Orang tua mana yang tidak hancur hatinya, jika mengetahui anaknya telah terlibat menyalahgunakan narkoba? Tentu, rasanya kepala ini mau pecah dan dunia mau runtuh. Hilang sudah harapan orang tua terhadap anak. Orang tua seperti mendapat aib besar yang sungguh memalukan dan menghancurkan harkat, maupun martabat keluarga. Reaksi emosional orang tua pun langsung meledak. Ledakan amarah tersebut bercampur aduk dengan perasaan sedih, kecewa, kesal dan malu. Dari banyak kasus yang terjadi, orang tua langsung naik darah dan bertindak kasar terhadap anak, seperti berkata kasar, membentak, memaki, menyumpah maupun memukuli anak. Bahkan, tidak sedikit orang tua yang shock berat, malu dan jatuh sakit karena ulah anak tersebut.
Ironinya, orang tua baru mengetahui anaknya terlibat penyalahgunaan narkoba setelah terlambat. Atau orang tua ternyata barisan orang yang paling akhir mengetahui keterlibatan penyalahgunaan narkoba anak. Orang tua baru mengetahui anak terlibat narkoba setelah stadium kronis. Akibatnya, anak terlambat ditolong. Anak masuk keperawatan setelah mengalami kerusakan otak permanen. Misalnya, anak telah menderita psikosis, HIV, Hepatitis C, IMS (Inveksi Menular Seksual) dan sebagainya. Akibatnya, program perawatan yang diberikan ke anak menjadi lebih susah dan rumit.
Mengapa orang tua terlambat mengantisipasi penyalahgunaan narkoba
pada anak?
Orang tua terlambat mendeteksi penyalahgunaan narkoba oleh anak karena anak begitu pandai menutupi keterlibatannya di mata orang tuanya. Pendek kata, anak tetap ingin menjadi anak yang manis di rumah. Di rumah anak lebih banyak memilih berdiam diri di kamarnya. Ketika anak keluar rumah pun, tanpa menimbulkan kecurigaan yang berarti. Ketika anak meminta uang berlebih, kita cepat percaya dengan berbagai macam alasan anak. Begitu juga, ketika ada barang berharga yang khusus diberikan kepada anak banyak yang hilang, kita cepat percaya ketika dikatakan sedang dipinjam temannya, namun barang tersebut ternyata tak pernah kembali. Hal lain, ketika banyak barang di rumah yang hilang, tak seorang pun berani menuduh anak.
Hal lain, orang tua tak mudah percaya kalau anaknya dikatakan telah menyalahgunakan narkoba. Orang tua berusaha menghindari realita dan tuntutan untuk bertindak pada anaknya. Orang tua tak yakin, tak rela dan berusaha keras melakukan penyangkalan (menampik) anak terlibat penyalahgunaan narkoba. Nah, jikalau ada kecurigaan, itu pun tak penuh. Orang tua enggan melakukan konfrontasi dengan anak. Orang tua takut jika tuduhan itu tak benar dapat melukai perasaan anak. Orang tua hanya sekedar mencari bukti narkoba di kamar anak, di saat anak tidak ada di rumah.
Padahal, penyangkalan ini merupakan suatu sikap yang paling berbahaya. Penyangkalan ini dapat berakibat menjadi pembunuh anak. Orang tua jadi terlambat bertindak, karena anak yang sudah kecanduan hanya butuh waktu beberapa saat untuk overdosis, terinveksi HIV, Hepatitis C dan sebagainya. Salah mengambil keputusan menyebabkan penyesalan seumur hidup.
Rasa malu orang tua atau keluarga pada umumnya menjadi penghambat nomor satu untuk mengantisipasi dengan benar terhadap anak yang kedapatan menyalahgunakan narkoba. Orang tua atau keluarga memandang, jika salah satu anggota keluarga ada yang terlibat penyalahgunaan narkoba dianggap merupakan suatu aib besar yang harus ditutupi rapat-rapat atau harus disembunyikan. Rasa malu dan rasa bersalah mendorong orang tua untuk berusaha menangani dengan cara keras sendiri. Di satu sisi dengan kemarahan, namun di sisi lain dengan sikap protektif penuh. Orang tua jarang membawa anak yang terlibat kemana pun ketika pertama sekali menemukan anak bermasalah dengan narkoba. Pada umumnya, kali pertama orang tua berusaha menangani sendiri atau membawa anak ke dokter hanya untuk rawat jalan.
Sikap protektif keluarga yang didorong oleh rasa malu dan rasa bersalah karena merasa telah gagal sebagai orang tua, sebahagian besar telah menyebabkan anak gagal untuk pulih. Orang tua atau keluarga ada yang berusaha keras untuk menangani sendiri kasus kecanduan anak dengan mengisolasi anak di rumah atau mengungsikan anak ke tempat lain. Namun, orang tua lupa kalau pecandu adalah pribadi yang sakit yang selalu menggunakan akal kreatifnya mencari cara meloloskan diri dan menghalalkan berbagai cara untuk mengecoh sekedar mendapatkan narkoba.
Perilaku lain, orang tua terkecoh sikap kompromis anak. Orang tua yakin ketika anak melakukan penyangkalan dirinya bermasalah dengan narkoba. Anak menolak keras, jika dia dikatakan bermasalah dengan narkoba. Anak mengatakan dia mampu berhenti mengonsumsi narkoba karena dia tidak separah pecandu lainnya. Di mana anak berpikir, dirinya tidak bermasalah dengan narkoba dan tidak membutuhkan pertolongan orang lain dan tak butuh program pemulihan. Namun janji anak itu hanya omong kosong. Sebab, anak seperti berkepribadian ganda. Di satu sisi, dirinya ingin pulih, seperti pribadi dirinya si anak baik sebelum mengenal narkoba. Di sisi lain, pribadi yang tidak ingin pulih, sebagai pecandu. Tapi yang jelas, anak yang sudah menjadi pecandu adalah orang yang sakit, baik secara fisik maupun mental, sehingga tidak dapat mengambil keputusan sendiri. Keputusannya selalu ambivalen dengan kenyataannya. Tak ubahnya, seperti orang mabuk ocehannya tak dapat dipegang kebenarannya karena dia hanya membual.
Sikap orang tua atau keluarga yang terlalu lemah. Bisa jadi karena anak terlalu dimanja dan orang tua memiliki sikap serba tak tega. Sehingga ketika anak bermasalah dengan narkoba menjadi kewalahan menanganinya di rumah karena anak lebih berani dan lebih galak dibandingkan orang tua. Orang tua sering kali menjadi sulit bertindak di tengah ketakutannya, sehingga selalu mengabulkan segala permintaan si anak untuk mendapatkan narkoba. Bahkan, ada ditemui orang tua sendiri yang mengantarkan anaknya untuk mendapatkan narkoba, karena orang tua tidak ingin anak mendapat kecelakaan di jalan atau kabur dari rumah.
Di samping itu, ada pandangan keliru yang menganggap kecanduan narkoba hanya merupakan masalah fisik belaka, sehingga pemulihannya pun hanya menekankan bersifat pemulihan fisik saja. Anggapan, anak dinyatakan pulih, jika fisiknya bersih, sehingga pemahaman orang tua yang keliru ini mendorong keluarga berusaha memberi perawatan jangka pendek, yaitu pemulihan fisik. Anggapan keliru ini didorong oleh keinginan masalah keterlibatan anak dengan narkoba jangan sampai ada orang lain yang tahu. Orang tua tak ingin orang lain tahu anaknya adalah seorang pecandu. Padahal, proses pemulihan anak dari ketergantungan narkoba meliputi pemulihan fisik, mental, emosional dan spiritual anak. Fisik pecandu dinyatakan bersih narkoba tak membuat seorang pecandu sembuh. Sebab, masih dibutuhkan perubahan kualitas hidup, perubahan sikap, membentuk kemampuan mengatasi masalah, membentuk percaya diri, menentukan teman yang steril narkoba, membentuk kemauan hidup dan tujuan hidup yang jelas untuk menyatakan seseorang itu sudah sembuh.
Apabila kita cermati, ada beberapa gejala yang memberi petunjuk kepada kita, bahwa anak telah terlibat pemakaian narkoba, antara lain:
- Perubahan tingkah laku anak yang tiba-tiba, serta mudah menaruh curiga terhadap orang lain, terutama orang yang tidak dikenalnya.
- Anak mudah marah.
- Anak suka membangkang terhadap nasihat orang tua maupun gurunya.
- Anak suka menjual barang-barang berharga miliknya sendiri atau orang lain.
- Kadang-kadang anak suka mengenakan kaca mata hitam gelap pada saat tidak tepat, untuk menyembunyikan matanya yang bengkak dan merah.
- Anak jadi suka bersembunyi di kamar mandi atau gudang dalam waktu lama dan berkali-kali.
- Anak melarang keras orang tuanya memasuki kamarnya.
- Anak suka bolos.
- Nilai raport turun drastis.
- Lebih senang menyendiri.
- Sering berbohong.
- Kesehatan menurun dan badan kurus.
- Cara berpakaian sembaranganan dan tidak terurus serta suka pakai baju lengan panjang untuk menyembunyikan bekas suntikan atau sayatan pada lengannya.
- Anak sering didatangi oleh orang yang belum kenal keluarga atau teman-temannya.
Memang, tidak semua anak yang telah memperlihatkan tanda-tanda atau gejala di atas terlibat narkoba. Mungkin anak bermasalah dengan perilakunya yang menyimpang. Namun, kebanyakan para penyalahgunaan (pecandu) narkoba akan selalu mempertunjukkan gejala-gejala seperti di atas. Paling tidak, jika anak telah memperlihatkan tanda-tanda atau gejala-gejala seperti di atas, maka kita harus lebih cermat dan serius memperhatikan serta menyelidiki penyimpangan perilaku anak, sebelum masalah anak menjadi kronis dan jadi masalah.
Bagaimana menghadapi anak yang kedapatan menyalahgunakan narkoba?
Jika kita menemukan atau mendapati anak terlibat penyalahgunaan narkoba, maka langkah-langkah yang harus kita lakukan adalah, sebagai berikut:
Pertama, Jangan Panik.
Jika menghadapi kenyataan anak telah menyalahgunakan narkoba, kita harus dapat menguasai gejolak perasaan yang tak menentu dengan lapang dada dan sabar. Kita harus bersikap tenang dan objektif. Bersikap tenang dan objektif dapat membuat kita berpikir jernih dan mampu menelaah masalah serta dapat mengambil keputusan yang tepat untuk menangani anak. Memang tak dapat dipungkiri, anak telah bermasalah dengan narkoba. Ini realita, sehingga tak ada gunanya kita berusaha mencari kambing hitam siapa yang salah atau saling menyalahkan. Begitu juga, mengumbar kemarahan pun tidak merubah kenyataan yang telah terjadi. Kita pun tak bisa berharap dengan melampiaskan kemarahan, memojokkan dan menghakimi anak, dapat membuat anak sembuh dan menjauhi narkoba. Malah sebaliknya, reaksi emosional kita dapat membuat anak semakin terpuruk pada penyalahgunaan narkoba. Permasalahan yang utama adalah anak harus segera ditangani dengan benar karena dia membutuhkan pertolongan segera. Anak sangat membutuhkan dukungan penuh dan pemahaman keluarga. Bicaralah dan yakinkan serta sadarkan anak, apa dampak yang dia rasakan akibat perbuatannya. Biarkan dia menilai dan merasakan sendiri apa yang diperbuatnya. Misalnya, apa kamu tidak lelah dengan petualanganmu?, Apa yang kamu dapat secara riil petualanganmu itu? Rangsanglah kemauan dari dalam dirinya untuk merubah dirinya dan menata hidupnya kembali. Bangkitkan semangat dan motivasi dirinya, bahwa dirinya masih punya arti dan masih banyak hal yang masih bisa dia perbuat.
Kedua, Merubah paradigma penyalahgunaan narkoba yang tadinya dianggap sebagai aib besar yang harus ditutup-tutupi atau disembunyikan menjadi sebuah kejadian luar biasa (malapetaka) yang harus dicegah dan ditanggulangi segera.
Kita harus menepis perasaan malu dan perasaan bersalah menghadapi anak yang bermasalah dengan narkoba. Perasaan tersebut tidak merubah keadaan anak menjadi sembuh dari pengaruh narkoba. Kita tidak dapat menyembunyikan atau menutup-nutupi masalah anak dan berusaha menangani sendiri perawatan anak. Bermasalah dengan narkoba bukan masalah penyakit fisik belaka, seperti cukup melakukan detoksifikasi atau menawarkan racun narkoba dari tubuh anak. Jika efek racun dari narkoba dari tubuh telah hilang, bukan berarti anak sudah sembuh. Secara fisik anak bisa saja kembali segar, namun otak anak masih obsesif dan kompulsif ingin kembali menggunakan narkoba. Inilah justru yang jadi masalah terbesar yang membuat anak sulit disembuhkan karena anak selalu kambuh dan terus kambuh lagi.
Masalah ketergantungan narkoba merupakan sebuah kejadian yang luar biasa, yang mencakup kerusakan fisik, psikologis (mental), sosial maupun spiritual anak, sehingga penanganannya membutuhkan proses khusus secara menyeluruh. Bagaimana cara membangkitkan kemauan kuat dari dalam diri anak sendiri untuk sembuh, ini yang sulit dan butuh suatu program khusus pemulihan. Oleh karena itu, kita tak boleh menutup-nutupi masalah anak dan harus segera mengambil tindakan dan menempatkan anak pada program khusus pemulihan. Keberhasilan memulihkan anak dari ketergantungan narkoba merupakan sebuah prestasi luar biasa.
Ketiga, Kita harus bersikap tegas.
Jika kita sayang pada anak, maka kita harus bersikap tegas menangani anak. Setiap orang tua pasti sayang dan cinta pada anak, tapi bukan berarti kita harus lemah, tunduk dan menuruti pada setiap keinginannya. Kita harus membuang perasaan tak tega pada anak. Anak yang kita hadapi kini seperti telah memiliki kepribadian ganda, penuh sikap manipulatif dan pembohong besar. Di satu sisi, dia ingin menjadi anak yang manis dan patuh pada orang tua, tapi di sisi lain dia pribadi pecandu yang tak mau melepas kecanduannya. Yang harus kita cintai adalah anak, tetapi bukan mentolerin perilaku adiksinya. Makanya, kita tak dapat menggantungkan harapan dan mempercayai sikap kompromis dan janji-janji anak yang telah ketergantungan narkoba. Orang yang telah ketergantungan narkoba seperti orang yang telah menandatangani kontrak mati dengan berbagai dampak buruk yang ditimbulkannya. Ini hanya masalah waktu. Salah kita memperkirakan sikap anak, mengulur waktu penanganan anak atau tak berani bertindak dalam seperkian detik, taruhannya nyawa anak. Oleh karena itu, Anak sangat membutuhkan pertolongan, dukungan penuh keluarga dan kita harus bersikap tegas dengan berani mengambil tindakan tegas dan cepat dengan menempatkan prioritas untuk menyelamatkan nyawa anak.
Keempat, Mintalah bantuan professional adiksi.
Kita harus bertindak cepat dan jangan menunda-nunda waktu menangani anak dengan membawanya ke professional adiksi, seperti merujuk ke RSKO atau Panti Rehabilitasi. Kita tidak dapat mengambil keputusan sendiri untuk menangani/merawat anak yang telah bermasalah dengan narkoba tanpa mendapat bantuan professional adiksi. Sebab, masalah narkoba adalah masalah yang kompleks, sangat sulit menentukan kebijakan sendiri tanpa didukung oleh pengetahuan, pengalaman dan keterampilan penanganan masalah narkoba dengan benar. Mintalah bantuan dan petunjuk professional adiksi untuk menelaah kondisi anak dan cara atau program pemulihan yang tepat untuk anak.
Kelima, Berusaha membangkitkan kesa-daran dan kemauan anak untuk pulih.
Tak dapat dipungkiri, untuk membangkitkan kesadaran dan kemauan anak untuk pulih dari penyalahgunaan narkoba bukanlah masalah yang mudah. Untuk itu, anak sangat membutuhkan dukungan positif dari lingkungannya yang dapat merangsang keinginannya untuk pulih. Kerjasama antara konselor dan orang tua sangat dibutuhkan untuk menemukan kesadaran anak untuk sembuh. Kesadaran untuk pulih ini hanya bisa dimunculkan apabila anak dapat diarahkan untuk mau merenung dan berpikir jernih tentang dirinya.
Pada umumnya, orang yang bermasalah dengan narkoba mau merenung dan berpikir setelah melewati suatu krisis, dimana dirinya sudah merasakan benar-benar tidak berdaya dan dia tak mampu mengendalikan kondisi hidupnya lagi. Atau mengalami suatu kejadian yang luar biasa dan sangat mengguncang dirinya serta membuat hidupnya terasa sudah di luar kontrol dirinya. Pecandu sudah menghadapi jalan buntu, dia tak tahu lagi harus bagaimana berbuat. Kejatuhan dan tekanan peristiwa traumatik ini yang membuat dirinya lelah kecanduan narkoba. Namun pengalaman traumatik setiap orang berbeda-beda, ada yang cepat dan ada yang lambat. Tetapi pada umumnya, dibutuhkan proses perjalanan panjang untuk mengalami kesadaran ini.
Salah satu cara merangsang anak yang bermasalah dengan narkoba untuk mau merenung dan berpikir dapat diciptakan dengan ketegasan sikap orang tua dan lingkungan terdekatnya untuk menutup atau menolak memudahkan anak memakai narkoba. Begitu juga, menolak menanggung atau melindungi berbagai akibat yang ditimbulkannya, sampai anak mengalami krisis atau tak berdaya, sehingga menuntun dirinya untuk berubah atau menuntun dirinya mencari pertolongan yang tepat karena dirinya telah lelah kecanduan.
Di samping itu, kita dapat mengajak komunikasi dengan memasuki alam pikiran anak. Kita harus mampu menyentuh titik peka anak untuk merasakan dan menghayati akibat-akibat riil perbuatannya sendiri. Kita harus menggiring akal pikiran anak untuk menjelajahi dirinya sendiri tanpa tekanan. Gali harga diri anak, keinginan-keinginannya dan harapan riil anak. Rangsang anak untuk mewujudkan harapan-harapannya, sehingga timbul keinginan dan tekadnya untuk berubah. Selanjutnya, untuk mendukung tekad anak untuk berubah, maka diskusikanlah dengan professional adiksi atau konselor mengenai program pemulihan anak.
Keenam, Arahkan anak pada kegiatan positif yang membangun harga dirinya.
Untuk menghilangkan gaya hidup adiksi anak, maka sangat dibutuhkan kegiatan positif yang mampu merangsang dan membangun harga diri anak, agar dirinya tetap bersih dari pengaruh narkoba. Kita dapat memotivasi dan menggiring anak untuk mengikuti program khusus pengembangan dirinya sesuai dengan minat, bakat dan hobi anak. Jika anak mampu mengembangkan sesuatu yang berharga dalam hidupnya dan selalu menyibukkan diri dengan kegiatan positif yang menggembirakannya, tentu anak akan menjauhi kehidupan narkoba. Sebab, hidup terarah tanpa narkoba sungguh membahagiakan.
Ketujuh, Kembangkan keterampilan menolak (refusal skill) narkoba anak.
gar anak tidak mudah jatuh kembali ke dunia narkoba, maka perlu dikembangkan keterampilan menolak (refusal skill) narkoba anak. Kita bangun pola kepribadian yang matang pada anak, percaya dirinya, keterampilan mengatasi masalah, kekecewaan, rasa malu, kemarahan maupun kecemasannya, kemampuan mengembangkan pergaulan yang positif, kemampuan mengembangkan dirinya dan mengembangkan tujuan hidupnya.