Tampilkan postingan dengan label reinhart. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label reinhart. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 07 Agustus 2021

Petualangan REINHART di Dunia Lain



Bab 1
Ekspedisi Mencari Titisan Darah Murni Young Heroes…
Pada liburan semester, lima bersaudara siswa kelas 2 SMP Bina Taruna Jakarta itu udah Tak sabar untuk kunjungi sang kakek di daerah pegunungan Semeru. Tak sabar menagih janji sang kakek untuk jelasin tanda lahir yang melekat pada dada maupun punggung mereka berlima. Apalagi akhir-akhir ini tanda lahir kemerah-merahan yang bergambar bulan sabit dan bintang itu terus berdenyut dan terasa panas. Ketika mereka tanyakan ama orang tua mereka sendiri, Tak mampu menjawab. Mereka katakan, hanya sang kakeklah yang mengerti pertanda lahir itu.
Sudah bertahun-tahun mereka tanyakan kepada sang kakek arti tanda lahir itu, namun selalu saja sang Kakek menunda memberikan jawaban dengan alasan belum waktunya. Nanti kalau umur mereka udah lebih 15 tahun dan pertanda itu datang, baru sang kakek mau menjelaskan rahasia di balik tabir tanda lahir itu.
Lima bersaudara yang terdiri dari Reinhart yang tingginya 170anlah orangnya tampan, memiliki pandangan tajam, pemikir, hanya sifatnya agak pendiam gitu… namun bijaksana. Sementara Benhart ini tinggi besar keren, memiliki sifat seperti petir keras dan berangasan. Sedang Leinhart lain lagi, tubuhnya sedanganlah dan memiliki sifat jenaka. Nah, kalau Kenhart lain lagi, memiliki sifat agak ceroboh, dan Jesica cantik centil, tapi memiliki sifat srikandi. Kelima bersaudara sepupu ini langsung setengah berlari gitu menapakkan kaki selepas turun dari bis yang antarkan mereka ke kaki perbukitan Gunung Semeru tempat tinggal sang kakek. Mereka memutari punggung bukit melalui jalan setapak menuju rumah kakek yang berada tepat di puncak bukit tersebut.
“Rein, lo yakin kakek udah mau cerita rahasia di balik pertanda yang kita miliki ini?” tanya Benhart sambil berjalan di sisi Reinhart.
“Entahlah, Gue nggak tahu!” sahut Reinhart dingin, setengah berpikir.
“Lo nggak boleh diam aja Rein. Lo harus desak kakek bicara,” sambung Kenhart agak keras dari belakang. “Lo itu cucu yang paling disayanginya. Pasti kakek akan turuti kemauan lo.”
“Betul kata Ken, Rein! Apalagi tanda ini terus bergejolak dan panas lagi rasanya,” dukung Leinhart.
“Iya, Rein! Ini kan aneh semua tanda lahir yang kita miliki bergejolak, panas lagi. Kayaknya ini pertanda sesuatu akan terjadi ama kita semua, lho!” Jesica pun nggak mau ketinggalan keluarin panda-patnya.
“Gue pun seperti kalian. Ingin rahasia di balik tanda lahir kita ini segera terpecahkan. Mengapa kita berlima memiliki tanda lahir yang sama?” Reinhart menoleh, sambil menjawab. “Tapi, kalian kan tahu sendiri, kakek itu nggak mau sembarang ngomong. Dia hanya mau bicara, kalau usia kita udah lebih dari 15 tahun. Sedang kita baru hampir 14 tahun. Kecuali kalau kakek udah dapat wangsit. Makanya, Gue nggak bisa mendesaknya.”
“Payah lo, Rein! Apa kita harus dihantui perasaan nggak enak terus,” Kenhart menggerutu dan kuatir. “Jangan-jangan tanda lahir ini pertanda buruk bagi kita. Makanya, kakek nggak mau cerita ama kita.”
“Tenanglah lo, Ken. Jangan suka menduga-duga. Entar Lo rugi sendiri,” sergah Reinhart. Buru-buru dia menenangkan saudaranya yang satu ini, “gue punya feelling teka-teki per tanda lahir kita ini akan terpecahkan segera…”
“Wah, apa itu…!”
Belum sempat Reinhart selesai ngomong, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kilatan cahaya dan suara ledakan, seperti petir menyambar di atas kepala mereka. Anehnya, petir nggak sekali saja menyambar, melainkan tiga kali berturut-turut. Padahal hari sangat cerah, Tak ada awan menggantung di langit biru siang itu.
Darrr, darrr, darrr!!!
Seketika Reinhart, Benhart, Leinhart, Kenhart dan Jesica secara reflek melompat, merunduk dan menghindar. Hampir saja mereka terkena serpihan kayu yang terbakar berhamburan tanpa tentu arah itu. Belum lagi bebatuan Tak jauh dari pohon yang tersambar petir itu pecah terbelah. Mereka berlima terperangah nyaksiin pohon yang terbesar dan bebatuan di hadapan mereka terbakar dan hancur seketika di sambar ledakan petir di siang bolong itu. Bersamaan dengan itu, tanda lahir mereka berlima tiba-tiba bergejolak hebat. Mereka sempoyongan menahan rasa nyeri dan panas dari dada dan punggung mereka.
“Rein, gimana nih…nyeri bukan main?” teriak Jesica, sambil menahan sakit. Kenhart dan Leinhart sampai bergulingan di tanah menahan rasa sakit.
Sementara Reinhart berusaha konsentrasi memusatkan pikiran untuk menguasai gejolak tanda lahirnya. Dia merapatkan kedua tangannya dan saling mengepal ke dadanya, sambil menarik nafas dalam-dalam dan mengumpulkan pusat pikirannya di dahinya, di antara kedua alis matanya. Beberapa saat kemudian, Reinhart mampu menguasai gejolak tanda lahirnya dan rasa nyerinya pun hilang.
Reinhart langsung menoleh perhatikan saudara-saudaranya yang sedang bergulat menahan rasa sakit yang teramat sangat. Baru kali ini, tanda lahir mereka bergejolak hebat.
“Pusatkan pikiran kalian di dahi untuk kendaliin gejolak tanda lahir kalian itu. Tekan tanda lahir yang di dada dengan kedua tangan, sambil tarik nafas dalam-dalam, lalu hembuskan perlahan-lahan secara berulang-ulang,” perintah Reinhart.
Benhart, Leinhart, Kenhart dan Jesica langsung menuruti perintah Reinhart. Mereka berusaha duduk bersila menuruti omongan Reinhart. Tak lama berselang mereka berlima pun dapat menguasai gejolak tanda lahir mereka dan rasa nyerinya pun segera hilang. Mereka pun merasa lega bukan main.
Begitu lihat saudara-saudaranya dapat mengatasi gejolak tanda lahirnya, Reinhart pun langsung mengajak saudaranya bergegas temui kakeknya.
“Ayo buruan!!! Kita harus segera temui kakek, sebelum tanda lahir ini bergejolak lagi.”
Tanpa berpikir panjang lagi Benhart, Leinhart, Kenhart dan Jesica pun segera bergegas menyusul Reinhart yang mempercepat langkahnya. Mereka selusuri jalan setapak dan menanjak. Kebetulan kanan-kiri jalan setapak itu penuh ditumbuhi pohon raksasa khas hutan tropis. Memang keaslian hutan di lereng bukit itu masih asri, Tak terjamah tangan-tangan jahil. Tak dapat dipungkiri, pengaruh kakek yang dituakan cukup kental terhadap penduduk yang bermukim di kaki bukit untuk nggak merusak lingkungan hutan di atas bukit. Mereka percaya wejangan kakek demi untuk menjaga keselamatan jiwa mereka sendiri. Sehingga Tak ayallah suasana teduh memasuki kawasan ini jadi terkesan angker.
“Rein, apa nggak aneh di cuaca yang cerah gini ada petir menyambar? Pakai gejolak lagi tanda lahir kita. Kayaknya, ada yang kendaliin tanda lahir kita deh!” tanya Jesica setelah mensejajarkan langkahnya dengan Reinhart. Wajahnya sedikit pucat, sembari melirik kanan-kiri kawasan itu.
Reinhart pun menoleh menatap Jesica. Dia memahami ketakutan Jesica, lalu ujarnya, “Makanya, kita harus cepat ketemu kakek untuk cari jawabannya.”
“Betul kata Rein. Kunci jawabannya ada di kakek,” timbrung Leinhart.
“Huuuh!!! nggak usah Lo omong pun, kita semua tahu, Lein. Hanya kakek yang mampu jawab teka-teki tanda lahir ini,” tukas Kenhart, sambil mendorong tubuh Leinhart. Leinhart nyengir.
“Udahlah, kalian jangan banyak cakap lagi!!!” Benhart setengah menghardik. Wajahnya begitu tegang. “Udah tahu ada yang ingin celakai kita.”
“Benar kata Ben! Ada yang ingin menghambat kita temui kakek,” sambung Jesica meyakinkan. Dia pun setengah berlari mengejar langkah Reinhart yang bergegas menuju rumah kakek.
Sementara, Leinhart dan Kenhart terdiam, terpengaruh. Mata mereka pun dengan liarnya lihat kanan-kiri di antara celah pepohonan yang rimbun di seputar jalan setapak menuju puncak bukit. Mereka pun segera siaga menghadapi segala kemungkinan yang terjadi yang akan menghambat perjalanan mereka tersebut.
Bab 2
Tak lama berselang, hati mereka berlima begitu lega karena akhirnya sampai juga di depan rumah kakek. Mereka dapat menarik nafas panjang, menghela rasa kekuatiran di hati mereka. Apalagi dilihatnya pintu rumah kakek terbuka lebar, seolah-olah kakek udah tahu kedatangan mereka. Rumah kakek ini tepat di puncak bukit dan diapit oleh empat pohon raksasa.
“Kakeeek!!!” seru Reinhart. “Cucumu ini berlima datang…!”
“Kakeeek!!!” Jesica pun nggak mau ketinggalan berteriak memanggil kakek.
Tanpa sungkan lagi, mereka pun langsung nyelonong memasuki rumah kakek. Tapi mereka jadi penasaran, setelah melongok ke dalam rumah maupun setiap kamar dan Tak temukan kakek.
“Kemana kakek, Rein?” tanya Kenhart kuatir.
Reinhart nggak segera menjawab, melainkan dia melongok ke pintu dapur. Dan dilihatnya pintu keluar dapur terbuka lebar. Reinhart pun menoleh dan berkata, “Mungkin kakek ada di pendopo belakang rumah!”
Mereka pun segera meletakkan tas ranselnya dan bergegas pergi ke belakang rumah. Mereka menuruni anak tangga batu beberapa undakan, lalu berjalan sedikit melingkar dan menanjak beberapa undakan menuju pendopo yang terletak di atas bebatuan cadas datar persegi panjang di salah satu ujung puncak bukit menghadap ke selatan. Di bawah selatan pendopo tersebut terdapat jurang yang menganga sangat dalam dan di seberangnya terlihat gugusan perbukitan lainnya di kaki Gunung Semeru tersebut. Pemandangan ke arah selatan tersebut begitu indahnya, seolah membuat hati enggan beranjak dari sana.
Kakek terlihat sedang melakukan yoga menghadap ke selatan, seperti Tak menghiraukan kedatangan cucunya berlima itu. Lihat kakek sedang melakukan yoga, Reinhart, Benhart, Kenhart, Leinhart dan Jesica Tak berani mengusik kakek. Mereka segera duduk setengah lingkaran di hadapan kakek. Mereka hanya berani menunggu kakek menyelesaikan yoganya. Suasana pun jadi hening sekali, hanya sayup-sayup terdengar dari kejauhan suara gemerecik air terjun di bawah jurang. Mereka berlima sampai terkantuk-kantuk menunggu kakek.
Menjelang senja mereka berlima begitu terkejut, ketika dibangunkan kakek.
“Reinhart…Benhart…Kenhart…Leinhart…Jesica bangun! Kalian tentu udah lapar…”
“Oh, Kakek!” seru Reinhart begitu membuka matanya. Dia langsung mau ngomong. Tapi kakeknya langsung memotong.
“Udahlah, Rein! Jangan banyak omong dulu. Kakek tahu apa yang ada di benak pikiran kalian itu. Yang penting sekarang ini, isi dulu perut kalian tuh. Kalian kan lapar setelah menempuh perjalanan jauh. Nanti baru kita bicara.”
“Baiklah, Kek!” sahut Reinhart Tak berani membantah suara kakeknya yang berwibawa itu. Apalagi dilihat di hadapannya kini udah terhidang lengkap aneka ragam jenis makanan, ada nasi, ikan ayam, ikan gurami, sayur-mayur, buah segar dan lain-lain. Dia pun dan saudara-saudaranya Tak banyak cakap lagi langsung menyantap makanan yang telah dihidangkan kakeknya itu. Mereka Tak tahu kapan kakeknya mempersiapkan makanan untuk mereka itu. Mereka pun Tak mau ambil pusing masalah itu. Yang penting mereka pun menyantap makanan itu dengan lahapnya. Kebetulan mereka memang udah lapar berat. Sementara kakeknya tersenyum lihat cucu-cucunya makan dengan lahapnya.
Mereka Tak menyadari, sesungguhnya hidangan kakek kali ini sungguh beda dari tahun-tahun sebelumnya. Rasanya kali ini sangat spesial sekali. Entah pertanda apa kakek mempersiapkan hidangan yang begitu banyak. Seolah-olah ini sebagai pertanda perpisahan saja.
Setengah jam berlalu, Reinhart dan saudaranya pun selesai menyantap makanan yang disajikan kakeknya. Roman wajah mereka pun begitu puas menikmati sajian kakeknya, setelah hampir 20 jam mereka kelelahan dalam perjalanan dari Jakarta menuju rumah kakeknya itu. Belum lagi kejadian yang begitu mencekam yang mereka alami di kaki bukit tadi.
Mengingat hal itu, Reinhart pun kembali teringat tujuan mereka temui kakeknya itu jauh-jauh. Makanya, dipandangnya wajah kakeknya yang duduk bersila dengan tenangnya di hadapan mereka. Dilihatnya wajah kakek berseri-seri dengan rambut putih keperakan yang dibiarkan tergerai di punggungnya dan jenggot putih keperakan juga sedadanya. Dengan pakaian putih-putih yang dikenakan itu menambah kesan kharismatik dan wibawa kakek. Kayaknya, kakek udah mencapai taraf Begawan. Benhart, Kenhart, Leinhart dan Jesica pun memandangi wajah kakeknya yang berseri-seri tertimpa silent senja. Mereka udah Tak sabar untuk dengar penjelasan tanda lahir mereka itu.
“Pasti kalian ingin meminta kakek untuk jelaskan tanda lahir kalian tuh kan?” tanya kakek, sambil perhatikan Reinhart, Benhart, Kenhart, Leinhart dan Jesica satu persatu.
“Benar, Kek!!!” ucap mereka bareng.
“Kami pun semakin penasaran, Kek. Tanda lahir kami semua dalam beberapa bulan ini bergejolak dan timbulkan rasa panas,” sambung Reinhart. “Bahkan di kaki bukit tadi kami hampir di sambar petir dan tanda lahir kami bergejolak hebat, hampir-hampir kami Tak mampu menahannya lagi, kek!”
“Iya, Kek. Ini per tanda apa sih Kek?” timpal Jesica.
Kakek manggut-manggut, sambil mengelus jenggotnya dengar cerita Reinhart dan Jesica. “Dengar cucu-cucuku… Kakek pun udah diberi pertanda untuk jelasin tanda lahir kalian itu.”
“Iya, Kek,” sahut Reinhart gembira tahu kakeknya udah mau membuka tabir di balik tanda lahir mereka. Yang lain pun pada serius menanti cerita kakek.
“Tanda lahir itu menunjukkan kalian itu bukan sembarang orang,” ucap kakek.
“Maksud Kakek?” potong Benhart Tak sabar.
Kakek pun tersenyum lihat cucunya yang satu ini Tak sabar menanti penjelasannya. Dia memahami, kalau pembawaan Benhart berangasan dan Tak sabar.
“Tanda lahir kalian itu memperlihatkan bahwa kalian itu masih titisan darah murni Maha Patih Gadjah Mada dari kerajaan Majapahit, leluhur kita.”
“Apa?! Titisan darah murni Gadjah Mada, Kek!” seru Leinhart terperangah.
“Benar. Kalian yang diberi tanda lahir itu akan menjadi ksatria dan tanggung jawab besar yang harus kalian emban. Tugas kalian itu jauh lebih besar dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan leluhur kita, Gadjah Mada.”
Huh! Gimana nih! Benhart, Kenhart dan Jesica saling pandang Tak percaya. Di zaman modern gini cerita kepahlawanan seperti Gadjah Mada, lucu kali, batin mereka. Apalagi kalau sempat orang tahu mereka membual, bahwa mereka masih titisan Gadjah Mada. Bisa-bisa ditertawai dan dicemooh orang. Mau ditaruh di mana muka mereka. Sementara Reinhart menyimak tutur kata kakek dengan serius.
“Kek, di zaman modern gini cerita kepahlawan rasanya lucu deh. Yang terpikir oleh semua orang hanya gimana cara dapat duit gede dan jadi tenar, gitu,” sergah Kenhart.
“Betul itu Kek!” dukung Leinhart. Benhart dan Jesica saling pandang dan mengangkat bahunya, Tak percaya dengar omongan kakeknya.
“Diam kalian!” hardik Reinhart, setengah berbisik. “ Apa kalian nggak mikir? Mengapa tanda lahir kita semua bergejolak dan menimbulin rasa panas itu?”
Kenhart, Leinhart, Benhart dan Jesica langsung terdiam diingatin soal gejolak tanda lahir yang menyiksa mereka itu.
Kakek pun berdiri membelakangi mereka menatap matahari yang akan tenggelam di ufuk barat. ”Benar kata Rein. Gejolak tanda lahir kalian itu pertanda tugas kalian udah di depan mata. Gejolak itu panggilan lahir kalian yang udah ditakdirkan akan jadi Ksatria Agung.“
“Ksatria Agung!!!” serempak mereka setengah berteriak. Mereka pun saling pandang penuh tanda tanya. Mereka semakin nggak memahami omongan kakeknya itu.
Sementara, kakek pun membalikkan tubuhnya menghadap mereka yang lagi terperangah. Lalu lanjutnya, “Benar, kalian akan jadi lima Ksatria Agung yang memiliki kekuatan yang luar biasa.”
“Kekuatan yang gimana sih, Kek? Kami nggak merasa punya kekuatan apa pun seperti yang Kakek katakan itu. Kami pun jadi bingung dari mana jalannya tiba-tiba dalam waktu sekejap dapat kekuatan yang Kakek maksud itu,” tukas Jesica.
“Iya, Kek. Di zaman modern gini kan aneh bicara soal kesaktian. Kesaktian yang kakek maksud itu seperti cerita dongeng aja. Entar malah ditertawai orang. Kan malu, Kek,” timpal Leinhart bersungut-sungut.
“Kamu salah, Lein. Bukan kesaktian seperti cerita Jaka Sembung atau Sangkuriang yang akan kalian miliki, tapi paduan kekuatan aura tubuh kalian dengan tehnologi,” sanggah kakek.
“Ah, yang bener Kek?!” seru Benhart bersemangat. “Kalau itu, Gue mau Kek. Punya kekuatan super, kan asyiiik banget. Biar buat nyikat habis yang suka mengejek Gue.”
“Gue pun mau, Ben…!” sambung Kenhart Tak mau ketinggalan.
“Eh, Lo mau menyaingi Gue, Ken?! Enggak bisa…!” tukas Benhart, sambil menggoyang-goyangkan jari telunjuk tangan kanannya.
“Huuuh! Maunya…” dengus Jesica mengejek, sambil menonjok bahu Benhart. “Ben…Ken…punya kekuatan bukan sembarang gunakan, tahu!”
Benhart nyengir, sedangkan Ken mengangkat bahunya, masa bodoh. Kakek pun tersenyum dengar kekonyolan Benhart maupun Kenhart, lalu potongnya, “Nanti kalian akan tahu sendiri kekuatan macam apa yang kalian miliki itu. Waktunya Tak lama lagi. Reinhartlah yang nanti jadi pemimpin kalian. Petunjuk Reinhart untuk kendalikan gejolak tanda lahir kalian seperti yang kalian lakukan di kaki bukit tadi perlu kalian ingat selalu.”
“Kalau benar kami punya kekuatan luar biasa seperti yang kakek katakan, lantas tugas kami nanti apa, Kek? Kami nggak ngerti tuh,” sanggah Benhart, lalu menoleh menatap Reinhart cari jawab. Tapi Reinhart Tak bereaksi sedikitpun.
“Nanti kalian akan tahu sendiri. Dalam beberapa hari mendatang kalian akan menghadapi kejadian luar biasa. Dan kakek sendiri belum tahu kejadian apa yang akan kalian temui itu. Tugas kalian pun kakek nggak tahu. Kemampuan kakek terbatas, Tak mampu menembus alam yang akan kalian lalui nanti.”
“Kejadiannya nggak membahayakan kami kan, Kek?” tanya Jesica kuatir.
“Dengan kekuatan yang kalian miliki dapat mengatasi masalah yang akan kalian hadapi nanti. Tapi ingat, kalian semua harus patuh ama Rein. Jika kalian semua bersatu maka kekuatan kalian akan berlipat ganda. Sekarang cobalah kalian berlatih untuk kendalikan getaran tanda lahir kalian itu di sini atau di air terjun di bawah sana.”
Mereka pun Tak berani membantah perintah kakeknya itu. Mereka begitu tercekam dengar ucapan kakeknya itu. Mereka pun duduk bersila membentuk formasi lima serangkai, mengikuti petunjuk sang kakek. Lalu mereka mulai memusatkan pikiran di dahinya. Kedua tangan dirapatkan saling mengepal dan menekan tanda lahir di dada mereka. Kemudian mereka mulai mengatur pernafasan mereka secara berulang-ulang. Setelah berlatih berulang kali, mereka rasa ada perubahan di tubuh mereka. Gejolak dan rasa panas yang kerap kali muncul di tanda lahir mereka dapat mereka tekan. Bahkan, di sekujur tubuh mereka kini diselimuti selembut hawa panas yang dapat mereka gerak-gerakkan kemana mereka kehendaki. Menyadari hal ini, mereka jadi gembira bukan main. Kakek pun tersenyum lihat kemajuan yang dialami cucu-cucunya itu.
Kelanjutannya silahkan baca di link di bawah ini: