Kalau kita menelaah kualitas produk
lembaga pendidikan kita tentu sungguh memprihatinkan. Coba bayangkan, dalam
praktek proses pembelajaran di kelas terlihat persentasi anak yang menguasai
materi pembelajaran sangat kecil sekali. Apalagi, kalau SDM
gurunya sangat rendah, bagaimana pula output yang dihasilkannya?
Tentu kehadiran bapak-ibu di sini punya keinginan yang kuat untuk memperoleh
teknik atau cara praktis meningkatkan kualitas putra-putri bapak-ibu, bukan?
Sebenarnya, untuk menjadi manusia pembelajar itu sederhana. Namun, kadangkala
kita sendiri yang membuat rumit atau ruwet. Sebab, kita harus berusaha
menciptakan suasana pembelajaran yang benar. Inti untuk menjadi manusia
pembelajar itu tak lain adalah membentuk mindset belajar asyik dan sadar metode. Apapun yang akan anak perbuat akan
terasa mudah dilakukan, jika anak menyukai apa yang anak lakukan dan
mempergunakan metode.
Ingat, rasa suka, senang, gembira merupakan motor penggerak dari apa yang akan
anak lakukan. Sebaliknya, jika hendak belajar sudah dilandasi oleh perasan
berat, beban kewajiban, tertekan dan enggan bersifat melemahkan dan cenderung
tidak menghasilkan sesuatu, walaupun dipaksakan hasilnya tidak optimal.
Lantas, pertanyaannya bagaimana membuat anak menjadi mencintai atau gemar
belajar?
Usaha yang harus kita lakukan untuk
menarik perhatian dan minat anak untuk belajar, pertama kita harus bisa
melakukan pendekatan personal terhadap anak. Kehadiran kita di hadapan anak
tidak diartikan atau dicurigai sebagai bentuk intervensi atau mendikte anak
untuk belajar. Melainkan usaha membangun komunikasi dan interaksi yang baik
dengan anak secara timbal balik. Kita harus dapat menjadi mitra dialog anak.
Begitu juga, kita harus dapat menciptakan suasana hubungan yang dirasakan anak
tidak saja dalam bentuk hubungan antara orang tua dengan anak. Melainkan,
merasakan juga bentuk hubungan sebagai teman dialog anak yang setara untuk
mendiskusikan, mendengar dan membangun dialog interaktif berbagai masalah anak,
baik masalah yang bersifat menyenangkan maupun masalah yang paling tidak
mengenakkannya.
Kemudian kita dengan sabar berupaya
menggiring “keterbukaan pikiran anak” terhadap pemikiran yang merangsang
daya nalarnya dan mau menerima bentuk pemikiran kita dan tantangan yang menarik
rasa ingin tahunya, sehingga terbentuk minat dan perhatian anak untuk belajar.
Keterbukaan pikiran anak bisa terjadi, jika anak dalam keadaaan senang, gembira
dan bersemangat. Hal ini dapat kita lihat di mana ia mau mengemukakan apa yang
dia rasakan, baik mengenai hobinya, permainan, maupun cerita yan digemarinya
dan sebagainya. Di sinilah saat kita memanfaatkan peluang keterbukaan pikiran
anak tersebut. Caranya kita bisa mengajukan pertanyaan yang dapat menggiring
rasa ingin tahunya. Kita harus bisa membuat anak merasa tertantang untuk
melakukan eksplorasi proses pembelajaran. Diharapkan anak termotivasi untuk
menguasai atau memiliki kemampuan tertentu sesuai dengan stimulus yang
diterimanya. Di samping itu, kita harus mengemukakan cita rasa enaknya mengusai kemampuan tertentu dari hasil
proses belajar anak, atau dengan kata lain membangkitkan sense of learning di hati anak, sehingga muncul
kepermukaan hati anak rasa keterbutuhan akan belajar
menguasai sesuatu.
Pertanyaan-pertanyaan penggiring
yang dapat kita ajukan kepada anak, seperti:
- Bagaimana
rasanya, jika kamu bisa memiliki kelebihan seperti Si Anu (tokoh tertentu yang
dikaguminya) , ya...? Ibu yakin, kamu bisa juga seperti dia. Amir...! Caranya
bagaimana ya, Mir? Dia bisa, tentu kamu pun bisa ya Mir?
-
Bagaimana
menurutmu reaksi teman-temanmu, jika kamu jadi si Anu ya?
-
Asyik juga
kalau kamu bisa merancang permainan seperti ini, ya?
-
Bagaimana ya
caranya membuat/meraihnya?
-
Apa yang
harus dilakukan menurutmu, agar seperti...?
-
Mengapa bisa
begitu Aldi?
-
Bagaimana
cara mengatasi masalah itu, Bud?
-
Apa yang
terjadi seandainya.. .?
-
Bagaimana
seharusnya, ya...?
Contoh-contoh seperti pertanyaan tersebut tentu dapat
memberi sugesti pada anak. Secara tak langsung kita membangkitkan dan
menggerakkan hasrat ingin tahu dan mendorong anak untuk berpikir secara positif
dan terarah pada satu tujuan. Di sini kita harus kreatif
menciptakan pertanyaan yang dapat merangsang minat, motivasi dan perhatian anak.
Kita harus jeli melihat dan memanfaatkan situasi dan suasana yang terbangun
pada saat kita berhadapan dengan anak.
Dengan bangkitnya hasrat ingin tahu
anak ini, tentu memudahkan kita untuk mengarahkan anak pada kegiatan belajar.
Anak pun dapat memahami dengan belajar dia mengerti dan bisa berbuat sesuatu.
Jangan lupa, kita haus senantiasa
memberi penguatan kepada anak, bahwa dirinya mampu berbuat atau mempelajari
segala sesuatu. Tanamkan kepada anak bahwa dirinya punya nilai plus tersendiri
atau kecakapan khusus yang perlu digali dan dikembangkan. Kemudian kita dapat
membangkitkan minat dan perhatian anak pada pelajaran dengan mempergunakan
pertanyaan perangsang, seperti:
-
Sekarang
kita belajar apa, Mir?
-
Untuk apa
kita belajar ini...?
-
Mengapa itu
perlu kita pelajari, Mir?
-
Apa yang
bisa kita perbuat dengan mengetahui materi pelajaran itu?
-
Bagaimana
cara mempelajarinya, Mir?
Dengan mengajukan pertanyaan seperti
di atas, berarti kita telah berusaha untuk memokuskan perhatian anak dan
mengarahkannya pada tujuan untuk mempelajari suatu materi pelajaran. Dengan
mengembangkan perhatian secara terpusat tersebut, bisa membangkitkan minat
belajar anak. Anak pun akan merasa tertantang untuk mempelajari pelajaran itu
lebih lanjut. Dengan kata lain, timbulnya minat dan berkembangnya keinginan
untuk menguasai kecakapan tertentu dari hasil proses belajar, tentu menjadi
motif atau alasan yang cukup kuat bagi anak untuk memotivasi dirinya melakukan
pembelajaran. Penting diperhatikan: luangkan waktu kita sebanyak mungkin untuk
mendampingi anak dan mendiskusikan materi pelajaran anak.
Bagaimana membangkitkan sadar metode
pada anak?
Coba bayangkan, kita melihat
jaringan komponen computer yang menghasilkan data-data yang sungguh
menakjubkan, tentu bagi yang awam terlihat ruwet dan memusingkan kepala. Tapi
bagi yang ahli computer, dia memandangnya biasa saja. Karena dia mengetahui
rangkaian operasional jaringan computer tersebut.
Nah, sebenarnya untuk memahami apa yang dipelajari, anak tidak boleh dalam
keadaan pikiran pasif dan pikiran
kosong dengan menampung mentah-mentah apa yang diberikan atau disajikan. Sebab,
jika pikiran pasif, maka anak mudah kehilangan konsentrasi. Sebab, pikiran
mudah bercabang atau menerawang pada ingatan atau pikiran lain yang tidak ada
hubungannya dengan apa yang dipelajari. Parahnya, anak pun mudah terjebak
belajar menghafal. Ingat, belajar menghafal membuat pengetahuan yang peroleh
sangat rendah atau tataran yang terbangun hanya pada tingkatan ingatan belaka
atau sekedar mengingat saja. Makanya, .agar materi yang diberikan dapat anak
mengerti atau pahami, maka anak perlu tahu bagaimana cara membangun koneksi
atau mempersiapkan simpul-simpul syarat otaknya dengan informasi yang diberikan
padanya. Atau dengan kata lain, cara anak membangun asosiasi atau hubungan
intelektual antara stimulus dan respon otaknya. Caranya anak itu harus
membiasakan diri bersikap dan berpikir aktif, yaitu merangsang daya nalar
untuk menghubungkan daya tangkap dengan informasi baru yang dibahas. Anak sejak
dini diajarkan untuk belajar berpikir abstrak sesuai dengan tingkat
penalarannya. Anak berusaha merangkai, menyusun, menggiring atau menyusun
asosiasi jalan pikiran secara terfokus. Caranya, buka
pikiran dan giring (arahkan) pikiran secara taktis dan terfokus pada pokok masalah dengan
mempertanyakan objek yang anak pelajari. Misalnya, apa itu/ini? Mengapa bisa
begitu? Apa yang mau dikatakannya? apa maksudnya? bagaimana rangkaiannya?
bagaimana kelanjutannya, ? darimana memulainya? apa saja unsur yang membentuk
atau membangunnya? bagaimana bentuk rangkaiannya? siapa pencetusnya? dan
sebagainya, hingga tuntas. Proses berpikir demikian yang dinamakan berpikir
taktis.
Kelanjutan berpikir taktis, yaitu berpikir
metodologis. Berpikir Metodologis mengandung arti kemampuan menyusun
kerangka berpikir secara step by step atau menyusun prosedur kerja
bagaimana cara menggerakkan proses penalaran dan tindakan efektif dalam
memproses pokok masalah, sehingga dapat mengurai, menyusun, menimbang dan
memecahkan pokok masalah dalam bentuk pola tindakan atau prakarsa.
Pendek kata, tanamkan pada anak
pemikiran bagaimana cara membuat sesuatu mudah dikuasai atau dikerjakan.
Fokuskan pada belajar proses yang menguatkan, seperti kata sugesti kamu bisa,
kamu mampu, kamu dapat menyusun langkah bertahap untuk menyelesaikannya.
(Catatan hindari penggunaan kata yang membebani dan melemahkan semangat
belajar, seperti kamu harus belajar keras, ulet dan sebagainya). Walau
kata-kata tersebut mempunyai makna membangun, namun dapat menimbulkan makna
antiklimaks.
Untuk melatih pengetahuan metodologis,
membiasakan diri dengan cara analisis (mengurai unsur), sintesis (menyusun)
dan evaluasis (menilai). Cara efektif untuk melatih pengetahuan
metodologis dapat dilakukan dengan membiasakan diri menyontoh langsung
dalam penyelesaian suatu soal (masalah) atau pekerjaan atau melibatkan
diri langsung dalam pemecahan masalah. Atau mengembangkan pemikiran berdasarkan
tujuan, sebab-akibat, pernyesuaian maupun mempergunakan difinisi operasional
disiplin ilmu tertentu (rumus) dan sebagainya.
Kemudian, Berpikir Imajinatif-Kreatif.
Ini mengandung arti cara berpikir kreatif dalam menelaah/memecahkan pokok
masalah dengan memperhitungkan kemungkinan yang mungkin dapat dimunculkan
mengatasi pokok masalah.
Untuk mudah berpikir kreatif dalam
mengobservasi adalah dengan cara membayangkan gambaran bentuk
objek masalah dan pikirkan unsur-unsur penting yang membentuk
gambaran (sesuatu) yang dapat mempengaruhi gambaran tersebut melalui proses
analisis, sintetis dan evaluasis.
Subjek Belajar tak boleh ragu
mengembangkan pikiran kreatif untuk mengkaji berbagai kemungkinan dari banyak
sisi dalam mencari kunci jawaban masalah yang dihadapi (Kalau begini
bagaimana ya? Atau kalau begitu bagaimana ya jadinya? Kalau dibuat seperti ini,
bagaimana jadinya dan bagaimana mengantisipasi kemungkinan lain yang terjadi
ya? Kalau mereka tidak setuju dengan usul saya ini, alternatif lain bagaimana
yang bagus saya kemukakan pada mereka ya? Dari banyak alternatif ini, mana yang
terbaik dan pantas dikemukakan?).
Untuk membangkitkan atau motivasi
penggunaan metode belajar, maka dilakukan dengan cara merangsang daya nalar
untuk mengorganisir pola pikir dengan memokuskan perhatian pada:
- Apa
yang akan dipelajari,
- Untuk
apa mempelajari materi pelajaran tersebut,
- Apa
hubungan materi
pelajaran dengan kehidupan sehari-hari (manfaat mempelajari dan apa
yang dapat kita lakukan dengan pengetahuan tersebut),
- Bagaimana
cara mempelajarinya,
- Kemudian,
bangkitkan faktor intelektual-emosional dengan mengembangkan dan
membiasakan “berimajinasi dalam berpikir”. Maksudnya, subjek
belajar membiasakan untuk menjelajah dengan berusaha
membayangkan gambaran bentuk yang dipelajari. Kemudian pikirkan unsur-unsur
penting yang membentuk gambaran tersebut. Dengan demikian subjek
belajar akan digiring pada pola belajar aktif dan kreatif. By Hendra
Surya [Penulis Buku: Rahasia Membuat Anak Cerdas dan Manusia Unggul, Cara Cerdas (Smart) Mengatasi Kesulitan belajar, Cara Belajar Orang Genius, Strategi Jitu Mencapai Kesulitan Belajar, Menjadi Manusia Pembelajar, dan lain-lain.]
Hendra Surya