, my spirit was as small as an arrow that escaped from the bow. The spirit that burned my soul to break the chain of colonial heritage that had enslaved my ancestors, even exposing the stigma of being "stupid". Moreover, what hurts and stifles the "stamp" chest that always rings in my ears.

"You stupid, mental of coolie!"

Portrait of a country child who is not blessed and is always underestimated by other nations. Want proof? Look at that Indonesian workers were exported nearly 100 percent as domestic workers or manual laborers. In fact, not a few schoolchildren, but can only be slaves, factory workers, garden workers, porters and other unskilled workers. I am furious! Why did it happen?!

"You have to eat good school, if you don't want to be a coolie!" Said Mrs. Erika Purnama Panjaitan, my elementary school teacher gave motivation.

So, I don't want to be a slave later.

 "I don't want to be stupid, mental coolie! I also don't want to be a part of the coolies nation! " "I want to prove it, I can!"

But at that time, when I was little. I braced myself halfway in the hot sun that burned my skin. My face was so tense, my chest was beating abruptly. Moreover, my heart, overwhelmed by feelings of nervousness in pursuing hope. I am not alone in hunting, crowds of people my age, not even a few parents accompany their hopeful sons through the gates of dream state schools. Not a few also showed a tired expression on their faces, they seemed to have the same great expectations as me. They do not want the embryo to inherit the streak of the face of the same coolie with him. I was scrambling for a place along the school corridor which felt quite long around a row of classrooms in the form of a "U" meter. That afternoon was a very important day for me, the opportunity as a child wanted to change the line of fate of the descendants, after two generations in the land of Deli, exposed as a coolie. However, suddenly I experienced a shocking event, my first obstacle.

Bam...!

"Ouch!"

Yeah, my fate is unfortunate! Suddenly a muscular hand pushed my body roughly from behind. I fell over and hit a classroom wall made of a string of hard-finned boards. My head feels sore and hurts a lot by the classroom wall. I sat on the floor, stroking my still painful head. I looked up halfway, looking at the person who roughly pushed me. I was stunned to see that the person who glared immediately, returned to look at me without feeling the least bit guilty. This person is really outrageous. His tall, dark complexion and frightening face. He was dressed in a tight black t-shirt showing his muscular body, like a bouncer that had shaken my little heart. That person, I saw escorting a white boy, his eyes were bluish. I had a crush on his age, of the same my age.

The boy with his arrogant gaze, looked half harass.

"Huh ... feel it, yell!" He snorted sarcastically. Then, he rebuked roughly, "You don't deserve to be here, you know!"

Dap! The child's insulting words immediately hit my solar plexus, it felt pain absurdly! Especially seeing him close his nostrils with the back of his index finger, like seeing a piece of rubbish on me, as soon as he passed in front of me. Who is not hot, insulted like that? My blood boiled over. Then, I saw a cynical glance and scorn with which adorn the face of the child. Huh! My teeth are rattling, holding out furiously. I want to squeeze the lips to give lessons, so that the vanity of children who do not know the custom is lost. My desire is burning in my heart. But, I flinched, realizing... At that time, suddenly a moment flashed through my memory. I imagined the face of my religious teacher, Ms. Romlah Rangkuti at SDN 120 Pulo Brayan Darat whose smile was soothing and breathed in a heart of peace when saying:

"So that person must be able to fight anger and desire by patiently adorning the heart. For those who are patient, heaven awaits them. "

Plus, seeing the muscular looking wire guard and looking for the face made me think twice. So, I was forced to be able to restrain myself, brushed aside my anger, if I wanted to succeed in pursuing my dreams. I thought too. This incident is nothing compared with the suffering of my grandfather, forced labor as porters-contract, I thought. Then, I closed my eyes for a moment, taking a deep breath until my chest ballooned, then threw it slowly to calm the turmoil of my soul's turmoil. I don't want to destroy my dreams, just because of a trivial event like this. This is my first lesson, so that person must be patient, if they want to succeed and become people.

A moment later, the wire-brained man I had just seen, turned out to be the most sickening man in the world, when giving way to the white-blooded boy.

"Please, young master!"

Yeah! A truly contrasting scene, the violent appearance of the muscular wire man bent over, looking for the face. At the moment, he gave way to the Caucasian boy who was unsightly. Uh, the basic mentality of lickers, servants and lickers! Come to think of it, how many people like this sickening man in this country ?! Disgusting, not worth imitating!

Meanwhile, the child passed by swinging like a young king with his proud smile, moans and the way he lifted his chin was very tedious. Especially seeing him playing with the little stick he was carrying, huh ... really sucks.

I was stunned by the incident just now. My eyes took turns watching the passing of a rough, tall, muscular person ... uh, a slave and a sycophant mentality and an arrogant boy in a white short-sleeved shirt with a black vest, white shorts and shoes like Reebok which I couldn't buy. I can guess from his clothes he must be the son of a rich man.

What I don't think is, what's the difference between the clothes I wear, it's worn and worn out by age, so it's a symbol of degree difference so I don't deserve the same path? It turned out that to pursue a dream was not easy, had to face collisions, like my first obstacle. In the future, what impact and difficulties should I face? Do I have to tumble, because of collisions like this? Ah, that's how small my courage is!

I have to keep up the spirit, round off the determination to pursue a dream.

"You're okay, right ?!"

Suddenly my daydream was broken, when a child who was also my age came patting my shoulder, rebuking and trying to help by helping me get up. I was immediately moved, it turns out there are still people who still care, I thought.

"Ah, no!" "Only my head hurts a bit." I immediately welcomed the child's helping hand and got up.

"You don't need to be surprised at Benhart's bodyguard's rude attitude," he said, as we faced each other.

"Oh Benhart the name of the child!" I muttered, pointing at the proud boy.

"Not wrong! He is the son of the Sampali Plantation Administration, "he added.

"That's right, he is so proud! "Apparently the son of the plantation boss," I chirped, while my hands were arguing about the dust sticking to my pants.

"Yes, that's the feudal child!" He continued, while reminding me, "You have to be careful with him. Later, you were made difficult and that thug was. "

"Times have changed, have been independent, but the feudal nature of the colonial heritage still exists," I murmured a little angry. "In fact, proud to frighten small ones, like the world belongs to them alone."

"Yes, times can change! But the castration pattern, the bad nature of colonial results has become a thorn in the flesh, difficult to change. It continues to stick in our culture. Moreover, the nature is increasingly thick with the presence of people who do not have dignity, who like to look face, servants like the Benhart bouncers, "said the child.

I nodded, justifying his opinion. My goal here is not to be in a relationship with Benhart. Although still ringing Benhart's swear in my ear which really suffocated my chest. It made me round my determination to pursue my dream. I want to prove, that I also have the same right to be able to achieve a dignified dream.

Continuation of the story, please read at the link below:

TheMetamorphosis of the Stupid Child