Bab 1
Rasa Sepi, Terhina dan Tersisih Di Tengah Keramaian…
Hendi berdiri mematung di
bawah pohon Kiara payung yang rindang di
halaman sekolah. Matanya melotot marah
memperhatikan teman-teman sekolahnya yang mencibir, sembari berteriak dan
berlarian mengitari dirinya.
“Bla…bla…bla…Hendi
gagap, Hendi gagap, Hendi gagap…” teriak mereka bersahutan. Mereka
selalu menjadikan Hendi sebagai bahan olok-olokan saban hari,
terutama Hartono.
Ketidakmampuan
Hendi untuk berbicara secara normal seperti layaknya Hartono dan kawan-kawannya
atau alias gagap, hingga jadi sasaran empuk ejekan mereka. Setiap istirahat
sekolah merupakan saat yang sangat menyakitkan dan menyesakkan dada Hendi. Berbeda
dengan teman-temannya yang lain menyambut waktu istirahat dengan sukacita,
berlarian sambil bermain dan ada yang memanfaatkan waktu dengan bercanda, jajan
serta mengobrol ala anak-anak yang mengasyikan.
Sementara,
di SDN 120 Medan yang terletak di perempatan jalan Gunung
Krakatau dengan Jalan Bilal Medan itu terlihat Hartono, anak seorang bintara
TNI itu punya pengaruh yang dominan di tengah-tengah teman sekelasnya. Dia
selalu mengomando teman-temannya untuk memperolok-olok Hendi. Seperti saat itu,
murid-murid kelas 5 SDN 120 Medan bergerombol berlarian mengitari Hendi, sambil
mengejek.
Hendi gondok
bukan main, terlihat wajahnya berkerut-kedut dan matanya mencorong tak lekang
dari wajah Hartono yang jadi motor penggerak teman-temannya sekelas menghina
dirinya. Saking marahnya, leher Hendi terasa tersekat tak mampu bicara sama
sekali. Ada keinginan dalam hati Hendi untuk menghajar Hartono, agar mereka
semua menghentikan olok-olokannya. Walau kondisi fisiknya tak memungkinkan
Hendi untuk meradang karena badannya sedikit lebih kecil dari Hartono, namun
amarahnya sudah menguasai isi alam pikirnya. Makanya, secara perlahan-lahan
Hendi mendekati Hartono.
Hartono
dapat membaca maksud Hendi mendekati dirinya. Wow! Ternyata, Badan Hartono yang
lebih besar tidak membuat nyalinya lebih besar. Dirinya gentar juga lihat
kenekatan Hendi. Terutama tuh…mata Hendi yang mencorong seperti terbakar api
amarah. Makanya, Hartono langsung mencari dukungan. Dia pun menoleh memberi
isyarat dengan ekor matanya pada temannya, Gito, Sonson dan Kendo. Ketiga
temannya itu cepat tanggap melihat keinginan Hartono untuk layani kemarahan
Hendi. Mereka segera menghampiri Hartono. Mereka berdiri sejajar di sisi kanan-kiri Hartono dan siap untuk
menghadang Hendi. Mereka siap mengeroyok
Hendi.
Wah! Hendi
menghentikan langkahnya. Dia berpikir, tidak mungkin ia menghadapi Hartono dan
kawan-kawannya sekaligus. Itu tindakan konyol, bisik hatinya. Akhirnya ia terpaksa memutuskan
untuk mengalah dan masuk ke dalam kelas saja. Namun, seketika langkahnya
terhenti takkala dengan sigap Hartono dan kawan-kawannya menghadang gerak
langkahnya. Hartono cs tak membiarkan pemuas ego yang mengasyikan mereka
berlalu…
“Hweee…gagap
mau ke mana kau…!” hardik Hartono, sambil mengejek. Kedua tangan Hartono
menggerak-gerakkan kedua daun telinganya dan menjulurkan lidahnya, mengejek.
Begitu juga dengan Gito, Sonson dan Kendo melakukan hal yang sama.
“Ayo ngomong
kau… Jangan melotot aja kau bisanya…!”sambung Kendo.
Kemarahan
Hendi hampir meledak. Dadanya kembang-kempis menahan gejolak hatinya. Dia siap
meradang Hartono dan kawan-kawannya. Hendi sudah tidak peduli kekuatan lawan
lagi. Nafsu amarahnya sudah tak terbendung, tangannya terkepal itu langsung diayunkan
ke wajah Hartono. Hartono dengan sigap berkelit. Tubuh Hendi terhuyung ke
depan. Tiba-tiba Gito mendorong tubuh Hendi dari belakang. Alhasil, Hendi
terjatuh terjengkang. Kesempatan ini tak dilewatkan Hartono, makanya dia bermaksud
menginjak tubuh Hendi yang sudah tak berdaya…
Tapi, tiba-tiba muncul Ibu Guru Erika, guru
kelas mereka menghardik.
“Hartono
hentikan!!!” teriak Ibu Guru Erika melerai pertikaian mereka. Ibu Guru Erika
menghampiri Hartono dan Hendi. Teman-teman Hartono langsung mengkeret dan
segera melangkahkan kakinya menjauhi Hartono dan Hendi. Mereka takut memperoleh
hukuman dari Ibu Guru Erika yang sangat galak itu. Tanpa tedeng aling-aling Ibu
Guru Erika langsung menjewer telinga Hartono maupun Hendi. Seketika wajah
Hartono menjadi pucat pasi, ketakutan. Sementara mata Hendi berkaca-kaca.
“Awas kalian
kalau berkelahi lagi!!!” ancam Ibu Guru Erika. Sebenarnya Ia tahu biang
keributan, yaitu Hartono. Ibu Guru Erika sangat prihatin dan kasihan pada Hendi
karena cacatnya itu, dia selalu dijadikan objek ejekan dan mainan
teman-temannya sekelas. “Dan kamu Hartono… Ibu harap kamu belajar menghargari
sesama temanmu! Kekurangan yang dimiliki temanmu jangan kamu jadikan objek
olok-olokan, ngerti!!!” sambung Ibu Guru Erika. Hartono menganggukkan
kepalanya, sambil menunduk.
“Nah,
sekarang kamu Hartono segera minta maaf ama Hendi…!” perintah Ibu Guru Erika.
Hartono menjulurkan tangannya pada Hendi, sambil menundukkan kepalanya. Begitu
juga, Hendi segera menyambut tangan Hartono. Dijabatnya tangan Hartono dan
disaksikan oleh Ibu Guru Erika serta teman-temannya sekolahnya yang berkerumun
mengelilingi mereka.
Begitu kedua
tangan mereka saling berjabat tangan, terdengar riuh suara tepukan tangan
teman-temannya sekolah. Namun, suara tepukan tangan itu terdengar di telinga
Hartono seperti palu-godam, menyakitkan. Suatu penghinaan bagi dirinya. Niat baik
Ibu Guru Erika itu disalah-artikan oleh Hartono. Hati Hartono tidak terima ia
dipermalukan seperti itu di depan
teman-temannya.
Rasa sakit
hati Hartono itu dipendamnya rapat-rapat, agar Ibu Guru Erika tidak
mengetahuinya. Ada keinginan dalam hati Hartono untuk membuat perhitungan
dengan Hendi kelak.
Tak lama
kemudian Ibu Guru Erika meninggalkan Hendi dan Hartono menuju kantor Kepala
Sekolah. .Begitu juga, teman-teman sekolah lainnya pada berhamburan bermain
kembali di halaman sekolah. Tinggallah Hendi dan Hartono berdua saling
berhadapan. Hartono menatap tajam wajah Hendi dan melangkahkan kakinya berlalu.
Ketika berselisih, Hartono dengan sengaja menyenggol tubuh Hendi dengan
bahunya, sambil bergumam.
“Awas kau
nanti…!”
Hendi
termangu dengar ancaman Hartono. Dirinya tidak gentar menghadapi Hartono
seorang, namun yang Hendi cemaskan adalah tindakan Hartono yang suka main
keroyokan. Sesuatu yang Hendi tidak mengerti mengapa dirinya selalu dimusuhi
dan dijauhi teman-temannya??? Apa salah dirinya??? Apa karena cacatnya ini,
sehingga ia tidak layak bergaul dengan mereka??? Apa cacatnya ini menular,
hingga ia dijauhi? Demikian segala pertanyaan berkecamuk dalam benaknya Hendi.
Akhirnya ia terduduk lemas di bawah pohon Akasia Payung, satu dari tiga pohon
besar yang ada di halaman sekolahnya itu. Pandangan Hendi menerawang jauh
menembus keramaian anak-anak yang asyik bermain dan bercanda di halaman sekolah
SDN 120 Medan itu.
Kelanjutan kisahnya yok baca di link: KBM sebuah aplikasi di play store.