Sabtu, 21 Februari 2009

Kurang Gaul


Perasaan malu acapkali menjadi penghambat bagi anak untuk bergaul atau berkumpul dengan teman sebayanya. Anak menjadi canggung dan sulit membangun interaksi di tengah-tengah temannya. Anak merasa asing dan terkucil di tengah-tengah keriuhan teman-temannya dalam bermain. Alhasil, anak cenderung ingin menarik diri. Padahal, kita selalu mengharapkan anak menjadi anak yang supel bergaul, banyak temannya dan mudah beradaptasi di tengah pergaulannya.

Hal lain, kadangkala kita pun sering direpotkan oleh perilaku anak di saat ada banyak teman sebayanya di dekatnya. Anak malah takut bermain bersama dan terus berlindung di balik badan orang tuanya. Jika anak dianjurkan untuk turut bergabung bermain bersama temannya, namun anak dihinggapi perasaan malu dan seperti ketakutan. Anak pun menjadi sangat tergantung pada orang tuanya.

Namun adakalanya sebahagian orang tua menganggap perasaan malu anak saat belajar bersosialisasi, merupakan perilaku yang lumrah terjadi pada masa anak-anak. Kemudian, orang tua menganggap perasaan malu itu akan menghilang seiring dengan perkembangan usianya. Padahal, tidak jarang perasaan malu tersebut menjadi berlarut-larut dan menjadi penghambat kemampuan anak untuk dapat bersosialisasi dengan baik. Hal yang tidak boleh diremehkan, bahwa perasaan malu yang tidak ditanggulangi sedini mungkin ini, dapat berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak. Di mana anak menjadi tidak cakap untuk bergaul, kurang memiliki inisiatif, tidak punya keberanian menghadapi berbagai hal atau tantangan dan hidup serba tergantung pada orang lain.

Mengapa anak suka malu bergaul?

Kalau kita amati timbulnya perasaan malu pada anak (seseorang) ini, adalah sebagai bentuk manifestasi reaksi emosional yang tidak menyenangkan hati anak (seseorang), akibat dari cara pandang atau adanya penilaian negatif terhadap diri sendiri. Padahal, penilaian negatif itu belum tentu benar adanya, sehingga mengakibatkan munculnya rasa rendah diri, jika berhadapan dengan orang lain atau kelompoknya.

Kita pun dapat membedakan faktor pencetus perasaan malu pada anak atas dua penyebab, yaitu:

  1. Perasaan malu sebagai akibat dari rasa bersalah atas perbuatan yang telah dilakukannya. Seperti melakukan perbuatan yang kurang sopan, telah berbohong, suka mengejek, telah mengambil barang orang lain, secara tak sengaja telah merusak barang orang lain atau menghilangkan barang orang lain dan sebagainya.
  2. Perasaan malu sebagai akibat merasa memiliki kemampuan di bawah standar orang lain atau lingkungan sosialnya, sehingga menimbulkan rasa takut yang berlebihan untuk berinteraksi.

Perasaan malu tersebut menimbulkan anasir-anasir (dugaan) perlakuan negatif yang mungkin bakal diterimanya dari orang yang akan dihadapinya. Seperti takut dimusuhi, dikucilkan, tidak diterima, dianggap tidak sepadan, tidak dipedulikan, tidak ditanggapi, dihina dan sebagainya. Anasir-anasir negatif tersebut membuat anak merasa tak berdaya dan merasa rendah diri. Perasaan malu ini membuat anak menjadi merasa tak nyaman berada di hadapan orang lain atau di tengah-tengah kumpulan orang banyak. Anak menjadi sangat kikuk dan canggung, sehingga merasa sangat tersiksa. Anak tidak tahu harus bagaimana, tidak tahu apa yang harus diperbuatnya atau tidak tahu menentukan sikap yang seharusnya, sehingga anak pun menjadi takut untuk berinteraksi dengan orang lain. Alhasil, dari dalam diri anak bisa timbul perasaan untuk mengasihani diri. Lantas, dia cenderung menjadi bersikap pasif dan sangat mengharapkan orang lain yang datang padanya dan peduli dengannya.

Bagaimana cara mengatasi rasa malu anak untuk bergaul?

Untuk membantu anak mengatasi perasaan malunya, ketika dirinya hendak berinteraksi sosial atau bergaul, maka hal-hal yang perlu kita lakukan, adalah sebagai berikut:

° Berusahalah untuk memahami kecemasan anak

Kita harus peka terhadap perasaan negatif hati anak dan yang membuat hilangnya keberanian anak untuk memulai interaksi sosialnya atau bergaul. Kita perlu mencari tahu penyebab atau pemicu yang membuat anak tidak memiliki keberanian untuk bergaul dengan orang lain. Untuk mengetahui pemicu ketakutan anak untuk berinteraksi, maka kita harus secara aktif menjalin komunikasi dengan anak. Kita harus mau mendengarkan, memperhatikan dan menangkap, baik secara tersurat maupun yang tersirat bentuk-bentuk keluhan anak, mengapa dirinya tidak memiliki keberanian untuk berinteraksi.

Kita harus mengetahui pemicu perasaan malu anak, apakah bersumber dari rasa bersalah atau karena merasa kurang percaya diri atau merasa kemampuannya yang kurang dan di bawah standar. Jika kita telah mengetahui sumber pemicu perasaan malu anak, maka kita perlu memberi dukungan emosional pada anak, agar dirinya memiliki keberanian untuk berinteraksi dan menepis perasaan malu anak tersebut.

Kalau kita temukan perasaan malu anak bersumber dari rasa bersalahnya, maka kita harus mampu membuat anak untuk mengatasi rasa bersalahnya. Untuk mengatasi rasa bersalah anak, kita dapat menyadarkan akan pentingnya rasa bertanggung jawab atas perbuatannya. Kita dapat mendorong anak untuk berani mengakui kesalahannya dan berani mengucapkan “minta maaf” atas perbuatan yang kurang baiknya, sebagai wujud rasa bertanggung jawabnya.

Cara untuk menghilangkan kecemasan, ketakutan atau menyadarkan akan pentingnya rasa bertanggung jawab pada anak, adakalanya tidak harus dengan mengatakan langsung atau memvonis anak telah bersalah dengan perkataan yang dapat memojokkan anak. Melainkan, kita dapat mempergunakan perumpamaan. Misalnya, kita dapat bercerita atau mendongeng pada anak tentang cerita yang mengandung nilai-nilai ksatriaan.

Nah, jika anak merasa tertarik dan tergugah perhatiannya akan nilai-nilai ksatriaan, tentu akan dapat merasakan, bahwa apa yang telah diperbuatnya ternyata salah, tidak baik dan dapat merugikan orang lain. Dalam menuturkan cerita, kita harus piawai menyertakan anak dalam alur cerita, sehingga anak terlibat dalam mencerna nilai-nilai positif yang akan kita sampaikan padanya. Kita dapat menggiring pendapat anak akan pentingnya memiliki rasa tanggung jawab atas perbuatannya. Begitu juga, kita dapat menggiring anak, untuk merasa tertantang mencari “cara”, agar dirinya dapat “diterima” dengan terbuka oleh teman-temannya maupun orang lain. Dengan kata lain, merangsang inspirasi pada anak untuk “memikirkan cara”, agar dirinya dapat dengan mudah di terima dalam kelompok bermain dengan sikap terbuka. Untuk itu, kunci utamanya dapat kita tuturkan, bahwa anak harus bersedia dengan tulus untuk mau mengucapkan kata “maaf” dari lubuk hatinya pada teman-temannya.

Jika anak telah berani mengungkapkan rasa bersalahnya, maka berarti anak pun telah berhasil membongkar atau menyingkirkan beban perasaannya, sehingga diharapkan timbulnya sikap optimisme anak untuk dapat berinteraksi atau bergaul dengan orang lain. Begitu juga, sikap bertanggung jawab yang dipertunjukkan anak dapat mengundang simpati orang lain padanya, sehingga membuka pintu “penerimaan” teman-temannya untuk bermain atau bergaul.

Kalau perasaan malu anak itu bersumber dari rasa kurang percaya diri atau rasa memiliki kemampuan yang di bawah standar, maka perlu diusahakan untuk memberi dukungan emosional pada anak, agar dirinya tidak selalu memandang rendah dirinya maupun kemampuannya. Perlu diingatkan atau dibangkitkan kesadaran serta semangat anak, bahwa dirinya masih memiliki potensi yang sama baik dengan orang lain.

Untuk menumbuhkan rasa percaya diri anak, terutama anak yang masih balita, maka dapat kita lakukan dengan cara:

- Membantu anak untuk lebih mengenal dirinya

Memang untuk memilih bahasa atau cara yang tepat, agar anak dapat memahami apa yang kita sampaikan tidak mudah. Namun kita dituntut untuk peka dan memperlakukan anak dengan sabar serta penuh perhatian. Kita dapat mendekati anak dengan cara memberi dukungan emosional, seperti merangkulnya, memeluknya dan menatap langsung mata anak, sembari memberi senyuman yang dapat menyejukkan hatinya. Kita harus dapat menunjukkan rasa empati kita terhadap kesulitan anak, agar rasa gundah anak menghilang dan dirinya mau berkeluh kesah pada kita. Kita harus menghilangkan rasa cemas atau kesal anak dengan menunjukkan dirinya masih mempunyai sesuatu yang membanggakan dirinya. Sesuatu yang membanggakan diri anak dapat menjadi sumber motivasi kekuatan diri anak.

Pujian adalah sumber kekuatan yang dapat membangkitkan rasa percaya diri anak. Kita dapat menunjukkan atau menyebutkan sesuatu yang dimiliki anak. Dengan menunjukkan kelebihan yang dimiliki anak dapat membangkitkan kekuatan dan keberanian anak. Dengan menonjolkan kekuatan atau kelebihan yang dimiliki anak menjadi modal anak untuk tampil lebih percaya diri. Anak yang menyadari dirinya mempunyai kekuatan atau kelebihan, berarti dirinya siap untuk dapat bersosialisasi dan berkumunikasi dengan orang lain.

Contohnya:

Mengapa Ani bersedih dan takut bermain dengan Dewi, Rita dan Rani? Bukankah Ani lebih baik dari mereka? Ani bisa bernyanyi, Ani lebih pintar dan Ani pandai bercerita. Coba tunjukkan Ani memang lebih baik dari mereka, pasti mereka akan kagum pada Ani dan mereka akan senang menerima Ani!”

Namun penonjolan kelebihan diri anak ini, jangan sampai berlebihan atau membuat anak menjadi sombong. Kesombongan dapat menimbulkan respon yang kurang baik dari orang lain. Orang lain atau teman-temannya akan menilai dan menganggap anak terlalu berlebihan dan menunjukkan diri paling hebat, sehingga teman-temannya merasa tidak mempunyai arti atau merasa disepelekan. Oleh karena itu, kita pun harus juga mengarahkan anak untuk dapat menghargai teman-temannya, agar tidak dijauhi teman-temannya.

- Mengajak anak mau belajar dan berinteraksi

Untuk menumbuhkan rasa percaya diri mutlak dibutuhkan perluasan wawasan atau pengetahuan. Dengan banyak belajar berarti semakin banyak tahu. Dengan mengajak anak belajar berarti membuat anak memiliki pengetahuan dan modal yang memadai untuk dapat bergaul dengan baik dan dengan siapa saja.

Kalau anak belum mampu belajar sendiri dapat kita lakukan dengan cara bercerita atau mendongeng di hadapan anak. Kita mengajak anak untuk berinteraksi dalam cerita tersebut. Atau anak kita ajak melihat cerita bergambar bersama-sama. Kita bertutur menceritakan jalan cerita bergambar tersebut pada anak. Kita pun harus pandai merangsang respon anak terhadap isi cerita tersebut atau memasukkan anak dalam peran cerita tersebut.

Keterlibatan anak secara langsung dan mendiskusikan isi jalan cerita yang kita kembangkan pada anak, maka secara tak langsung menumbuhkan rasa percaya diri anak. Sebab, berdiskusi merupakan unsur penting dalam memperoleh pengetahuan dan pengalaman bagi anak.

Begitu juga, mendiskusikan sesuatu masalah atau jalan cerita mengajarkan anak cara berinteraksi dan siap menerima masukan-masukan atau informasi yang dianggap penting dan berguna bagi dirinya.

- Mengajarkan anak untuk mahir bertanya dan bersikap terbuka

Untuk membuka kebuntuan dalam bergaul dapat diatasi dengan bertanya dan mau mengembangkan sikap terbuka. Dengan kata lain, kemahiran bertanya dan bersikap terbuka merupakan jalan untuk mempermudah membangun interaksi dalam bergaul. Begitu juga, anak harus dibimbing agar mahir bertanya dan mau bersikap terbuka dalam mengatasi kecanggungannya dalam berinteraksi atau bergaul. Pada anak perlu diyakinkan, bahwa bertanya bukan berarti membuat kita merasa rendah diri dan membuat malu diri. Namun, kemahiran bertanya menunjukkan kemampuan berinisiatif mengembangkan komunikasi dua arah. Orang yang ditanya pun tentu akan merasa senang dan bangga, sebab pertanyaan yang ditujukan padanya dapat diterima atau dinilai sebagai sikap menghormati dan menghargai dirinya. Dengan bertanya, anak akan lebih mengenal orang yang ditanya, sehingga membuat anak merasa dekat dan akrab.

Kita pun perlu membimbing anak, bagaimana cara bertanya atau etika bertanya yang baik, agar orang yang ditanya tidak tersinggung, jengkel atau marah. Bagaimana cara bertanya dengan santun dan nada suara yang tidak menyinggung perasaan orang yang ditanya.

Untuk melatih kemahiran bertanya pada anak, maka kita pun harus senantiasa merangsang pengetahuan anak dengan membiasakan memberi contoh mengajukan pertanyaan-pertanyaan langsung pada anak. Anak harus dibuat terbiasa dengan berbagai pertanyaan dan terbiasa untuk mengungkapkan pendapatnya.

Selanjutnya, kita perlu mengajarkan pada anak untuk selalu bersikap terbuka dalam berinteraksi. Anak harus dapat atau mau menerima pendapat maupun kritikan temannya, sebagai masukan baginya. Anak harus diajarkan bagaimana menghargai pendapat atau kritikan teman. Anak harus dapat mengucapkan kata “terima kasih” atas kebaikan, masukan atau hal yang diingatkan temannya. Dengan menerima kritikan atau pendapat berarti anak akan lebih mengenal atau memahami kelebihan atau kekurangan yang dimilikinya. Kritikan dapat dijadikan alat untuk mengukur atau menilai kemampuan dirinya, sehingga dapat memotivasi dirinya untuk selalu berpikir maju.

  • Bantu anak untuk melakukan pendekatan (PDKT) pada teman-temannya.

Untuk sebahagian anak, tentu ada yang mengalami kesulitan dalam memulai membangun relasi dalam pergaulan anak. Ada perasaan tak nyaman dan tak mengenakkan anak, ketika akan memulai serangkaian relasi dalam pertemanannya. Sebahagian ada yang cenderung pasif atau pemalu dalam pertemanan, sehingga anak cenderung menunggu temannya untuk memulai pendekatan padanya, baru terbangun relasi. Tentunya kita tidak menginginkan hal ini terjadi pada anak kita, bukan? Makanya untuk memudahkan anak melakukan pdkt pada teman-temannya, maka anak membutuhkan keterampilan atau kemahiran, antara lain:

- untuk bersikap lebih agresif dan adaptif.

Untuk bersikap lebih agresif dan adaptif maksudnya adalah membantu anak untuk memiliki keberanian dalam membangun serangkaian relasi pertemanan dengan teman bermainnya. Kita dapat membimbing dan mendorong anak untuk selalu aktif memulai pendekatan-pendekatan pada temannya dengan menepis perasaan tak enaknya, sungkannya dan takutnya. Untuk itu, anak membutuhkan kemahiran menyapa, menegur atau bertanya.

Agar anak dapat memiliki kemahiran menyapa atau bertanya, maka anak perlu kita biasakan menyapa atau bertanya pada siapapun yang ditemuinya. Kita dapat memberi contoh padanya untuk menyapa atau menegur temannya, saudaranya, kakek-neneknya, pamannya, orang lain dan lain-lain. Atau kita dapat mengajak anak berkomunikasi secara interaktif. Kita latih anak untuk dapat menyapa, mengeluarkan pendapatnya, atau kita rangsang anak untuk mau aktif bertanya dalam berbagi pikiran dan perasaan. Dengan demikian anak terbiasa menempatkan perhatian dan minatnya pada orang lain dengan lebih serius. Contohnya:

- Selamat pagi, Nenek…!

- Dari mana, Kak…?

- Apa yang kau cari, Nana…?

- Dan sebagainya.

Kalau anak sudah terbiasa menyapa atau bertanya, tentu memudahkan dirinya untuk memulai serangkaian pendekatan-pendekatan pada teman sepermainnya atau orang lain tanpa dibebani oleh perasaan sungkan, tak enak atau takutnya. Upaya pelatihan anak ini sebaiknya sedini mungkin, usia 2-6 tahun adalah usia yang paling baik untuk memulai pelatihan, karena lebih mudah untuk menanamkan dan membiasakan sesuatu pada anak-anak dibandingkan dengan orang dewasa.

- mau berempati.

Kita dapat melatih anak untuk memiliki empati terhadap orang lain, agar anak memiliki dasar perilaku sosial. Anak kita biasakan untuk mengenal, memahami dan menanggapi perasaan, pikiran dan pengalaman orang lain, agar terbentuk dalam diri anak perasaan sense belonging (Perasaan Kebersamaan), sehingga anak mudah tersentuh dan peduli terhadap kebutuhan orang lain. Pada anak tumbuh kepekaan perhatian terhadap orang lain, baik di kala senang dan susah, sehingga anak mudah melakukan adaptif terhadap suasana yang terbangun dalam pertemanannya. Caranya kita dapat membiasakan anak untuk dapat memberi perhatian dan mau memahami pikiran dan perasaan teman-temannya. Seperti ajarkan pada anak untuk memberi perhatian pada teman di saat ulang tahunnya, sedang kesusahan dan membantu menyelesaikan sesuatu pekerjaan temannya dan lain-lain.

Kemampuan berempati anak ini, dapat kita bentuk melalui hal-hal yang sederhana dalam kesehari-harian kita, seperti mengajak anak untuk membantu, peduli dan menolong kita, “Ayo bantu Mama memasak, yok…!” “Ayo bantu pekerjaan Ayah, yok…!” atau “Ayo bantu Kakak membersihkan rumah, yok…!” Di samping itu, kita dapat mengajak anak untuk berbagi perasaan atau sesuatu, seperti meminta anak untuk berbagi makanan dengan saudaranya atau temannya, berbagi mainan dan sebagainya. Begitu juga, kita dapat mengajarkan pada anak untuk belajar menghargai. Anak belajar memperhatikan sesuatu, menyayangi dan melindungi, seperti merawat bunga dan hewan. Agar daya empati anak berkembang, kita dapat memberi contoh memberi makan hewan, menyiram bunga atau tanaman lainnya. Kita ajak anak berpikir dan turut merasakan, kalau tanaman atau hewan tersebut tidak dirawat, bagaimana kondisinya dengan memberi contoh kalau anak sendiri tidak diberi makan, minum dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan sebagai contoh sederhana bagi anak untuk merasakan sesuatu.

Cara lain untuk membentuk kemampuan berempati pada anak dengan cara bercerita atau mendongeng pada anak mengenai pentingnya sikap empati terhadap orang lain dan faedahnya. Kita ajarkan pada anak sikap untuk menyayangi orang lain atau makhluk lainnya, seperti hewan dan tumbuhan. Melalui cerita, kita dapat berdiskusi, berbagi pikiran dan perasaan dengan anak tentang orang lain, maupun makhluk lain.

- Membiasakan anak berada di tengah-tengah teman sebayanya.

Untuk membiasakan anak senang bergaul atau berteman, maka anakpun mutlak dibiasakan berada di tengah-tengah teman sebayanya, untuk bermain dan sebagainya, seperti di play group atau di lingkungan sebaya seputar tempat tinggalnya. Anak kita latih dan biasakan menghadapi bermacam-macam karakter anak. Dengan sendirinya anak belajar berinteraksi, bermain dan beradaptasi dengan bermacam-macam karakter anak.

- Membangun relasi dengan t eman.

Agar anak dapat membangun relasi dengan teman sebayanya, maka anak diarahkan memiliki keterampilan mengembangkan komunikasi dengan temannya. Untuk dapat mengembangkan komunikasi dengan teman-temannya, maka anak diarahkan, agar mau menyimak atau mendengar berkataan teman dengan penuh perhatian. Agar anak mau mendengar atau menyimak dengan baik, perlu kita biasakan berkomunikasi secara interaktif dengan anak. Kita rangsang respon anak untuk menanggapi materi/cerita yang kita bicarakan padanya, secara verbal maupun nonverbal. Secara verbal maksudnya tanggapan melalui perkataan, pujian, pertanyaan, komentar dan sebagainya. Sedangkan nonverbal tentunya melalui bahasa tubuhnya, seperti sorot mata, raut wajah, senyuman, bahu, tangan dan sebagainya. Pada anakpun diarahkan untuk tidak suka mencela atau melecehkan perkataan temannya. Sikap suka mencela atau reaktif ini, tentu menimbulkan ketidak-enakan atau ketidak-senangan temannya, sehingga anak dapat dijauhi atau dimusuhi oleh temannya. Kalaupun anak ingin mengkritik, itu bisa dilakukannya bila diminta.

Untuk menarik perhatian teman-temannya, alangkah lebih baiknya kalau anak dilatih memiliki selera humor yang baik. Jika anak mampu menampilkan cerita-cerita lucu, tentu dapat dijadikan jembatan untuk menarik perhatian temannya. Anakpun menjadi sangat disenangi oleh teman-temannya. Untuk itu, kitapun dituntut untuk pandai menampilkan cerita-cerita lucu pada anak. Rajinlah mendongeng di hadapan anak. Ajak anak secara interaktif untuk terlibat dalam alur cerita yang kita tuturkan padanya. Niscaya lambat laun anakpun memiliki kemampuan untuk bercerita atau melucu secara jenaka.

- Mengembangkan sikap toleransi anak dalam berteman.

Agar anak dapat bermain dengan asyik dengan teman-temannya, maka anak kita arahkan tidak boleh memaksakan kehendaknya pada temannya. Anak harus dapat memperhatikan dan mendengar keinginan-keinginan temannya. Begitu juga, anak diarahkan, agar dapat menghargai pendapat temannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar