Senin, 19 Oktober 2009

Belajar Sukses


Kalau kita menelaah kualitas produk lembaga pendidikan kita tentu sungguh memprihatinkan. Coba bayangkan, dalam praktek proses pembelajaran di kelas terlihat persentasi anak yang menguasai materi pembelajaran sangat kecil sekali. Apalagi, kalau SDM gurunya sangat rendah, bagaimana pula output yang dihasilkannya?

Tentu kehadiran bapak-ibu di sini punya keinginan yang kuat untuk memperoleh teknik atau cara praktis meningkatkan kualitas putra-putri bapak-ibu, bukan?

Sebenarnya, untuk menjadi manusia pembelajar itu sederhana. Namun, kadangkala kita sendiri yang membuat rumit atau ruwet. Sebab, kita harus berusaha menciptakan suasana pembelajaran yang benar. Inti untuk menjadi manusia pembelajar itu tak lain adalah sadar metode. Apapun yang akan kita perbuat akan terasa mudah dilakukan, jika kita mempergunakan metode. Coba bayangkan, kita melihat jaringan komponen computer yang menghasilkan data-data yang sungguh menabjubkan, tentu bagi yang awam terlihat ruwet dan memusingkan kepala. Tapi bagi yang ahli computer, dia memandangnya biasa saja. Karena dia mengetahui rangkaian operasional jaringan computer tersebut.

Nah, sebenarnya untuk memahami apa yang dipelajari, kita tidak boleh dalam keadaan pikiran pasif dan pikiran kosong dengan menampung mentah-mentah apa yang diberikan atau disajikan. Sebab, jika pikiran kita pasif, maka kita mudah kehilangan konsentrasi. Sebab, pikiran mudah bercabang atau menerawang pada ingatan atau pikiran lain yang tidak ada hubungannya dengan apa yang kita pelajari. Parahnya, kita pun mudah terjebak belajar menghafal. Ingat, belajar menghafal membuat pengetahuan yang kita peroleh sangat rendah atau tataran yang terbangun hanya pada tingkatan ingatan belaka atau sekedar mengingat saja. Makanya, .agar materi yang diberikan dapat kita mengerti atau pahami, maka kita perlu membangun atau mempersiapkan simpul-simpul syarat otak kita terkoneksi dengan informasi yang diberikan. Atau dengan kata lain, kita membangun asosiasi atau hubungan intelektual antara stimulus dan respon otak kita. Caranya kita itu harus membiasakan diri bersikap dan berpikir aktif, yaitu merangsang daya nalar untuk menghubungkan daya tangkap dengan informasi baru yang dibahas. Kita belajar berpikir abstrak. Kita berusaha merangkai, menyusun, menggiring atau menyusun asosiasi jalan pikiran secara terfokus. Caranya, buka pikiran dan giring (arahkan) pikiran secara taktis dan terfokus pada pokok masalah dengan mempertanyakan objek yang kita pelajari. Misalnya, apa yang mau dikatakannya, apa maksudnya, bagaimana rangkaiannya, bagaimana kelanjutannya, darimana memulainya, apa saja unsur yang membentuk atau membangunnya, bagaimana bentuk rangkaiannya, siapa pencetusnya, dan sebagainya, hingga tuntas.

Proses berpikir demikian yang dinamakan berpikir taktis. Berpikir taktis ini maksudnya adalah mengandung arti upaya mengarahkan proses berpikir, bertindak cepat dan efektif secara terukur dan terarah langsung menuju objek sasaran usaha. Taktis ini menunjukkan kecekatan dan keterampilan mengelola pemikiran untuk bertindak cepat dan tepat dalam memproses suatu rangsangan yang dihadapi.

Pendek kata, untuk melatih pengetahuan taktis ini subjek belajar harus membiasakan diri belajar mengamati atau melakukan observasi segala sesuatu secara detail.

Kelanjutan berpikir taktis, yaitu berpikir metodis. Berpikir Metodis mengandung arti kemampuan menyusun kerangka berpikir secara step by step atau menyusun prosedur kerja bagaimana cara menggerakkan proses penalaran dan tindakan efektif dalam memproses pokok masalah, sehingga dapat mengurai, menyusun, menimbang dan memecahkan pokok masalah dalam bentuk pola tindakan atau prakarsa.

Untuk melatih pengetahuan metodis, membiasakan diri dengan cara analisis (mengurai unsur), sintesis (menyusun) dan evaluasis (menilai). Cara efektif untuk melatih pengetahuan metodis dapat dilakukan dengan membiasakan diri menyontoh langsung dalam penyelesaian suatu soal (masalah) atau pekerjaan atau melibatkan diri langsung dalam pemecahan masalah. Atau mengembangkan pemikiran berdasarkan tujuan, sebab-akibat, pernyesuaian dan sebagainya.

Kemudian, Berpikir Imajinatif-Kreatif. Ini mengandung arti cara berpikir kreatif dalam menelaah/memecahkan pokok masalah dengan memperhitungkan kemungkinan yang mungkin dapat dimunculkan mengatasi pokok masalah.

Untuk mudah berpikir kreatif dalam mengobservasi adalah dengan cara membayangkan gambaran bentuk objek masalah dan pikirkan unsur-unsur penting yang membentuk gambaran (sesuatu) yang dapat mempengaruhi gambaran tersebut melalui proses analisis, sintetis dan evaluasis.

Subjek Belajar tak boleh ragu mengembangkan pikiran kreatif untuk mengkaji berbagai kemungkinan dari banyak sisi dalam mencari kunci jawaban masalah yang dihadapi (Kalau begini bagaimana ya? Atau kalau begitu bagaimana ya jadinya? Kalau dibuat seperti ini, bagaimana jadinya dan bagaimana mengantisipasi kemungkinan lain yang terjadi ya? Kalau mereka tidak setuju dengan usul saya ini, alternatif lain bagaimana yang bagus saya kemukakan pada mereka ya? Dari banyak alternatif ini, mana yang terbaik dan pantas dikemukakan?).

Untuk membangkitkan atau motivasi penggunaan metode belajar, maka dilakukan dengan cara merangsang daya nalar untuk mengorganisir pola pikir dengan memokuskan perhatian pada:

  1. Apa yang akan dipelajari,
  2. Untuk apa mempelajari materi pelajaran tersebut,
  3. Apa hubungan materi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari (manfaat mempelajari dan apa yang dapat kita lakukan dengan pengetahuan tersebut),
  4. Bagaimana cara mempelajarinya,
  5. Kemudian, bangkitkan faktor intelektual-emosional dengan mengembangkan dan membiasakan “berimajinasi dalam berpikir”. Maksudnya, subjek belajar membiasakan untuk menjelajah dengan berusaha membayangkan gambaran bentuk yang dipelajari. Kemudian pikirkan unsur-unsur penting yang membentuk gambaran tersebut. Dengan demikian subjek belajar akan digiring pada pola belajar aktif dan kreatif. By Hendra Surya (Penulis buku: Menjadi Manusia Pembelajar)

UPAYA MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN NASIONAL

Kalau kita merujuk atau mengikuti reportasi pendidikan media cetak sungguh membuat hati menjadi miris dan menyesakkan dada. Bayangkan berita tersebut selalu menyudutkan, mutu pendidikan Indonesia sangat rendah. Dari hasil laporan penelitian International Education Achieviement (IEA), menyatakan kemampuan membaca untuk tingkat SD saja Indonesia terpuruk dalam urutan 38 dari 39 peserta studi. Sedangkan kemampuan daya serap matematika siswa SLTP kita masuk urutan ke 39 dari 42 negara peserta. Begitu juga untuk kemampuan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Indonesia masuk ke dalam urutan 40 dari 42 negara peserta. Laporan ini mengindikasikan secara umum kemampuan daya serap siswa kita sangat lemah.

Apalagi, kalau kita mau melongok praktek pembelajaran di kelas sungguh memprihatinkan. Coba bayangkan, dalam praktek proses pembelajaran di kelas terlihat persentasi anak yang menguasai materi pembelajaran sangat kecil sekali. Kalau boleh dibilang anak mampu melakukan proses pembelajaran dengan benar hanya 10-20 % saja. Itu pun siswa yang dikategorikan anak pintar atau anak cerdas saja. Apalagi, kalau SDM gurunya sangat rendah, bagaimana pula output yang dihasilkannya?

Secara umum, jika kita telaah lebih lanjut masalah rendahnya kemampuan daya serap siswa, ternyata sebahagian besar bersumber dari masalah internal dari siswa itu sendiri. Hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan R.L. Mooney dan Mary Alice Price di Amerika, menyatakan ada 2 kesukaran yang paling menonjol atau paling banyak dialami pelajar, yaitu:

1. Tidak tahu bagaimana cara belajar yang efektif (don’t know how to study efektively)

2. Tidak dapat memusatkan perhatian dengan baik (unable to concentrate will).

Selama ini, dalam praktek pengajaran selalu saja timbul kegamangan dan dilematis. Kesalahan atau ketidakefektifan pemilihan metoda pengajaran oleh guru tentu berdampak signifikan terhadap pola belajar siswa kita. Metoda pengajaran yang tidak memberi peluang partisipasi aktif siswa secara optimal tentu memberi out put yang rendah dan tidak berkualitas pula. Kondisi belajar seperti ini menyebabkan siswa kita terperangkap pada metoda belajar klasik dalam menjalankan aktivitas belajarnya, yaitu terpaku pada metoda belajar menghafal. Padahal, metoda klasik tersebut hanya membuat siswa hanya pintar membeo dan tataran pengetahuan yang diperolehpun sangat dangkal, yaitu ingatan belaka. Pada anak mudah sekali kehilangan gairah belajar. Apalagi anak dihadapkan pada beban materi pelajaran yang didrillkan itu terlalu sarat. Hal ini membuat anak terbelenggu dan kehilangan kebebasan untuk belajar. Anak senantiasa mudah sekali dihinggapi oleh rasa jemu dan rasa bosan dalam belajar. Kemampuan konsentrasi belajar anak pun hanya mampu bertahan antara 10-20 menit saja setiap mengikuti satu mata pelajaran.

Ketidak mampuan anak membangun intensitas konsentrasi belajar ini, sehingga bagaimana mungkin anak mampu menguasai materi pelajaran secara utuh. Dengan demikian bagaimana anak mampu mengoperasionalkan ilmu pengetahuan yang dihadapkan padanya. Hal seperti ini membuat wajar, jika mutu produk pendidikan kita sangat rendah. Harapan untuk membentuk kompetensi siswa pun seperti panggang jauh dari api.

Faktor kesulitan yang terbesar yang dihadapi setiap guru di negeri ini adalah bagaimana menyiapkan siswa untuk melakukan proses pembelajarannya dalam arti belajar dengan benar dan sungguh-sungguh. Mengingat jumlah siswa yang dihadapi cukup besar, alokasi waktu pembelajaran terbatas dan sarana/prasarana pun cukup terbatas. Sehingga sangat sulit menciptakan partisipasi siswa secara aktif seluruh siswa untuk melakukan pembelajaran. Secara ideal proses belajar itu dapat dikatakan terjadi, apabila ada proses penggalangan aktivitas keterlibatan intelektual-emosional seluruh siswa dalam belajar. Guru diharapkan mampu mendesain materi pelajaran, sehingga mempunyai daya tarik atau daya magis yang menggairahkan dan menimbulkan antusias siswa untuk mempelajari pelajaran lebih lanjut, misalnya menyiapkan alat peraga yang menarik.

Oleh karena itu, sebagai konstribusi yang perlu diperhitungkan dan harus ada adalah sebuah panduan metodologi belajar bagi siswa. Selama ini dirasakan belum adanya panduan yang riil untuk membantu siswa mengetahui bagaimana belajar itu harus dilakukan. Bagaimana cara-cara merespon stimulus yang dihadapkan padanya, merencanakan belajar dan sistematis belajar, baik belajar dalam bimbingan guru maupun belajar mandiri. Bagaimana anak membangun proses penalaran, sikapnya dan psikomotornya.

Kalau kita merujuk pada visi pendidikan yang dirumuskan UNESCO dapat diketahui, bahwa pendidikan adalah mendidik anak untuk belajar berpikir, belajar hidup, belajar menjadi diri sendiri, belajar untuk belajar hidup. Hal ini menunjukkan subjek didik menyadari proses pendidikan berarti belajar mengendalikan, mengarahkan, menggerakkan dan menyetir pikiran, sikap maupun psycho motornya untuk mencapai tujuan tertentu atau menjadi tertentu. Anak belajar tidak hanya mengetahui sebuah informasi saja, namun mengetahui makna mengapanya dan bagaimananya sesuatu yang dipelajari, sehingga kompetensi anakpun terbangun sebagaimana yang dikehendaki.

Untuk dapat mengorganisir jalan pikiran, mengendalikan pikiran, mengarahkan pikiran, sikap dan psikomotor dengan baik dalam belajar, siswa mutlak membutuhkan metodologi belajar yang efektif. Metodologi belajar tersebut menjadi “alat” atau “kail” yang mengatur dan mengorganisir step by step jalan pikiran yang digunakan untuk menangkap, mengamati, mencerna, menginterpretasikan, menafsirkan, merangkai dan menyimpulkan ilmu pengetahuan dengan baik. Dengan kata lain, anak dengan alat tersebut dapat mengerti apa yang dipelajarinya, mengetahui bagaimana mempelajarinya dan mampu mengoperasionalkan ilmu yang diperolehnya.

Tentu kita semua mengharapkan siswa memiliki metode belajar yang efektif sebagai panduan pengarahan fokus pemikiran, sikap dan psycho motornya dalam belajar untuk mengurai dan menjelaskan atas objek yang dipelajari. Dengan alat tersebut siswa mampu menangkap dan memahami bentuk bentuk operasional yang menghubungkan antarunsur atau bagian yang dipelajari secara menyeluruh membentuk sebuah pengertian atau maksud. Dengan metode tersebut membantu menjembatani komunikasi timbal-balik antara siswa dengan pemberi stimulus belajar (guru). Pada diri siswa pun terus terpacu untuk membangun jalan pikirannya untuk menjadi atau menguasai sesuatu hingga tuntas. Dan yang lebih essensial lagi pada siswa sadar akan dirinya yang belajar, sehingga belajar dilakukan dengan penuh larutan kegembiraan untuk belajar.

Demikianlah sumbang-saran ini disampaikan dengan maksud sebagai bahan masukan pemikiran begitu “urgen”nya sebuah panduan metodologi belajar bagi siswa dalam meningkatkan prestasi dan mutu pendidikan di Indonesia. Semoga, MENDIKNAS yang baru mau memikirkan, menyusun dan menggerakkan pengembangan metodologi belajar bagi siswa sekolah di Indonesia. Untuk memperkenalkan dan melatih metodologi belajar yang efektif ini pada siswa dapat dilakukan secara intensif dan terprogram oleh guru bimbingan dan konseling di sekolah. Hendra Surya (Penulis buku: Menjadi Manusia Pembelajar)

Alamat : Jl. Al Abbasiyah 69B, Utan Jaya RT5/4, Kel. Pondok Jaya, Kec. Pancoranmas, Depok 16431

Telepon: 085281085906 - 02187982716

E-mail: hendra.surya@ymail.com, hendrasuryaw@gmail.com,Website: http://hendrasurya.blogspot.com

Rahasia Sang Maestro Cilik


Al kisah Hendi Bakti (11 tahun) seorang anak yatim dan miskin. Hendi ini sejak kecil menderita gagap. Karena gagapnya itu ia selalu jadi bahan olok-olokan temannya di sekolah maupun teman satu lingkungannya yang dikomando oleh Hartono dan Tommy (11 tahun). Pendek kata, tidak ada seorang pun yang mau bersahabat dengan dirinya. Kemana pun ia pergi selalu mendapat cecaran hinaan. Dia selalu dikucilkan dan dijauhi.

Ibunyapun (37 tahun) yang sudah terlalu letih mencari sesuap nasi tak luput dari cecaran hinaan karena Hendi itu, hingga ibunya menangis batin melihat anak sulungnya itu selalu mendapat hinaan, bahkan pukulan. Akhirnya ia melarang Hendi pergi bermain-main sepulang sekolah.

Untuk melepas kerinduan bermain, Hendi membuat rumah pohon di atas pohon jambu monyet di belakang rumahnya. Di dalam pertapaan rumah pohonnya itu, petuah Ibu Guru Erika (35 tahun) semakin matang dengan timbulnya ide untuk mengisi waktu luangnya dengan membuat lukisan tempurung kelapa. Ternyata idenya itu didukung oleh Kakek Hendi (60 tahun).

Lukisan tempurung kelapa yang dibuat Hendi itu ternyata mampu menyihir dan menarik minat Ibu Sulastri (40 tahun), seorang Pembina Dewan Kerajinan Nasional. Beliau menganjurkan pada Hendi untuk mengembangkan dan memproduksi lukisan itu untuk dipasarkan di Manca Negara. Beliau pun jadi managernya Hendi.

Kemahiran Hendi itu membawa cahaya yang mampu menarik perhatian banyak pihak dan Walikota (50 tahun) dan membuat para musuhnya bertekuk lutut. Hendi pun menakhlukkan kebencian dan sikap permusuhan dengan ilmu cinta kasih. Hendi yang dibenci dan dikucilkan itu mendadak berubah dikagumi dan diidolakan. Kedekatannya dengan Wanty Ati (11 tahun) memberi jalan bagi Hendi untuk mencari cara mengatasi gagapnya.

Bukan itu saja, Hendi sang maestro cilik ini mampu memberdayakan anak-anak putus sekolah dan pengangguran di kelurahannya. Hendi pun dengan lukisannya mampu memberikan hasil tambahan bagi banyak keluarga.

Perilaku inovatif dan kreatif Hendi mengantarkan dirinya memperoleh predikat siswa mandiri dan swakarya. Hendi pun mampu mengantarkan kelurahannya memperoleh penghargaan Kelurahan Teladan. Dirinyapun mendapat mustika prestasinya dengan penghargaan Upakarti. Ternyata, cacat atau kekurangannya bukan akhir dari segala-galanya…

Selasa, 21 Juli 2009

SEKOLAH PANIK MENGHADAPI UN?


Mengapa Ujian Nasional selalu menjadi momok yang menakutkan di negeri ini? Masalah UN selalu saja menjadi perdebatan pro-kontra yang tak habis-habisnya. Apalagi dewasa ini, untuk meningkatkan kualitas Pendidikan Nasional, pemerintah terus berupaya menaikkan angka standar kelulusan UN. Saat ini, angka standar kelulusan UN adalah 4,25. Reaksinya, kita dapat melihat kekuatiran yang langsung terjadi di kalangan orang tua yang anaknya akan menghadapi UN. Sementara, siswa dicekam ketakutan, sehingga mempengaruhi kemampuannya belajar. Namun ironinya, sekolah sebagai ujung tombak penyelenggara pendidikan yang diharapkan mampu mempersiapkan siswa-siswanya menghadapi UN juga panik. Sekolah takut banyak peserta didiknya tidak lulus UN.
Kepanikan sekolah menghadapi UN, tentu disikapi oleh kalangan yang kontra diselenggarakannya sistem UN di Indonesia dengan alasan beragam. Ada yang beralasan sistem UN tak layak diberlakukan di Indonesia karena tidak sesuai dengan kemampuan dan kataristik masing-masing daerah atau sekolah, sehingga tak layak untuk diberlakukan sama-rata satu sama lain. Ada yang menganggap kebijakan ini telah merampas hak guru sebagai pelaksana ujian, bukan pemerintah sebagaimana yang diamanatkan UU Sisdiknas. Ada yang melihat pertama, kualitas manejemen sekolah yang tidak menerapkan budaya mutu. Kedua, di mana etos belajar siswa yang rendah sebagai dampak pemberlakukan ebtanas yang lalu dan memungkinkan sekolah meluluskan seluruh peserta didik (100%). Ketiga, orang tua yang cuci tangan terhadap pendidikan anaknya, karena merasa telah membayar seluruh biaya pendidikan. Padahal, pendidikan dalam keluarga merupakan basis utama dalam melahirkan dan membentuk anak yang cerdas.
Hal lain, UN tidak sejalan dengan pengimplementasian manajemen berbasis sekolah (MBS) atau manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS). Sebab, inti penilai hasil belajar siswa juga tidak dapat dipisahkan dari pengelolaan kurikulum dan belajar-mengajar di sekolah. Padahal, dalam kerangka MPMPS ini terdapat Sembilan aspek yang dapat digarap oleh sekolah. Kesembilan aspek itu adalah (1) perencanaan dan evaluasi program sekolah, (2) pengelolaan kurikulum, (3) pengelolaan proses belajar-mengajar, (4) pengelolaan ketenagaan, (5) pengelolaan peralatan dan perlengkapan, (6) pengelolaan keuangan, (7) pelayanan siswa, (8) hubungan sekolah dan masyarakat, (9) pengelolaan iklim sekolah.
Sementara, kepanikan sekolah dapat dilihat, ada kepala sekolah mengambil kebijakan dengan mengintensifkan seluruh waktu belajar di sekolah untuk mata pelajaran yang di-UN-kan saja pada semester 6 dengan menghilangkan pembelajaran mata pelajaran yang tidak di-UN-kan. Di samping itu, kepanikan sekolah ada yang mendatangkan pelatih bimbingan belajar dari luar sekolah. Hal ini, tentu dinilai sangat melecehkan kemampuan guru sekolah yang bersangkutan. “Masalahnya anak didik dipaksa belajar keras dalam waktu singkat hanya dalam rangka lulus UN.” Bimbel juga menambah beban orang tua siswa karena ada pungutan tambahan. Sementara, siswa miskin semakin termarginalkan.
Terlepas pro-kontra pelaksanaan UN oleh pemerintah, namun suatu hal yang mutlak harus dilakukan adalah upaya meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan pendidikan di sekolah. Untuk meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan pendidikan di sekolah, maka setiap sekolah harus memiliki tim pengembangan dan kaji mutu di bawah bidang kurikulum sekolah. Juga, perlu diberdayakan etos belajar siswa secara intensif.
Tim pengembangan dan kaji mutu ini harus berisikan tenaga yang memiliki integritas, visi dan misi sebagai agen perubahan meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan pendidikan di sekolah. Sebab, tak dapat dipungkiri ada kecenderungan di kalangan guru di setiap sekolah yang anti perubahan dengan alasan beragam. Sebab, seperti yang pernah diucapkan Prof. Suyanto PH.D, sebenarnya semua orang termasuk guru pada hakekatnya tidak suka berubah tanpa ada upaya yang nyata dari para inovator untuk mengubahnya. Keadaan umum ini juga pernah diingatkan oleh Jack Welch, seorang Chief Executive Officer perusahaan raksasa kelas dunia General Electric yang digambarkan dalam kalimat: “Change has no constituency. People like status quo. The like the way it was.” Oleh karena itu, untuk suksesnya peningkatan mutu dan pelayanan pendidikan di sekolah perlu agen perubahan yang mampu mengajak para guru untuk berubah, mau mengadopsi inovasi ke dalam praktik pembelajaran yang menjadi tanggung-jawabnya.
Tugas-tugas tim pengembangan dan kaji mutu di sekolah meliputi di antaranya: (1) Menyusun program pengembangan kurikulum. Guru tidak boleh terpaku pada kurikulum dan harus mau mencari inovasi dalam meramu materi dan menciptakan metoda pembelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan. Sebab, dalam proses pendidikan yang penting metoda dan materi pembelajaran. Kurikulum itu jangan dijadikan sesuatu yang mutlak. Guru harus menafsirkan dengan sesuatu yang baru dan kreatif. (2) Mengkaji dan mempersiapkan model pembelajaran baru. Tim harus mampu mempersiapkan dan mengadakan pelatihan yang dirancang bersama, seperti: pembuatan satuan pelajaran, evaluasi, alat bantu dan pola interaksi pembelajaran yang efektif dengan siswa. Bila perlu mendatangkan para trainer professional untuk melatih para guru atau mengajukan usulan pada Dinas Pendidikan untuk mengadakan pelatihan.
Hal yang tak kalah penting, yaitu menciptakan etos belajar siswa yang efektif. Sebab, selama ini etos belajar siswa terabaikan dan tidak menjadi fokus perhatian. Sebahagian besar siswa terjebak dalam pola belajar menghafal. Padahal, metoda menghafal hanya membuat siswa hanya pintar membeo dan pengetahuan yang diperolehnya sangat dangkal, yaitu ingatan belaka. Pada siswa terlihat mudah sekali kehilangan gairah belajar. Apalagi, siswa dihadapkan pada beban materi pelajaran yang didrillkan itu terlalu sarat. Hal ini membuat siswa kehilangan kebebasan untuk belajar, mudah sekali dihinggapi oleh rasa jemu dan bosan dalam belajar. Kemampuan konsentrasi siswa pun hanya mampu bertahan antara 10-15 menit saja setiap mengikuti satu mata pelajaran.
Ketidakmampuan siswa membangun intensitas konsentrasi belajar ini, sehingga bagaimana mungkin siswa mampu menguasai materi pelajaran secara utuh dan bagaimana siswa mampu mengoperasionalkan keilmuannya. Hal seperti ini wajar, jika mutu produk pendidikan sangat rendah. Harapan untuk membentuk kompetensi siswapun seperti panggang jauh dari api.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan etos belajar siswa mutlak dibutuhkan sadar metode belajar. Kalau kita merujuk pada visi pendidikan yang dirumuskan UNESCO dapat diketahui, bahwa pendidikan adalah mendidik anak untuk belajar berpikir, belajar hidup, belajar menjadi diri sendiri, belajar untuk belajar hidup. Hal ini menunjukkan subjek didik menyadari proses pendidikan berarti belajar mengendalikan, mengarahkan, menggerakkan dan menyetir pikiran, sikap maupun psycho motornya untuk mencapai tujuan tertentu atau menjadi tertentu. Anak belajar tidak hanya mengetahui sebuah informasi saja, namun mengetahui makna mengapanya dan bagaimananya sesuatu yang dipelajari, sehingga kompetensi anakpun terbangun sebagaimana yang dikehendaki.
Tentu kita semua mengharapkan siswa memiliki metode belajar yang efektif sebagai panduan pengarahan fokus pemikiran, sikap dan psycho motornya dalam belajar untuk mengurai dan menjelaskan atas objek yang dipelajari. Dengan alat tersebut siswa mampu menangkap dan memahami bentuk bentuk operasional yang menghubungkan antarunsur atau bagian yang dipelajari secara menyeluruh membentuk sebuah pengertian atau maksud. Dengan metode tersebut membantu menjembatani komunikasi timbal-balik antara siswa dengan pemberi stimulus belajar (guru). Pada diri siswa pun terus terpacu untuk membangun jalan pikirannya untuk menjadi atau menguasai sesuatu hingga tuntas. Dan yang lebih essensial lagi pada siswa sadar akan dirinya yang belajar, sehingga belajar dilakukan dengan penuh larutan kegembiraan untuk belajar.
Untuk memperkenalkan dan melatih metode belajar yang efektif ini pada siswa dapat dilakukan secara intensif dan terprogram oleh guru bimbingan dan konseling di sekolah atau para orang tua yang peduli terhadap perkembangan pendidikan anaknya di rumah. Oleh: Hendra Surya.

Sabtu, 18 Juli 2009

BIMBEL MEMBUAT CERDAS ATAU PEMBODOHAN?

Benarkah kredibilitas sekolah di Indonesia sudah merosot tajam dan tak mampu mencetak siswa berkualitas? Sebaliknya, bimbingan belajar (bimbel) menjamur dan begitu populer, bak seperti tumbuhnya cendawan di musim hujan. Momen Ujian Nasional pun menjadi tolak ukur dan ajang persaingan antara bimbel dan sekolah dalam mencetak siswa berprestasi. Apalagi, setiap tahun ajaran baru atau bagi rapor merupakan momen yang memiriskan hati, sebab bimbingan belajar begitu menonjol bersaing memikat hati para wali siswa dan siswa. Di depan gerbang sekolah kita dapat menemukan begitu gencarnya agen bimbingan belajar menyebarkan brosur yang memikat dan menjanjikan kualitas pembelajaran dan output berprestasi. Bahkan ironinya, tidak sedikit para oknum di sekolah bekerja sama dan menjadi agen bimbingan belajar.

Namun, bukankah menjamurnya bimbel ini merupakan tamparan keras bagi pemerintah dan sekolah yang tak mampu memberikan jaminan pelayanan pendidikan yang berkualitas? Atau, memang kehadiran bimbel sangat dibutuhkan untuk mengalihkan tanggungjawab dan meringankan tugas yang seharusnya diemban pemerintah dan sekolah?! Tapi sebaliknya yang perlu jadi pemikiran, apa kehadiran bimbel tidak mendorong proses pembodohan?!

Kalau kita melihat daya tarik bimbel melalui brosur yang disodorkan agen bimbel tentunya sungguh memikat hati. Coba bayangkan, bimbel mampu memberikan janji pelayanan dengan metoda pembelajaran yang up to date. Di mana metoda pembelajaran yang diberikan lebih menjanjikan bagaimana siswa dapat belajar efektif, smart dan penerapan strategi belajar cepat. Bukan itu saja, ada paket pendamping belajar siswa dengan memberi pelayanan konseling dan pemecahan masalah siswa. Di samping itu, pembelajaran didukung dengan fasilitas lengkap yang merangsang siswa belajar asyik. Terbayang, siswa masuk bimbel sudah terarah pada target belajar yang jelas hendak didapat siswa.

Yang membuat tumbuh suburnya bimbel adalah adanya kegalauan para wali siswa maupun siswa terhadap pelayanan sekolah. Sekolah dianggap tidak mampu memberi bekal secara teknis keilmuan maupun kesiapan mental siswa menghadapi UN maupun ujian masuk PT.

Para siswa merasa bimbel merupakan pilihan alternatif yang dianggap mampu memberi bahan praktis up to date khusus untuk menghadapi UN atau Ujian Masuk PT. Mereka mendapat informasi dan bahan tentang soal-soal yang pernah keluar, tehnik praktis mengerjakan soal serta diberi materi yang dianalisis bakal keluar. Yang lebih menggiurkan bimbel dapat menyajikan data kakak kelas siswa yang berhasil masuk PT favorit. Pendek kata, siswa melalui bimbel mendapat bekal mental, materi, teknik dan keterampilan fisik untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Kegalauan siswa ini, membuat mereka berani mengeluarkan biaya berapapun agar dapat pelatihan dan informasi yang bermutu. Bagi wali siswa mengeluarkan biaya tinggi untuk bimbel dianggap sebagai sebuah investasi untuk keberhasilan anak menjadi mahasiswa di PT terfavorit.

Kegalauan para wali siswa maupun siswa ini disambut oleh para penyelenggara bimbingan belajar (bimbel) sebagai suatu peluang emas. Penyelenggara, ada yang tergerak mendirikan bimbel dengan alasan konseptual, yaitu merasa tergerak untuk terlibat dalam menyelesaikan persoalan peningkatan kualitas Pendidikan Nasional. Ada yang beranggapan ingin menjembatani antara SMTA dengan PT. Namun kalau diperhatikan lebih banyak dengan alasan realitis pragmatis, bahwa mereka butuh mata pencaharian untuk mendapatkan uang dan perlu menciptakan lapangan kerja bagi yang mempunyai kemampuan mengajar.

Kalau kita melongok bagaimana praktik pendidikan di sekolah, ternyata sebahagian besar masih terlihat kurang mengembangkan kompetensi siswa. Kecuali, hanya menghafalkan pengetahuan yang sudah jadi. Guru sangat terpaku pada kurikulum tanpa mau mencari inovasi-inovasi dalam meramu materi dan menciptakan metoda pembelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan. Padahal, Dalam proses pendidikan yang penting metoda dan materi pembelajaran. Kurikulum itu jangan dijadikan sesuatu yang mutlak. Guru harus menafsirkan dengan sesuatu yang baru dan kreatif.

Seorang guru itu hendaknya kreatif menciptakan berbagai model pembelajaran yang diyakini memiliki dampak positif terhadap hasil belajar siswa. Misalnya: menciptakan alat pembelajaran yang sangat efektif bagi terciptanya pembelajaran aktif, kreatif dan menyenangkan. Namun, realita pola pendidikan yang diterapkan tidak melahirkan unjuk kerja siswa secara bermakna. Siswa banyak tahu informasi, tetapi siswa tidak mampu mengoperasionalkan tahunya tersebut.

Perbedaan antara harapan dan realita di atas, maka tak heran kemampuan sekolah sangat diragukan dalam memberi pelayanan yang berkualitas, sehingga bimbel menjadi pilihan alternatif untuk memenuhi harapan wali siswa maupun siswa.

Namun yang perlu dikaji lebih mendalam, apakah bimbel tidak menyebabkan proses pembodohan?

Hal yang perlu menjadi pemikiran, siswa bukan robot yang mempunyai kemampuan prima untuk belajar sepanjang waktu. Siswa itu manusia biasa yang mempunyai keterbatasan fisik dan mental. Coba bayangkan, siswa mengikuti proses pembelajaran di sekolah antara pukul 7 sampai pukul 15 siang. Belum lagi diperhitungkan waktu tempuh pergi dan pulang sekolah. Tentunya, siswa mengalami keletihan secara fisik dan mental setelah menjalani proses pembelajaran dan plus waktu tempuh pergi/pulang sekolah + 8-10 jam sehari. Kemudian, siswa diharuskan mengikuti bimbel antara 2-4 jam, mengerjakan PR sekolah dan persiapan belajar untuk ke esok harinya.

Tentu kita memahami, seseorang yang sedang mengalami keletihan fisik dan mental, maka kemampuan bernalar dan tenaga pun menjadi drop. Dengan demikian, bagaimana siswa mampu menguasai materi pelajaran secara maksimal. Bisa jadi, siswa terjebak dan kewalahan mengatur waktu dan jadwal belajarnya. Alhasil, siswa mengalami kesulitan belajar di sekolah dan tak mampu menyerap materi pembelajaran di bimbel.

Hal lain yang kerapkali muncul, siswa mengalami kebingungan menentukan prioritas belajar, sehingga tidak sedikit siswa yang masuk bimbel menjadi menyepelekan pelajaran sekolah maupun gurunya di sekolah.

Dan yang juga perlu dikaji, sistem pembelajaran bimbel yang lebih menekankan pen-drill-an penyelesaian soal dalam menghadapi ujian itu apa sudah menjamin siswa memiliki kemampuan standar keilmuan dalam mengoperasionalkan keilmuannya. Kalau ditelaah siswa yang berhasil mengikuti bimbel, ternyata siswa tersebut di sekolah juga termasuk siswa yang punya kemampuan menonjol dan berprestasi. Siswa yang di sekolah termasuk siswa yang menonjol, maka setelah mengikuti bimbel tentunya menjadi lebih pintar.

Pengkajian dampak negatif bimbel perlu menjadi pemikiran kita bersama dan pembuat kebijakan pendidikan untuk lebih meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan di sekolah. Pemerintah berkewajiban untuk mengajak para guru untuk berubah mau mengadopsi inovasi ke dalam praktik pembelajaran yang menjadi tanggung jawabnya.

Konsekwensinya, guru harus dilatih bagaimana mempersiapkan semua model pendekatan baru dalam implemetasi praktik pembelajaran. Seperti: pembuatan satuan pembelajaran, evaluasi, alat bantu, perubahan filosofi, pergeseran paradigma interaksi pembelajaran dengan siswa dan sebagainya. Tanpa ada perubahan yang baik dilihat dari aspek profesionalisme guru, sulit dibayangkan akan terjadinya keberhasilan praktik pembelajaran. Begitu juga, leadership kepala sekolah juga perlu memberi dukungan terhadap perubahan di sekolah.

Minggu, 05 Juli 2009

Gaya Bookish Jatuh Cinta


-->
Bagi Ridho meraih prestasi hal biasa, tapi mengalami jatuh cinta merupakan hal luar biasa. Bookish satu ini gitu terkesima pada Wulan. Dia berangan, Wulan ini jadi kekasihnya. Masalahnya, untuk pedekate aja, bookish satu ini kayak mau Ujian Nasional aja. Dia sibuk amat mempersiapkan jurus-jurus asmaranya dari buku pintar.
Tapi Ridho ketemu batunya, ternyata cewek yang didekatinya itu sudah malang melintang di dunia percowokan. Makanya, ketika cowok lugu ini masang aksi, dia pun ingin mempermainkan Ridho.
Lebih serunya, usaha Ridho mendekati Wulan mendapat tentangan habis temannya sendiri, yaitu: Dina, Ellin, Magda, Heru, Rambe dan Toro. Mereka merasa tak rela kalau Ridho jatuh ke dalam pelukan cewek yang mereka anggap nggak bener. Berbagai cara mereka lakukan untuk menggagalkan usaha Ridho. Ridho jadi kalang-kabut dan reputasinya pun dipertaruhkannya di Kampus.
Masalahnya tambah rumit karena Ello, pacarnya Wulan terdahulu gak rela melepaskan Wulan. Makanya, dia dan ganknya berusaha keras menjauhkan Wulan dari Ridho. Ridho pun nggak mau tinggal diam. Lagi-lagi dia mempersiapkan jurus pamungkasnya dari buku pintar.
Berhasilkah Ridho mengatasi rintangannya? Dan bagaimana sikap Ridho setelah mengetahui siapa sebenarnya Wulan? Nah, jawabannya jangan anda lewatkan membaca novel ini. Kocak dan seru banget deh!!!

Jumat, 01 Mei 2009

Miskin Bukan Berarti Tak Bisa


Novel Cinta Sang Idola sungguh menarik dan layak dibaca. Di mana tehnik penyajian novel ini ringan sangat cocok dengan selera anak remaja dan gaya yang ditampilkan pun cukup unik dengan mengusung gaya pop bertutur orang Melayu Deli. Sementara, si penutur orang yang baru ngetop dan bergaya orang Jakarta. Kisah yang diangkat sangat dekat dengan kejadian yang kerapkali melanda kaum remaja. Jalinan ceritanya sangat mengesankan, seperti kisah nyata. Harubiru lika-liku jalinan asmara, bagai Romeo dan Juliet. Tapi Uniknya lagi, jalinan cerita novel ini dapat memberi berbagai inspirasi bagi pembaca mensiasati alam pikir dan kreativitas mengembangkan diri untuk menunjukkan Ini Gue lho!!! Miskin bukan berarti Gue tak mampu…

Sebagai remaja yang baru tumbuh, merasakan cinta yang baru bersemi, tentu indahnya bukan main. Begitu juga yang dirasakan Ikhzan dan Tiara, kedua anak melayu ini. Mereka berdua ini kan lagi asyik dilanda gelombang cinta. Cinta yang bersemi pun menembus batas perbedaan yang menyolok di antara mereka berdua.

Tapi betapa hancur hati keduanya, ketika cinta mereka dipisahkan secara paksa oleh ayahnya Tiara. Perbedaan derajat bagai langit dan bumi jadi alasan Wan Hamzah memisahkan hubungan Tiara dengan Ikhzan. Apalagi, Wan Hamzah telah menjodohkan Tiara dengan Saiful. Makanya, Tiara dengan paksa dipindahkan sekolahnya ke Medan. Di Medan Tiara dipertemukan dengan Saiful, calon insinyur... Saiful pun lantas berusaha keras untuk menghapus memori Ikhzan dari benak pikiran Tiara. Sebagai putri melayu yang patuh memangku adat, Tiara terpaksa menjalani fitrahnya… Tapi hati kecilnya masih menyimpan rindu untuk menemukan kembali bunga cintanya…

Sementara, Ikhzan berusaha bangkit dari keterpurukan jiwanya dan tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan. Apalagi, support temannya, seperti Mirza, Dody, Fachri dan Rina sangat membantu dirinya. Rasa terhina Ikhzan membuat semangatnya membaja untuk merubah nasib. Dia boleh miskin, tapi siapa bilang dia tidak bisa Miskin bukan berarti hampa segala-galanya... Makanya, setelah menamatkan SMA, dia merantau. Di Medan Ikhzan berjuang merintis karier jadi penyanyi restoran.

Luka hati Ikhzan dan Tiara ternyata terbuka kembali, ketika mereka secara tak sengaja saling menyaksikan. Tiara lihat Ikhzan sudah jadi seorang penyanyi restoran dan mulai dapat banyak penggemar. Sedang Ikhzan saksikan Tiara berdampingan dengan tunangannya. Mereka ingin saling meluruk dalam dekapan, melepas jejak rindu, tapi tak sampai. Betapa pedih hati mereka rasanya…

Ketika ada audisi Idol di Medan, Ikhzan pun tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Ternyata atas kegigihan Ikhzan temukan jalan untuk membentuk talentanya. Diapun jadi bintang yang ngetop dan beken setelah menjadi pemenang Grand Final Indonesian Idol.

Di sini Ikhzan buktikan kekurangan bukan jadi halangan untuk maju. Kemampuan mensiasati alam pikir dan kreativitas untuk mengenali dan mengembangkan bakat tersembunyi mengantarkan dirinya temukan talenta yang brilian. Ikhzan mampu meniti dan mengembangkan talentanya, makanya jadi orang top dan beken.

Di samping itu, Ikhzan membuktikan untuk membuka mata dan meningkatkan harga dirinya bukan harus dengan kekerasan, tapi dengan talenta yang mengagumkan dan membuat orang bangga pada dirinya. Bagaimana sikap Wan Hamzah melihat Ikhzan menjadi bintang top dan selebriti? Bagaimana sikap Ikhzan sendiri terhadap Wan Hamzah dan Tiara setelah dia menjadi orang beken? Keberhasilan Ikhzan ini, apakah juga membawa kebahagiaannya kembali dan menemukan cintanya kembali? Atau Ikhzan menemukan bunga cintanya yang lain…

Cinta itu tidak bisa dipaksakan. Tapi siapa yang percaya akan kekuatan cinta, maka dia akan meraih kebahagiaan…

Jika Anda berminat untuk memiliki novel ini, maka segera pesan melalui :

  1. hendrasuryaw@gmail.com atau hendra.surya@ymail.com dengan mencantumkan nama/ alamat/nomor hp atau telepon/judul pesanan/ jumlah pesanan.
  2. Harga Novel Cinta Sang Idola adalah Rp. 43.000 dan tambah ongkos pengiriman Rp. 7000,-
  3. Segera transfer pembelian anda melalui no-rekening: 053801001739502 BRI Cabang Depok, a/n Drs. Hendra Surya.
  4. Setelah transfer uang pembelian, segera konfirmasi melalui SMS ke 085281085906 dengan format SMS: Pembelian/jumlah transfer + tiga nomor akhir Hp Anda/Nama bank Anda/ jam transfer/ Tanggal transfer/Nama Anda/Alamat Anda.
  5. Sertakan nomor unik Hp Anda dengan cara cantumkan tiga angka terakhir nomor Hp Anda pada jumlah transfer, misalnya: nomor Hp Anda : 081380689120 dan jumlah pembelian + ongkos kirim: Rp. 50.000, maka cantumkan dengan cara: Rp. 50.120,-

Wasalam Penulis,

Hendra Surya

http://hendrasurya.blogspot.com , hendra.surya@ymail.com

hp: 085281085906