Selasa, 01 Maret 2011

Anak Berbakat Belum Tentu Sukses

Jakarta (ANTARA News)- Anak-anak dengan bakat luar biasa ternyata sama besar kemungkinannya untuk gagal maupun sukses pada masa dewasa. Dalam salah satu penelitian terpaling luas yang pernah diadakan, ditemukan bahwa dari 210 anak berbakat, hanya tiga persen yang akhirnya "jadi orang". Professor Joan Freeman mengatakan dari 210 anak-anak yang dia teliti, hanya setengah lusin yang bisa dikatakan meraih 'kesuksesan konvensional'. "Pada usia enam atau tujuh tahun anak berbakat memiliki potensi yang mencengangkan, tetapi banyak dari mereka terjebak dalam situasi potensi terpasung," kata Freeman seperti yang dikutip Daily Mail, Senin. Professor Freeman melacak anak-anak yang berbakat di bidang matematika, seni, dan musik sejak tahun 1974 hingga sekarang.

Kebanyakan dari mereka tidak sukses pada masa dewasa karena perlakuan yang mereka alami dan dalam beberapa kasus direngut dari masa kanak-kanak. Dalam beberapa kejadian, orang tua menekan anaknya begitu keras atau malah dipisahkan dari kelompok sebayanya, sehingga akhirnya hanya mempunyai sedikit teman. Ia juga menambahkan 'menjadi istimewa berarti lebih bisa menghadapi hal-hal yang bersifat intelektual tapi tak selalu bisa menghadapi hal-hal emosional.
Freeman juga cenderung menekankan bahwa anak-anak berbakat sama rapuhnya dengan anak biasa bahkan mungkin "punya kekuatan emosi yang lebih besar".

"Saya ingin menegaskan bahwa mereka yang berbakat juga hanya manusia biasa tapi menghadapi tantangan-tantangan, khususnya harapan yang tidak sesuai kenyataan, biasanya dipandang aneh dan tak bahagia," tegas Freeman.

"Orang tua dan guru bisa merasa terancam dengan kehadiran mereka dan bereaksi meredam kemampuan mereka. Yang mereka inginkan hanya diterima apa adanya, kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi, dan mendapatkan dukungan moral yang memadai," papar Freeman lebih jauh.

Salah satu contoh anak berbakat yang kemudian gagal untuk berkembang adalah Andrew Halliburton, yang ketika masih berusia delapan tahun telah memahami matematika untuk sekolah menengah tetapi kini hanya bekerja di warung cepat saji McDonald.

Contoh lain yang menarik adalah Anna Markland dan Jocelyn Lavin yang telah menjadi bintang sekolah musik Chetham, Manchester, Inggris, ketika berusia 11 tahun. Markland yang kini berusia 46 tahun, berasal Princes Risborough, Buckinghamshire, Inggris dan pada 1982 dinobatkan sebagai Pemusik Termuda Terbaik pleh BBC. Ia kemudian belajar musik di Oxford selama dua tahun dan sekarang menjadi seorang pemusik profesional, yang menurutnya merupakan profesi terbaik di dunia. Sebaliknya, Lavin berbalik dari musik dan berpindah menekuni ilmu pengatahuan alam. Ia kemudian memmperoleh nilai A dalam bidang itu di antara 210 anak berbakat tadi.

Tetapi setelah masuk University College London, ia gagal dalam matematika dan astronomi pada usia 17 tahun. Ia kemudian keluar tanpa meraih satu gelar pun. "Saya tak tahu yang ingin saya tekuni kecuali terbang ke luar angkasa," katanya. Setelah 20 tahun berprofesi sebagai guru matematika, ia kini masih harus bermasalah dengan rumahnya yang dililit masalah kredit.

Menurut Professor Freeman, permasalahan lain bagi anak-anak istimewa, mereka sering kali cemerlang di bidang apa saja sehingga mereka cenderung ingin mencoba bidang lain padahal bidang yang terdahlu belum dikuasai betul. Pada dasarnya anak cerdas akan gagal jika mereka ditempatkan di bawah tekanan untuk berkembang. "Kepuasan dan kreatifitas dari masa anak-anak adalah dasar untuk semua pekerjaan besar," pungkas Freeman.

(Ber/A038/BRT). Sumber: ANTARA News, 28 September 2010.

Pendidikan Matematika Perlu Diubah

Kompas, Rabu 02 Maret 2011.

Jakarta, Kompas - Pembelajaran Matematika di sekolah-sekolah saat ini masih bersifat abstrak sehingga anak kesulitan memahami konsep-konsep Matematika serta logika anak menjadi tidak berkembang. Karena itu, sistem pendidikan Matematika harus diubah agar tepat sasaran.

Metode pembelajaran Matematika yang tidak tepat itu justru mengakibatkan anak-anak lemah dalam menghitung.

”Padahal, kemampuan menghitung dibutuhkan untuk penguasaan sains, seperti Fisika dan Kimia,” kata Ketua Dewan Pembina Ikatan Guru Indonesia (IGI) Ahmad Rizali, Selasa (1/3).

Ilmuwan Yohanes Surya yang juga pimpinan Surya Institute mengatakan, pendidikan Matematika di sekolah lebih menekankan anak menghafal tanpa mengerti bagaimana proses berpikir logis untuk memahami konsep dasarnya.

”Cara belajar Matematika yang dikenalkan kepada anak-anak tidak gampang dan tidak menyenangkan. Anak selalu tegang jika belajar Matematika sehingga mereka sulit menyukai dan menguasai konsep dasar Matematika,” kata Yohanes dalam pelatihan ”Matematika Gampang, Asyik, dan Menyenangkan (Gasing)” di Tangerang.

”Buta” Matematika

Ahmad mengatakan, dari hasil The Program for International Student Assessment (PISA) 2009, penguasaan Matematika siswa setingkat SMP di Indonesia sekitar 76,6 persen berada di bawah level 2 dari 6 level yang berlaku secara internasional. Kenyataan ini menunjukkan banyak siswa Indonesia yang masih ”buta” Matematika.

Menurut pendefinisian level profisiensi Matematika dari OECD, siswa di bawah level 2 dianggap tidak akan mampu berfungsi efektif di kehidupan abad ke-21.

Tuntutan dunia global sekarang ini adalah manfaat belajar Matematika untuk kehidupan sehari-hari, termasuk pembentukan karakter cermat dan tekun.

”Pendidikan Matematika harus direvolusi. Itu dimulai dari kurikulum. Kita butuh pembenahan yang serius dengan masukan dari ahli yang paham pengajaran Matematika dan ahli Matematikanya,” kata Ahmad.

Yohanes mengatakan, akibat lemahnya pemahaman Matematika sebagian siswa Indonesia, menyebabkan anak-anak lemah dalam penguasaan Fisika dan Kimia. (ELN)