Mengapa Ujian Nasional selalu menjadi momok yang menakutkan di negeri ini? Masalah UN selalu saja menjadi perdebatan pro-kontra yang tak habis-habisnya. Apalagi dewasa ini, untuk meningkatkan kualitas Pendidikan Nasional, pemerintah terus berupaya menaikkan angka standar kelulusan UN. Saat ini, angka standar kelulusan UN adalah 4,25. Reaksinya, kita dapat melihat kekuatiran yang langsung terjadi di kalangan orang tua yang anaknya akan menghadapi UN. Sementara, siswa dicekam ketakutan, sehingga mempengaruhi kemampuannya belajar. Namun ironinya, sekolah sebagai ujung tombak penyelenggara pendidikan yang diharapkan mampu mempersiapkan siswa-siswanya menghadapi UN juga panik. Sekolah takut banyak peserta didiknya tidak lulus UN.
Kepanikan sekolah menghadapi UN, tentu disikapi oleh kalangan yang kontra diselenggarakannya sistem UN di Indonesia dengan alasan beragam. Ada yang beralasan sistem UN tak layak diberlakukan di Indonesia karena tidak sesuai dengan kemampuan dan kataristik masing-masing daerah atau sekolah, sehingga tak layak untuk diberlakukan sama-rata satu sama lain. Ada yang menganggap kebijakan ini telah merampas hak guru sebagai pelaksana ujian, bukan pemerintah sebagaimana yang diamanatkan UU Sisdiknas. Ada yang melihat pertama, kualitas manejemen sekolah yang tidak menerapkan budaya mutu. Kedua, di mana etos belajar siswa yang rendah sebagai dampak pemberlakukan ebtanas yang lalu dan memungkinkan sekolah meluluskan seluruh peserta didik (100%). Ketiga, orang tua yang cuci tangan terhadap pendidikan anaknya, karena merasa telah membayar seluruh biaya pendidikan. Padahal, pendidikan dalam keluarga merupakan basis utama dalam melahirkan dan membentuk anak yang cerdas.
Hal lain, UN tidak sejalan dengan pengimplementasian manajemen berbasis sekolah (MBS) atau manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS). Sebab, inti penilai hasil belajar siswa juga tidak dapat dipisahkan dari pengelolaan kurikulum dan belajar-mengajar di sekolah. Padahal, dalam kerangka MPMPS ini terdapat Sembilan aspek yang dapat digarap oleh sekolah. Kesembilan aspek itu adalah (1) perencanaan dan evaluasi program sekolah, (2) pengelolaan kurikulum, (3) pengelolaan proses belajar-mengajar, (4) pengelolaan ketenagaan, (5) pengelolaan peralatan dan perlengkapan, (6) pengelolaan keuangan, (7) pelayanan siswa, (8) hubungan sekolah dan masyarakat, (9) pengelolaan iklim sekolah.
Sementara, kepanikan sekolah dapat dilihat, ada kepala sekolah mengambil kebijakan dengan mengintensifkan seluruh waktu belajar di sekolah untuk mata pelajaran yang di-UN-kan saja pada semester 6 dengan menghilangkan pembelajaran mata pelajaran yang tidak di-UN-kan. Di samping itu, kepanikan sekolah ada yang mendatangkan pelatih bimbingan belajar dari luar sekolah. Hal ini, tentu dinilai sangat melecehkan kemampuan guru sekolah yang bersangkutan. “Masalahnya anak didik dipaksa belajar keras dalam waktu singkat hanya dalam rangka lulus UN.” Bimbel juga menambah beban orang tua siswa karena ada pungutan tambahan. Sementara, siswa miskin semakin termarginalkan.
Terlepas pro-kontra pelaksanaan UN oleh pemerintah, namun suatu hal yang mutlak harus dilakukan adalah upaya meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan pendidikan di sekolah. Untuk meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan pendidikan di sekolah, maka setiap sekolah harus memiliki tim pengembangan dan kaji mutu di bawah bidang kurikulum sekolah. Juga, perlu diberdayakan etos belajar siswa secara intensif.
Tim pengembangan dan kaji mutu ini harus berisikan tenaga yang memiliki integritas, visi dan misi sebagai agen perubahan meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan pendidikan di sekolah. Sebab, tak dapat dipungkiri ada kecenderungan di kalangan guru di setiap sekolah yang anti perubahan dengan alasan beragam. Sebab, seperti yang pernah diucapkan Prof. Suyanto PH.D, sebenarnya semua orang termasuk guru pada hakekatnya tidak suka berubah tanpa ada upaya yang nyata dari para inovator untuk mengubahnya. Keadaan umum ini juga pernah diingatkan oleh Jack Welch, seorang Chief Executive Officer perusahaan raksasa kelas dunia General Electric yang digambarkan dalam kalimat: “Change has no constituency. People like status quo. The like the way it was.” Oleh karena itu, untuk suksesnya peningkatan mutu dan pelayanan pendidikan di sekolah perlu agen perubahan yang mampu mengajak para guru untuk berubah, mau mengadopsi inovasi ke dalam praktik pembelajaran yang menjadi tanggung-jawabnya.
Tugas-tugas tim pengembangan dan kaji mutu di sekolah meliputi di antaranya: (1) Menyusun program pengembangan kurikulum. Guru tidak boleh terpaku pada kurikulum dan harus mau mencari inovasi dalam meramu materi dan menciptakan metoda pembelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan. Sebab, dalam proses pendidikan yang penting metoda dan materi pembelajaran. Kurikulum itu jangan dijadikan sesuatu yang mutlak. Guru harus menafsirkan dengan sesuatu yang baru dan kreatif. (2) Mengkaji dan mempersiapkan model pembelajaran baru. Tim harus mampu mempersiapkan dan mengadakan pelatihan yang dirancang bersama, seperti: pembuatan satuan pelajaran, evaluasi, alat bantu dan pola interaksi pembelajaran yang efektif dengan siswa. Bila perlu mendatangkan para trainer professional untuk melatih para guru atau mengajukan usulan pada Dinas Pendidikan untuk mengadakan pelatihan.
Hal yang tak kalah penting, yaitu menciptakan etos belajar siswa yang efektif. Sebab, selama ini etos belajar siswa terabaikan dan tidak menjadi fokus perhatian. Sebahagian besar siswa terjebak dalam pola belajar menghafal. Padahal, metoda menghafal hanya membuat siswa hanya pintar membeo dan pengetahuan yang diperolehnya sangat dangkal, yaitu ingatan belaka. Pada siswa terlihat mudah sekali kehilangan gairah belajar. Apalagi, siswa dihadapkan pada beban materi pelajaran yang didrillkan itu terlalu sarat. Hal ini membuat siswa kehilangan kebebasan untuk belajar, mudah sekali dihinggapi oleh rasa jemu dan bosan dalam belajar. Kemampuan konsentrasi siswa pun hanya mampu bertahan antara 10-15 menit saja setiap mengikuti satu mata pelajaran.
Ketidakmampuan siswa membangun intensitas konsentrasi belajar ini, sehingga bagaimana mungkin siswa mampu menguasai materi pelajaran secara utuh dan bagaimana siswa mampu mengoperasionalkan keilmuannya. Hal seperti ini wajar, jika mutu produk pendidikan sangat rendah. Harapan untuk membentuk kompetensi siswapun seperti panggang jauh dari api.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan etos belajar siswa mutlak dibutuhkan sadar metode belajar. Kalau kita merujuk pada visi pendidikan yang dirumuskan UNESCO dapat diketahui, bahwa pendidikan adalah mendidik anak untuk belajar berpikir, belajar hidup, belajar menjadi diri sendiri, belajar untuk belajar hidup. Hal ini menunjukkan subjek didik menyadari proses pendidikan berarti belajar mengendalikan, mengarahkan, menggerakkan dan menyetir pikiran, sikap maupun psycho motornya untuk mencapai tujuan tertentu atau menjadi tertentu. Anak belajar tidak hanya mengetahui sebuah informasi saja, namun mengetahui makna mengapanya dan bagaimananya sesuatu yang dipelajari, sehingga kompetensi anakpun terbangun sebagaimana yang dikehendaki.
Tentu kita semua mengharapkan siswa memiliki metode belajar yang efektif sebagai panduan pengarahan fokus pemikiran, sikap dan psycho motornya dalam belajar untuk mengurai dan menjelaskan atas objek yang dipelajari. Dengan alat tersebut siswa mampu menangkap dan memahami bentuk bentuk operasional yang menghubungkan antarunsur atau bagian yang dipelajari secara menyeluruh membentuk sebuah pengertian atau maksud. Dengan metode tersebut membantu menjembatani komunikasi timbal-balik antara siswa dengan pemberi stimulus belajar (guru). Pada diri siswa pun terus terpacu untuk membangun jalan pikirannya untuk menjadi atau menguasai sesuatu hingga tuntas. Dan yang lebih essensial lagi pada siswa sadar akan dirinya yang belajar, sehingga belajar dilakukan dengan penuh larutan kegembiraan untuk belajar.
Untuk memperkenalkan dan melatih metode belajar yang efektif ini pada siswa dapat dilakukan secara intensif dan terprogram oleh guru bimbingan dan konseling di sekolah atau para orang tua yang peduli terhadap perkembangan pendidikan anaknya di rumah. Oleh: Hendra Surya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar