Benarkah kredibilitas sekolah di Indonesia sudah merosot tajam dan tak mampu mencetak siswa berkualitas? Sebaliknya, bimbingan belajar (bimbel) menjamur dan begitu populer, bak seperti tumbuhnya cendawan di musim hujan. Momen Ujian Nasional pun menjadi tolak ukur dan ajang persaingan antara bimbel dan sekolah dalam mencetak siswa berprestasi. Apalagi, setiap tahun ajaran baru atau bagi rapor merupakan momen yang memiriskan hati, sebab bimbingan belajar begitu menonjol bersaing memikat hati para wali siswa dan siswa. Di depan gerbang sekolah kita dapat menemukan begitu gencarnya agen bimbingan belajar menyebarkan brosur yang memikat dan menjanjikan kualitas pembelajaran dan output berprestasi. Bahkan ironinya, tidak sedikit para oknum di sekolah bekerja sama dan menjadi agen bimbingan belajar.
Namun, bukankah menjamurnya bimbel ini merupakan tamparan keras bagi pemerintah dan sekolah yang tak mampu memberikan jaminan pelayanan pendidikan yang berkualitas? Atau, memang kehadiran bimbel sangat dibutuhkan untuk mengalihkan tanggungjawab dan meringankan tugas yang seharusnya diemban pemerintah dan sekolah?! Tapi sebaliknya yang perlu jadi pemikiran, apa kehadiran bimbel tidak mendorong proses pembodohan?!
Kalau kita melihat daya tarik bimbel melalui brosur yang disodorkan agen bimbel tentunya sungguh memikat hati. Coba bayangkan, bimbel mampu memberikan janji pelayanan dengan metoda pembelajaran yang up to date. Di mana metoda pembelajaran yang diberikan lebih menjanjikan bagaimana siswa dapat belajar efektif, smart dan penerapan strategi belajar cepat. Bukan itu saja, ada paket pendamping belajar siswa dengan memberi pelayanan konseling dan pemecahan masalah siswa. Di samping itu, pembelajaran didukung dengan fasilitas lengkap yang merangsang siswa belajar asyik. Terbayang, siswa masuk bimbel sudah terarah pada target belajar yang jelas hendak didapat siswa.
Yang membuat tumbuh suburnya bimbel adalah adanya kegalauan para wali siswa maupun siswa terhadap pelayanan sekolah. Sekolah dianggap tidak mampu memberi bekal secara teknis keilmuan maupun kesiapan mental siswa menghadapi UN maupun ujian masuk PT.
Para siswa merasa bimbel merupakan pilihan alternatif yang dianggap mampu memberi bahan praktis up to date khusus untuk menghadapi UN atau Ujian Masuk PT. Mereka mendapat informasi dan bahan tentang soal-soal yang pernah keluar, tehnik praktis mengerjakan soal serta diberi materi yang dianalisis bakal keluar. Yang lebih menggiurkan bimbel dapat menyajikan data kakak kelas siswa yang berhasil masuk PT favorit. Pendek kata, siswa melalui bimbel mendapat bekal mental, materi, teknik dan keterampilan fisik untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Kegalauan siswa ini, membuat mereka berani mengeluarkan biaya berapapun agar dapat pelatihan dan informasi yang bermutu. Bagi wali siswa mengeluarkan biaya tinggi untuk bimbel dianggap sebagai sebuah investasi untuk keberhasilan anak menjadi mahasiswa di PT terfavorit.
Kegalauan para wali siswa maupun siswa ini disambut oleh para penyelenggara bimbingan belajar (bimbel) sebagai suatu peluang emas. Penyelenggara, ada yang tergerak mendirikan bimbel dengan alasan konseptual, yaitu merasa tergerak untuk terlibat dalam menyelesaikan persoalan peningkatan kualitas Pendidikan Nasional. Ada yang beranggapan ingin menjembatani antara SMTA dengan PT. Namun kalau diperhatikan lebih banyak dengan alasan realitis pragmatis, bahwa mereka butuh mata pencaharian untuk mendapatkan uang dan perlu menciptakan lapangan kerja bagi yang mempunyai kemampuan mengajar.
Kalau kita melongok bagaimana praktik pendidikan di sekolah, ternyata sebahagian besar masih terlihat kurang mengembangkan kompetensi siswa. Kecuali, hanya menghafalkan pengetahuan yang sudah jadi. Guru sangat terpaku pada kurikulum tanpa mau mencari inovasi-inovasi dalam meramu materi dan menciptakan metoda pembelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan. Padahal, Dalam proses pendidikan yang penting metoda dan materi pembelajaran. Kurikulum itu jangan dijadikan sesuatu yang mutlak. Guru harus menafsirkan dengan sesuatu yang baru dan kreatif.
Seorang guru itu hendaknya kreatif menciptakan berbagai model pembelajaran yang diyakini memiliki dampak positif terhadap hasil belajar siswa. Misalnya: menciptakan alat pembelajaran yang sangat efektif bagi terciptanya pembelajaran aktif, kreatif dan menyenangkan. Namun, realita pola pendidikan yang diterapkan tidak melahirkan unjuk kerja siswa secara bermakna. Siswa banyak tahu informasi, tetapi siswa tidak mampu mengoperasionalkan tahunya tersebut.
Perbedaan antara harapan dan realita di atas, maka tak heran kemampuan sekolah sangat diragukan dalam memberi pelayanan yang berkualitas, sehingga bimbel menjadi pilihan alternatif untuk memenuhi harapan wali siswa maupun siswa.
Namun yang perlu dikaji lebih mendalam, apakah bimbel tidak menyebabkan proses pembodohan?
Hal yang perlu menjadi pemikiran, siswa bukan robot yang mempunyai kemampuan prima untuk belajar sepanjang waktu. Siswa itu manusia biasa yang mempunyai keterbatasan fisik dan mental. Coba bayangkan, siswa mengikuti proses pembelajaran di sekolah antara pukul 7 sampai pukul 15 siang. Belum lagi diperhitungkan waktu tempuh pergi dan pulang sekolah. Tentunya, siswa mengalami keletihan secara fisik dan mental setelah menjalani proses pembelajaran dan plus waktu tempuh pergi/pulang sekolah + 8-10 jam sehari. Kemudian, siswa diharuskan mengikuti bimbel antara 2-4 jam, mengerjakan PR sekolah dan persiapan belajar untuk ke esok harinya.
Tentu kita memahami, seseorang yang sedang mengalami keletihan fisik dan mental, maka kemampuan bernalar dan tenaga pun menjadi drop. Dengan demikian, bagaimana siswa mampu menguasai materi pelajaran secara maksimal. Bisa jadi, siswa terjebak dan kewalahan mengatur waktu dan jadwal belajarnya. Alhasil, siswa mengalami kesulitan belajar di sekolah dan tak mampu menyerap materi pembelajaran di bimbel.
Hal lain yang kerapkali muncul, siswa mengalami kebingungan menentukan prioritas belajar, sehingga tidak sedikit siswa yang masuk bimbel menjadi menyepelekan pelajaran sekolah maupun gurunya di sekolah.
Dan yang juga perlu dikaji, sistem pembelajaran bimbel yang lebih menekankan pen-drill-an penyelesaian soal dalam menghadapi ujian itu apa sudah menjamin siswa memiliki kemampuan standar keilmuan dalam mengoperasionalkan keilmuannya. Kalau ditelaah siswa yang berhasil mengikuti bimbel, ternyata siswa tersebut di sekolah juga termasuk siswa yang punya kemampuan menonjol dan berprestasi. Siswa yang di sekolah termasuk siswa yang menonjol, maka setelah mengikuti bimbel tentunya menjadi lebih pintar.
Pengkajian dampak negatif bimbel perlu menjadi pemikiran kita bersama dan pembuat kebijakan pendidikan untuk lebih meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan di sekolah. Pemerintah berkewajiban untuk mengajak para guru untuk berubah mau mengadopsi inovasi ke dalam praktik pembelajaran yang menjadi tanggung jawabnya.
Konsekwensinya, guru harus dilatih bagaimana mempersiapkan semua model pendekatan baru dalam implemetasi praktik pembelajaran. Seperti: pembuatan satuan pembelajaran, evaluasi, alat bantu, perubahan filosofi, pergeseran paradigma interaksi pembelajaran dengan siswa dan sebagainya. Tanpa ada perubahan yang baik dilihat dari aspek profesionalisme guru, sulit dibayangkan akan terjadinya keberhasilan praktik pembelajaran. Begitu juga, leadership kepala sekolah juga perlu memberi dukungan terhadap perubahan di sekolah.
TERIMAKASIH WRITER..
BalasHapusSAYA DAPAT PENCERAHAN
...