Selasa, 01 Maret 2011

Pendidikan Matematika Perlu Diubah

Kompas, Rabu 02 Maret 2011.

Jakarta, Kompas - Pembelajaran Matematika di sekolah-sekolah saat ini masih bersifat abstrak sehingga anak kesulitan memahami konsep-konsep Matematika serta logika anak menjadi tidak berkembang. Karena itu, sistem pendidikan Matematika harus diubah agar tepat sasaran.

Metode pembelajaran Matematika yang tidak tepat itu justru mengakibatkan anak-anak lemah dalam menghitung.

”Padahal, kemampuan menghitung dibutuhkan untuk penguasaan sains, seperti Fisika dan Kimia,” kata Ketua Dewan Pembina Ikatan Guru Indonesia (IGI) Ahmad Rizali, Selasa (1/3).

Ilmuwan Yohanes Surya yang juga pimpinan Surya Institute mengatakan, pendidikan Matematika di sekolah lebih menekankan anak menghafal tanpa mengerti bagaimana proses berpikir logis untuk memahami konsep dasarnya.

”Cara belajar Matematika yang dikenalkan kepada anak-anak tidak gampang dan tidak menyenangkan. Anak selalu tegang jika belajar Matematika sehingga mereka sulit menyukai dan menguasai konsep dasar Matematika,” kata Yohanes dalam pelatihan ”Matematika Gampang, Asyik, dan Menyenangkan (Gasing)” di Tangerang.

”Buta” Matematika

Ahmad mengatakan, dari hasil The Program for International Student Assessment (PISA) 2009, penguasaan Matematika siswa setingkat SMP di Indonesia sekitar 76,6 persen berada di bawah level 2 dari 6 level yang berlaku secara internasional. Kenyataan ini menunjukkan banyak siswa Indonesia yang masih ”buta” Matematika.

Menurut pendefinisian level profisiensi Matematika dari OECD, siswa di bawah level 2 dianggap tidak akan mampu berfungsi efektif di kehidupan abad ke-21.

Tuntutan dunia global sekarang ini adalah manfaat belajar Matematika untuk kehidupan sehari-hari, termasuk pembentukan karakter cermat dan tekun.

”Pendidikan Matematika harus direvolusi. Itu dimulai dari kurikulum. Kita butuh pembenahan yang serius dengan masukan dari ahli yang paham pengajaran Matematika dan ahli Matematikanya,” kata Ahmad.

Yohanes mengatakan, akibat lemahnya pemahaman Matematika sebagian siswa Indonesia, menyebabkan anak-anak lemah dalam penguasaan Fisika dan Kimia. (ELN)

Rabu, 04 Agustus 2010

FROGGY

(Sindo, 5 Agustus 2010, Prof. Rhenald Kasali Ph.D)
Kalau tak ada perubahan, akhir 2011, masyarakat Indonesia dapat menyaksikan sebuah floatingcastle yang berdiri megah di salah satu sudut Kota BSD,Tangerang. Kastil itu menakjubkan, indah seperti yang sering kita lihat di negeri impian. Sebuah impian yang terus mengikuti seorang anak hingga dia tumbuh menjadi dewasa, membantu orang tuanya dalam bisnis, sampai dia menjadi pengusaha dan melakukan pembaruan. Fernando Iskandar, 29 tahun, menamakan kastil indah itu sebagai Froggy. Di situ dia menanamkan impiannya yang berawal dari cerita-cerita yang dibaca dari buku-buku bergambar bacaan anak-anak.

Sebuah gambar kastil yang dia sukai digunting, ditempel di lemari pakaian,di pintu kamar, dan dibawanya hingga ke kamar mandi. Namun lebih dari sekadar impian, dia pun bertindak. Seluruh uang tabungannya dari usaha-usaha yang dia rintis sebelumnya, dia tanam di Froggy. Dia mendekati Kak Seto dan menemui saya. Dia mencari tanah yang cocok dan menemukan arsitek kelas satu yang bisa menerjemahkan isi kepalanya.

Menelusuri Bakat

Adalah Jimmy Iskandar, orang tua yang hari itu penuh bahagia.Senin, 2 Agustus 2010, dia baru saja mengerti apa yang dilakukan putranya. Sejak era 1970-an Jimmy dikenal sebagai orang yang sangat ulet membangun usaha fotografi. Berkat ketekunannya itu dia berhasil memperkenalkan foto di atas kanvas yang amat diminati tokoh-tokoh masyarakat. Setiap kali saya mendatangi studionya,saya selalu menemukan foto-foto keluarga terkenal yang memilih difoto oleh Jimmy dan fotografer-fotografer andalannya di Tarzan Foto Studio. Bahkan Tarzan Foto pula yang dipercaya Istana Negara untuk memotret kepala-kepala negara yang berkunjung ke Indonesia. Mereka harus memotret secara sempurna dalam batasan waktu yang sangat terbatas. Tentu saja Fernando
dibesarkan dalam lingkungan fotografi yang sangat kental. Bedanya dia kini hidup di dunia digital yang serba cepat dan kaya bakat. Saat krisis menimpa Indonesia, dia pun tersadarkan, dia mencari mentor ke sana kemari sampai dia bertemu dengan pengusaha perempuan yang progresif,Dewi Motik.
Dia pun nyantrik (berguru), mengikuti Ibu Dewi Motik ke mana-mana,melihat bagaimana keputusan bisnis diambil. Dia menemukan sebuah dunia baru.“Di rumah saya yang lama, saya begitu besar sehingga dunia saya tampak kecil. Di luar, saya melihat dunia itu begitu besar sehingga diri saya tampak begitu kecil,”ujarnya. Bak katak yang hidup keenakan di dalam tempurungnya dia pun keluar dari zona nyaman itu. Dia meronta. Dia pun berkenalan dengan dimensi-dimensi yang lebih luas. Dari Kak Seto, dia belajar hal baru lagi, yaitu soal talenta anak-anak Indonesia yang terkurung dalam ambisi orang lain. Dia pun menemukan faktafakta yang mengejutkan dari teman-teman di sekitarnya. Banyak orang tersesat di rimba belantara antara bakat, sekolah, dan pekerjaan. Bakatnya A, sekolahnya C, dan kerjanya E.Semuanya tidak saling berhubungan. Maka sia-sialah sekolah. Tak pernahkah Anda melihat seorang anak berbakat melukis bersusah payah kuliah menjadi akuntan,dan saat bekerja dia lebih senang menjadi orang kreatif di biro iklan, namun istrinya mendesak agar menekuni profesinya sebagai akuntan. Tak banyak orang yang menyadari bahwa untuk berhasil seseorang harus memilih apa yang terbaik dari hidupnya. Bukankah lebih baik menjadi pelukis yang luar biasa daripada menjadi dokter atau akuntan yang biasa-biasa saja? Apakah kita menyadari hal ini?

Di era materialisme seperti saat ini orang lebih berani mengikuti arus daripada keluar dengan kekuatan dirinya. Semua ingin cepat-cepat menghasilkan ketimbang melakukan investasi pada bakatnya.Di sisi lain,kita menemukan orang-orang sukses abad ini ternyata terdiri atas orang-orang yang berani menantang arus besar itu, hidup sebagai outlier yang keluar dari kotaknya. Kak Seto menyambung. ”Apa jadinya bila seorang Albert Einstein yang senang matematika, sedari kecil dipaksa orang tuanya mengikuti American Idol? Atau apa jadinya kalau Picasso yang suka melukis dianggap bodoh karena tak senang matematika? Demikian juga dengan Michael Angelo yang senang membuat patung namun dipaksa orang tuanya menjadi dokter?” Dari kajian-kajian yang ada mengenai talenta, sekarang jelaslah bahwa pendidikan yang menyamaratakan dapat mematikan telenta.

Seperti rumput yang dipangkas sama tingginya, anak-anak yang dilahirkan dengan talenta yang berbeda berteriak. Mereka hidup tertekan, tidak bisa berbicara lain selain ikut maunya orang-orang dewasa.Mereka hidup dalam pasungan dan terkungkung dalam kesulitan. Dapat dibayangkan hari tua anak-anak yang dibesarkan dalam kurungan bakat yang demikian adalah hari tua yang kering, melakukan apa yang tidak diinginkan. Hari-hari tidak bahagia, tanpa senyum,penuh keluhan.

Edutography

Lantas apa hubungannya antara kastil Froggy dengan bakat tadi? Inilah yang disambung Froggy dalam konsep ”edutography”, yang memadukan kombinasi education, entertainment, dan photography. Berbeda dengan Tarzan Photo yang memotret foto kenangan, Froggy justru memotret masa depan. Froggy menggali bakat anak-anak dengan pendekatan multidimensi sampai ditemukan apa yang sesungguhnya menjadi lentera jiwa mereka. Pekerjaan ini menjadi tanggung jawab Kak Seto. Lebih dari itu, bakat-bakat itu perlu digerakkan, saya sendiri termasuk orang yang sangat berhatihati dalam memandang bakat. Maklum saja generasi saya adalah generasi yang terkurung, sulit meletupkan energi-energi yang terpancar dari bakat yang merupakan pemberian Tuhan. Bagi orang segenerasi saya, bakat hanyalah sekadar potensi belaka.

Jadi apalah artinya mengenal bakat kita kalau potensi itu gagal “menemukan pintunya?” Tetapi bagi anak-anak saya, sejalan dengan kemajuan dalam temuan-temuan baru dan teknologi digital, saya pun mendukung eksplorasi yang tiada henti terhadap talenta-talenta hebat yang terpendam di hati paling dalam anakanak Indonesia.Lebih dari sekadar mengeksplorasi, anak-anak itu harus ditumbuhkan myelin-nya agar mereka tidak diam di tempat, melainkan terus bergerak mencari dan menemukan pintunya.

Mereka harus menyentuh, bahkan mendobrak pintu-pintu itu. Temuan-temuan terbaru di dunia digital, dibantu para pendidik terdepan,mestinya bisa membantu anak-anak itu mengembangkan mimpi-mimpinya. Pada Froggy saya menaruh harapan agar anakanak kita mampu menemukan potensi dan menggapai pintu masa depan dengan bahagia.

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI

http://www.seputar- indonesia. com/edisicetak/ content/view/ 342610/38/

Senin, 02 Agustus 2010

Menjadikan Tantangan Karier sebagai Peluang

Sebuah info yang sangat menarik ini, saya kutipkan untuk Anda yang membutuhkan. Moga bermanfaat bagi Anda.

Saat menerima tugas berat, taklukkan tantangan itu dengan strategi karier berikut ini.

Senin, 5 Juli 2010, 09:51 WIB


Petti Lubis



VIVAnews - Pernahkah mendapat tugas yang menurut Anda berat dan sulit untuk dilaksanakan? Atau, pernahkah Anda menghadapi problem pribadi atau problem dengan lingkungan, yang mengharuskan Anda mengerahkan segala kemampuan dan sumber daya yang ada?

Tantangan, rintangan, hambatan atau apapun namanya tak dapat dipungkiri, merupakan salah satu obat pahit dalam perjalanan hidup manusia. Namun, kondisi merupakan pohon dengan buah paling manis dan bunga paling indah jika dapat dimanfaatkan bahkan ditaklukkan.

Jika Anda membaca biografi orang-orang sukses, Anda akan tahu kalau mereka berhasil dalam karier, karena mereka mampu menaklukkan tantangan. Nah, apa yang harus Anda lakukan agar tantangan yang Anda hadapi menjadi peluang yang membuat Anda sukses? Inilah tipsnya;

1. Jadilah QI (baca: Key) Person
Jadilah pribadi yang selalu memberikan hal terbaik dan solusi (kunci), entah itu di rumah, di kantor, di lingkungan sosial dan lain sebagainya. Hal ini menjadi dasar karena dengan menjadi individu kunci seperti ini keberadaan Anda akan selalu membuat lingkungan menjadi positif dan penuh warna.

2. Yakin pada diri sendiri
Ada pepatah 'tidak peduli seribu orang percaya terhadap diri Anda, tetapi jika tidak percaya terhadap diri sendiri maka tidak ada artinya'. Artinya, Anda harus selalu meyakini bahwa hal-hal yang baik akan datang setiap hari melalui berbagai cara. Anda juga bisa meningkatkan kepercayaan diri dengan memiliki citra diri positif, menerima kekurangan diri apa adanya dan menghargai sekecil apapun potensi yang dimiliki.

3. Berjiwa besar
Setiap manusia memiliki kapasitas berbeda-beda. Setiap orang punya 'cawan yang penuh air' yang besarnya berbeda-beda. Jika musibah dan cobaan hidup lainnya diilustrasikan seperti garam, maka bagi orang yang memiliki cawan sebesar mangkuk akan kepahitan jika diberikan garam segenggam. Tetapi, bagi mereka yang memiliki cawan seluas sebuah danau maka garam segenggam tidaklah berarti apa-apa.

Maka itu, terimalah semua masalah dengan besar hati, karena penerimaan seperti ini akan membuat langkah dan hati Anda ringan untuk menghadapinya.

4. Berdayakan kecerdasan Anda
Jika satu cara gagal membuat Anda menaklukkan tantangan, jangan menyerah. Teruslah mencari solusi terbaik, buka semua peluang kesempatan. Jangan pernah mengatakan “Tidak Mungkin” jika Anda belum pernah berupaya maksimal. Coba katakan “Mungkin!” maka semua peluang dan kesempatan akan datang menghampiri Anda tanpa diduga.

Selamat mencoba, karena hasil akhir yang berkwalitas dimulai dengan implementasi yang berkwalitas (Quality Implementation /QI).

Diasuh oleh:

Kevin Wu, Managing Director CoreAction Result Consulting, telah membantu beberapa perusahaan di tanah air melipatgandakan hasil hanya dalam waktu yang relatif singkat dengan metode management yang simple dan aplikatif. Tidak berlebihan jika banyak pihak yang menyebutnya sebagai "Result Consultant".

Info menarik lainnya silahkan klik http://www.kompasindex.com/?id=hensuwid, http://bisnispenulis.com/?reg=hendrasurya atau http://Beli-Rumah.net/?id=hendrasurya

Wasalam,

Hendra Surya

085281085906

http://hensuwid.wordpress.com

http://hendrasurya65.wordpress.com

hendra.surya76@yahoo.com

Rabu, 28 Juli 2010

Open Your Mind

(Sindo 29 juli 2010, Prof. Rhenald Kasali Ph.D)
SUATU ketika seorang mahasiswa tingkat undergraduate mengetuk ruang kerja saya di Bevier Hall– University of Illinois, Amerika Serikat (AS).

Sebagai teaching assistant di kampus itu, saya bertugas menggantikan seorang profesor yang mengajar mata kuliah consumer economics. Selain mengajar, saya juga membuat sebagian soal ujian dan memeriksanya. Dengan mimik penuh percaya diri, dia menyampaikan masalahnya. Dia menunjuk lembar jawaban soal yang terdiri atas pilihan berganda (multiple choice) yang baru saja dia terima.Nilai yang dia dapat tidak terlalu jelek,tetapi dia kurang puas dan mengajak saya berdiskusi, khusus pada sebuah soal yang dianggapnya terbuka untuk didiskusikan. Setelah membacanya kembali, tiba-tiba saya tersadar, soalnya memang konyol sekali.

Pertanyaannya kurang lebih seperti ini. “Berapa lama rata-rata rumah tangga menggunakan handuk mandi?” Tentu saja setiap orang punya jawaban yang berbeda-beda. Namun karena mata kuliah ini didasarkan atas hasil riset, maka mahasiswa harus menguasai dasardasar perilaku konsumen yang datanya diperoleh secara riil dari riset. Jawabannya semua ada di buku teks. Jadi kalau buku dibaca atau bahan kuliah dipelototi, pasti mereka mudah menemukan jawabannya. Di buku teks jawaban tertulis, rata-rata rumah tangga mengonsumsi handuk selama delapan tahun. Dia memilih jawaban dua tahun.Tentu saja saya mencoretnya.

Bagi seorang guru, menemukan murid seperti ini mungkin biasa saja. Namun cerita berikut ini mungkin dapat mengubah pandangan Anda tentang cara mendidik atau bahkan membimbing orang lain, karyawan,atau bahkan diri sendiri agar berhasil dalam hidup.

Kekuatan Argumentasi

Mahasiswa saya tadi mengajak saya berdiskusi, “Prof,” ujarnya. “Jawaban ini salah.” Saya mengernyitkan dahi.Maklum, belum pernah saya mendengar seorang mahasiswa di tingkat persiapan berani-beraninya menyalahkan soal, apalagi menyalahkan isi buku. “Maksud saya, setelah saya tanya-tanya ke kiri-kanan, tak ada orang yang menyimpan handuk mandi sampai 8 tahun,”lanjutnya.

“Jadi berapa tahun?” tanya saya. “Yadua tahun.Ini jawaban saya benar,”katanya lagi. Saya pun teringat dengan cara teman-teman saya sewaktu kuliah dulu mengakali dosen yang “lemah”. Dosen seperti itu biasanya gampang diajak kompromi dan kalau kita pintar mengambil hatinya, angka bisa berubah.Maka, di kepala saya,berkompromi bukanlah karakter saya. Berkompromi sama dengan kelemahan, lembek, merendahkan martabat, plinplan. “Jadilah guru yang teguh.” Kalimat itu terus mengalir di hati saya. Kompromi itu jelek, lemah, tidak konsisten, tidak berwibawa. “Ah, kamu ini cuma cari pembenaran saja. Ini justifikasi namanya.Pokoknya jawaban Anda salah.

Apa Anda tidak baca buku. Coba buka halaman 40,” ujar saya pada mahasiswa tadi. “Betul,”katanya lagi. “Di buku memang tertulis begitu.Saya tahu.” “Ah, Anda tidak baca saja…,” ujar saya lagi. “Bukan, tetapi ini tidak masuk akal.” Dia mencoba menjelaskan. Namun sebagai orang Indonesia yang terbiasa dididik tanpa kompromi di sekolah, saya mencoba untuk tidak mendengarkan argumentasinya. Saya khawatir wibawa saya terganggu. Dosen kokdidebat. Namun dia tetap menjelaskan panjang lebar bahwa sekarang tidak ada lagi handuk yang seawet itu.

Dua tahun sudah rusak.“Dulu sabunnya tidak sekuat yang sekarang, lagipula mana ada produsen yang mau membuat handuk dengan material yang kuat dan harganya mahal? Konsumen memilih yang terjangkau dan produsen memilih barang-barang yang murah.Kalau cepat rusak tak apa-apa,setelah itu beli lagi,”katanya bersemangat. Matanya berbinar menjelaskan gagasannya dan penuh harap saya mau mengubah pendapat saya. Saya masih ingat dia menjelaskan tentang mesin cuci yang dulu tidak dipakai rumah tangga sehingga tidak merusak material. Lama kita berdebat dan sebenarnya saya suka mempunyai peserta didik yang kritis seperti itu. Namun, sebagai guru dari Indonesia, saya tidak suka ditawar-tawar.

Ini soal integritas. “Nope,” jawab saya menolak permohonannya agar saya mengoreksi nilainya. Dia pun keluar dengan kecewa. Saya berpikir, urusan pun selesai. Namun, di luar dugaan, setengah jam kemudian dia kembali lagi. Kali ini dia datang diantar profesor saya.Seperti tak ada masalah sama sekali profesor itu datang dengan penuh senyum. “Rhenald,”ujarnya. “I talk to this guy, and I like his idea.” Sudah tahu arahnya, saya pun segera menukas.“Yes, he did talk to me, and indeed he was wrong. He didn’t give the right answer,” ujar saya.

“Saya mengerti,” jawab profesor itu,“Tapi perhatikan ini.Saya suka cara berpikirnya. Dia memang memberi jawaban yang berbeda dengan buku, tetapi argumentasinya kuat dan dia benar.” Singkat cerita, profesor itu meminta saya agar mendengarkannya dan memahami logika anak itu. Kejadian itu sekali lagi telah membuka pikiran saya. Betapa memalukannya otak reptil saya. Guru kok tertutup. Namun, saya beruntung segera menyadari kesalahan saya. Saya belajar bahwa saya menganut nilai-nilai yang salah.Tertutup, tak berkompromi, tegas, teguh, terlalu mengedepankan wibawa hanyalah merupakan bentuk defensif saya sebagai guru yang sebenarnya hanya perwujudan dari rasa takut yang berlebihan saja.

Takut dibilang lembek, kompromistis, mudah dirayu, tidak objektif,dan sebagainya.Pendapat yang semula saya tentang kini harus saya terima dan nilai anak itu saya koreksi. Bahkan seperti penjual kacang rebus yang suka menambah kacang ke dalam bungkusan pelanggannya, saya pun memberikan bonus angka kepadanya. Mendidik adalah lebih dari sekadar menjaga imej.

Mendidik adalah proses menjadikan orang lain seorang “master” dan bukan menciptakan pengikut.Yang ingin kita lahirkan adalah manusia yang mampu berpikir,terbuka terhadap logika. Bukan manusia-manusia dogmatik yang hanya mengikuti maunya kita,menulis apa yang kita diktekan, berpendapat apa yang menjadi pikiran kita, dan tak bisa menerima perbedaan pendapat. Malas berpikir.

Keluar dari Buku

Kisah anak-anak yang tak mampu berpikir di luar buku teks sudah banyak kita saksikan. Salah satu film yang paling saya suka dan selalu saya pakai untuk mengajari dosen-dosen muda menjadi pendidik adalah potongan film yang dibintangi Julia Roberts berjudul Monalisa Smile. Dalam film itu dikisahkan kesulitan seorang guru yang mengajar karena setiap kali dia menampilkan slide yang diambil dari buku, selalu disambar muridmuridnya yang berebut menjelaskan.

Dia benar-benar bingung. Muridnya aktif-aktif dan pintarpintar. Mereka sudah membaca assignment sebelum pelajaran dimulai.Mereka benar-benar telah mempersiapkan diri dengan baik sebelum masuk kelas dengan membaca, membuat ringkasan, dan memiliki kepercayaan diri yang kuat dan aktif berbicara. Hari pertama mengajar dia gagal total. Namun minggu berikutnya, setelah merenungi dalam-dalam, dia mendapatkan ide. Kali ini dia mengajak muridmuridnya keluar dari buku teks. Dia menunjukkan slide yang sama sekali baru.Tak ada di buku dan bahan ajarannya sama sekali baru. “Coba lihatlah gambar ini. Apakah ini bagus?” Semua murid tertegun.

Gambar itu belum pernah mereka lihat dan tanpa referensi mereka tidak punya acuan sama sekali.Padahal, selama ini mereka hanya mengikuti perintah buku. Gambar itu bagus kalau kalimat di buku berkata gambar itu bagus. Sekarang saat gambar itu tak ada penjelasannya, mereka pun tak berani berpendapat. Mereka saling lihat kirikanan. Seorang yang mencoba menjawab kebingungan. “Apakah ada gambar yang bagus?” “Siapa yang berhak mengatakannya?” “Sesuatu yang bagus itu akan menjadi bagus tergantung siapa yang mengatakannya.” Mereka terbelah. Ibu guru pun menjelaskan wisdom-nya. “Look, kalian baru saja keluar dari cara berpikir buku teks,” ujarnya.

Dia mengajarkan perihal kehidupan, yaitu berani berpendapat dan membuat keputusan pribadi. Apa yang dapat dipelajari dari film Monalisa Smile dan kasus yang saya alami saat saya menjadi teaching assistant di University of Illinois dan berhadapan dengan mahasiswa yang minta agar saya mengoreksi jawaban soalnya 15 tahun yang lalu itu? Benar! Kita adalah manusia dan tugas guru adalah mendidik manusia,memerdekaka nnya dari segala tekanan, dari perilakuperilaku buruk, dari pikiranpikiran negatif, dari rasa sok pintarnya yang sesungguhnya belum apa-apa, dari belenggu-belenggu dogma, dan mengajaknya melihat keindahan dari apa yang diciptakan Tuhan.

Dari semua itu,yang terpenting adalah bagaimana kita hidup dengan otak yang terbuka dan mengajarkan keterbukaan. Bukankah otak kita bekerjanya seperti parasut, yang artinya dia baru bisa dipakai kalau dia mengembang dan terbuka? Itulah yang saya ajukan selama ini kepada anak-anak didik saya dan terbukti mereka mampu menjadi orang-orang yang hebat. Itu pula yang saya sharing-kan kepada para guru dan dosen. Sebagian orang cepat mengubah diri, tapi sebagian pendidik lain tidak peduli dengan cara ini. Mereka tetap ingin mengajar dengan cara-cara dogmatik. Ingin dipuja tanpa argumentasi, tak mau mendengarkan, takut dibilang lembek, dan ingin diterima bak seorang ulama besar yang tak terbantahkan. Itulah hidup, tak semua orang mau berubah. Namun Anda tak perlu cemas.

Orang-orang seperti itu sudah pernah menyurati saya dengan amarah berlembar-lembar. Mereka menembaki saya dengan ratusan peluru. Di antara suratsurat cinta mereka pun ada yang berisi ancaman, memperingatkan saya dan mengusir dari keguruan ini. Namun saya berkeyakinan, seorang pendidik sejati tak akan menyerah oleh ancaman-ancaman kosong. Dia tak berorientasi pada persaingan, melainkan pada masa depan anak-anaknya. (*)

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI
http://www.seputar- indonesia. com/edisicetak/ content/view/ 341073/34/

Kamis, 15 Juli 2010

Rhenald Kasali, Encouragement

Thursday, 15 July 2010

LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah
sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu
telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat,bagus sekali.
Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.
Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya
dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan
itu buruk, logikanya sangat sederhana.
Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah.Rupanya karangan
itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai
buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah
pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai
tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes, ibu
guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?”
“Dari Indonesia,” jawab saya.Dia pun tersenyum.

Budaya Menghukum

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya.
Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.
“Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap
simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang
anakanaknya dididik di sini,”lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit
memberi nilai.Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum,
melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement!” Dia pun
melanjutkan argumentasinya.
“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbedabeda. Namun untuk anak
sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris,
saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan
berbahasa Inggris yang dibuat anak saya. Dari diskusi itu saya mendapat
pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut
ukuran kita.Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang
bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor. Sementara di
Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman
drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya
pun dapat melewatinya dengan mudah.
Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar
siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya
dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan
jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafikgrafik yang
saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.
Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan
kekurangan penuh keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal
sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah
ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.
Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan,
penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap
seakanakan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami
frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang
maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan
encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan
rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang
yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara
menekan.
Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana
guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah
anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat,
bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar
secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun,
bukan merusak. Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru
mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan
kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan.
Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam
bentuk verbal.
Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun
rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang
mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah
memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah
telah menunjukkan kemajuan yang berarti.” Malam itu saya mendatangi anak
saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di
tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif. Dia
pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna),tetapi
saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang
berbeda.

Melahirkan Kehebatan

Bisakah kita mencetak orangorang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan
rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh
sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur,
dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru,sundutan rokok, dan
seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas...;
Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas
kertas ujian dan rapor di sekolah.
Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi
lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan
mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata
menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil)
atau sebaliknya,dapat tumbuh.Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau
dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan
demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti
yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar
atau bodoh.
Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.
Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan
ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan
menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.(*)

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI

Senin, 24 Mei 2010

Potret Diri

Seandainya negeri ini dalam genggamanku…

Aku malu…

Walau badanku tinggi besar…

Suaraku besar dan menggelegar…

Mataku tajam menggetarkan…

Namaku membumbung tinggi…

Tapi aku tak punya nyali…

Aku senang dan asyik bermain lumpur…

Semut-semut kecil tunggang –langgang takut kecipratan lumpur…

Apa peduliku ‘kan semut…

Toh, semut hanya alat permainan yang membuatku nyengir…

Aku hanya takut pada srigala…

Walau Srigala yang suka curi kambing gembalaku…

Aku lebih takut lihat taring srigala yang banyak pengikutnya memangsaku dan merobohkan singgasanaku…

Demi Srigala aku rela gadaikan harga diriku dan emasku…

Aku tak peduli orang mencemoohku…

Toh, cemoohan tak ‘kan merobohkanku…

Apalagi semut-semut kecil yang tak berarti apa-apa…

Mereka tak tau arti sebuah singgasana…

Aku hanya peduli srigala ‘tuk berbaik hati beri semangkok madu ‘tuk tetap kokoh duduk di singgasanaku…

Dari singgasanaku aku masih bisa bernyanyi…

Walau nyanyianku sumbang, tapi apa peduliku…

By Hendra Surya