Senin, 19 Oktober 2009

Belajar Sukses


Kalau kita menelaah kualitas produk lembaga pendidikan kita tentu sungguh memprihatinkan. Coba bayangkan, dalam praktek proses pembelajaran di kelas terlihat persentasi anak yang menguasai materi pembelajaran sangat kecil sekali. Apalagi, kalau SDM gurunya sangat rendah, bagaimana pula output yang dihasilkannya?

Tentu kehadiran bapak-ibu di sini punya keinginan yang kuat untuk memperoleh teknik atau cara praktis meningkatkan kualitas putra-putri bapak-ibu, bukan?

Sebenarnya, untuk menjadi manusia pembelajar itu sederhana. Namun, kadangkala kita sendiri yang membuat rumit atau ruwet. Sebab, kita harus berusaha menciptakan suasana pembelajaran yang benar. Inti untuk menjadi manusia pembelajar itu tak lain adalah sadar metode. Apapun yang akan kita perbuat akan terasa mudah dilakukan, jika kita mempergunakan metode. Coba bayangkan, kita melihat jaringan komponen computer yang menghasilkan data-data yang sungguh menabjubkan, tentu bagi yang awam terlihat ruwet dan memusingkan kepala. Tapi bagi yang ahli computer, dia memandangnya biasa saja. Karena dia mengetahui rangkaian operasional jaringan computer tersebut.

Nah, sebenarnya untuk memahami apa yang dipelajari, kita tidak boleh dalam keadaan pikiran pasif dan pikiran kosong dengan menampung mentah-mentah apa yang diberikan atau disajikan. Sebab, jika pikiran kita pasif, maka kita mudah kehilangan konsentrasi. Sebab, pikiran mudah bercabang atau menerawang pada ingatan atau pikiran lain yang tidak ada hubungannya dengan apa yang kita pelajari. Parahnya, kita pun mudah terjebak belajar menghafal. Ingat, belajar menghafal membuat pengetahuan yang kita peroleh sangat rendah atau tataran yang terbangun hanya pada tingkatan ingatan belaka atau sekedar mengingat saja. Makanya, .agar materi yang diberikan dapat kita mengerti atau pahami, maka kita perlu membangun atau mempersiapkan simpul-simpul syarat otak kita terkoneksi dengan informasi yang diberikan. Atau dengan kata lain, kita membangun asosiasi atau hubungan intelektual antara stimulus dan respon otak kita. Caranya kita itu harus membiasakan diri bersikap dan berpikir aktif, yaitu merangsang daya nalar untuk menghubungkan daya tangkap dengan informasi baru yang dibahas. Kita belajar berpikir abstrak. Kita berusaha merangkai, menyusun, menggiring atau menyusun asosiasi jalan pikiran secara terfokus. Caranya, buka pikiran dan giring (arahkan) pikiran secara taktis dan terfokus pada pokok masalah dengan mempertanyakan objek yang kita pelajari. Misalnya, apa yang mau dikatakannya, apa maksudnya, bagaimana rangkaiannya, bagaimana kelanjutannya, darimana memulainya, apa saja unsur yang membentuk atau membangunnya, bagaimana bentuk rangkaiannya, siapa pencetusnya, dan sebagainya, hingga tuntas.

Proses berpikir demikian yang dinamakan berpikir taktis. Berpikir taktis ini maksudnya adalah mengandung arti upaya mengarahkan proses berpikir, bertindak cepat dan efektif secara terukur dan terarah langsung menuju objek sasaran usaha. Taktis ini menunjukkan kecekatan dan keterampilan mengelola pemikiran untuk bertindak cepat dan tepat dalam memproses suatu rangsangan yang dihadapi.

Pendek kata, untuk melatih pengetahuan taktis ini subjek belajar harus membiasakan diri belajar mengamati atau melakukan observasi segala sesuatu secara detail.

Kelanjutan berpikir taktis, yaitu berpikir metodis. Berpikir Metodis mengandung arti kemampuan menyusun kerangka berpikir secara step by step atau menyusun prosedur kerja bagaimana cara menggerakkan proses penalaran dan tindakan efektif dalam memproses pokok masalah, sehingga dapat mengurai, menyusun, menimbang dan memecahkan pokok masalah dalam bentuk pola tindakan atau prakarsa.

Untuk melatih pengetahuan metodis, membiasakan diri dengan cara analisis (mengurai unsur), sintesis (menyusun) dan evaluasis (menilai). Cara efektif untuk melatih pengetahuan metodis dapat dilakukan dengan membiasakan diri menyontoh langsung dalam penyelesaian suatu soal (masalah) atau pekerjaan atau melibatkan diri langsung dalam pemecahan masalah. Atau mengembangkan pemikiran berdasarkan tujuan, sebab-akibat, pernyesuaian dan sebagainya.

Kemudian, Berpikir Imajinatif-Kreatif. Ini mengandung arti cara berpikir kreatif dalam menelaah/memecahkan pokok masalah dengan memperhitungkan kemungkinan yang mungkin dapat dimunculkan mengatasi pokok masalah.

Untuk mudah berpikir kreatif dalam mengobservasi adalah dengan cara membayangkan gambaran bentuk objek masalah dan pikirkan unsur-unsur penting yang membentuk gambaran (sesuatu) yang dapat mempengaruhi gambaran tersebut melalui proses analisis, sintetis dan evaluasis.

Subjek Belajar tak boleh ragu mengembangkan pikiran kreatif untuk mengkaji berbagai kemungkinan dari banyak sisi dalam mencari kunci jawaban masalah yang dihadapi (Kalau begini bagaimana ya? Atau kalau begitu bagaimana ya jadinya? Kalau dibuat seperti ini, bagaimana jadinya dan bagaimana mengantisipasi kemungkinan lain yang terjadi ya? Kalau mereka tidak setuju dengan usul saya ini, alternatif lain bagaimana yang bagus saya kemukakan pada mereka ya? Dari banyak alternatif ini, mana yang terbaik dan pantas dikemukakan?).

Untuk membangkitkan atau motivasi penggunaan metode belajar, maka dilakukan dengan cara merangsang daya nalar untuk mengorganisir pola pikir dengan memokuskan perhatian pada:

  1. Apa yang akan dipelajari,
  2. Untuk apa mempelajari materi pelajaran tersebut,
  3. Apa hubungan materi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari (manfaat mempelajari dan apa yang dapat kita lakukan dengan pengetahuan tersebut),
  4. Bagaimana cara mempelajarinya,
  5. Kemudian, bangkitkan faktor intelektual-emosional dengan mengembangkan dan membiasakan “berimajinasi dalam berpikir”. Maksudnya, subjek belajar membiasakan untuk menjelajah dengan berusaha membayangkan gambaran bentuk yang dipelajari. Kemudian pikirkan unsur-unsur penting yang membentuk gambaran tersebut. Dengan demikian subjek belajar akan digiring pada pola belajar aktif dan kreatif. By Hendra Surya (Penulis buku: Menjadi Manusia Pembelajar)

UPAYA MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN NASIONAL

Kalau kita merujuk atau mengikuti reportasi pendidikan media cetak sungguh membuat hati menjadi miris dan menyesakkan dada. Bayangkan berita tersebut selalu menyudutkan, mutu pendidikan Indonesia sangat rendah. Dari hasil laporan penelitian International Education Achieviement (IEA), menyatakan kemampuan membaca untuk tingkat SD saja Indonesia terpuruk dalam urutan 38 dari 39 peserta studi. Sedangkan kemampuan daya serap matematika siswa SLTP kita masuk urutan ke 39 dari 42 negara peserta. Begitu juga untuk kemampuan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Indonesia masuk ke dalam urutan 40 dari 42 negara peserta. Laporan ini mengindikasikan secara umum kemampuan daya serap siswa kita sangat lemah.

Apalagi, kalau kita mau melongok praktek pembelajaran di kelas sungguh memprihatinkan. Coba bayangkan, dalam praktek proses pembelajaran di kelas terlihat persentasi anak yang menguasai materi pembelajaran sangat kecil sekali. Kalau boleh dibilang anak mampu melakukan proses pembelajaran dengan benar hanya 10-20 % saja. Itu pun siswa yang dikategorikan anak pintar atau anak cerdas saja. Apalagi, kalau SDM gurunya sangat rendah, bagaimana pula output yang dihasilkannya?

Secara umum, jika kita telaah lebih lanjut masalah rendahnya kemampuan daya serap siswa, ternyata sebahagian besar bersumber dari masalah internal dari siswa itu sendiri. Hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan R.L. Mooney dan Mary Alice Price di Amerika, menyatakan ada 2 kesukaran yang paling menonjol atau paling banyak dialami pelajar, yaitu:

1. Tidak tahu bagaimana cara belajar yang efektif (don’t know how to study efektively)

2. Tidak dapat memusatkan perhatian dengan baik (unable to concentrate will).

Selama ini, dalam praktek pengajaran selalu saja timbul kegamangan dan dilematis. Kesalahan atau ketidakefektifan pemilihan metoda pengajaran oleh guru tentu berdampak signifikan terhadap pola belajar siswa kita. Metoda pengajaran yang tidak memberi peluang partisipasi aktif siswa secara optimal tentu memberi out put yang rendah dan tidak berkualitas pula. Kondisi belajar seperti ini menyebabkan siswa kita terperangkap pada metoda belajar klasik dalam menjalankan aktivitas belajarnya, yaitu terpaku pada metoda belajar menghafal. Padahal, metoda klasik tersebut hanya membuat siswa hanya pintar membeo dan tataran pengetahuan yang diperolehpun sangat dangkal, yaitu ingatan belaka. Pada anak mudah sekali kehilangan gairah belajar. Apalagi anak dihadapkan pada beban materi pelajaran yang didrillkan itu terlalu sarat. Hal ini membuat anak terbelenggu dan kehilangan kebebasan untuk belajar. Anak senantiasa mudah sekali dihinggapi oleh rasa jemu dan rasa bosan dalam belajar. Kemampuan konsentrasi belajar anak pun hanya mampu bertahan antara 10-20 menit saja setiap mengikuti satu mata pelajaran.

Ketidak mampuan anak membangun intensitas konsentrasi belajar ini, sehingga bagaimana mungkin anak mampu menguasai materi pelajaran secara utuh. Dengan demikian bagaimana anak mampu mengoperasionalkan ilmu pengetahuan yang dihadapkan padanya. Hal seperti ini membuat wajar, jika mutu produk pendidikan kita sangat rendah. Harapan untuk membentuk kompetensi siswa pun seperti panggang jauh dari api.

Faktor kesulitan yang terbesar yang dihadapi setiap guru di negeri ini adalah bagaimana menyiapkan siswa untuk melakukan proses pembelajarannya dalam arti belajar dengan benar dan sungguh-sungguh. Mengingat jumlah siswa yang dihadapi cukup besar, alokasi waktu pembelajaran terbatas dan sarana/prasarana pun cukup terbatas. Sehingga sangat sulit menciptakan partisipasi siswa secara aktif seluruh siswa untuk melakukan pembelajaran. Secara ideal proses belajar itu dapat dikatakan terjadi, apabila ada proses penggalangan aktivitas keterlibatan intelektual-emosional seluruh siswa dalam belajar. Guru diharapkan mampu mendesain materi pelajaran, sehingga mempunyai daya tarik atau daya magis yang menggairahkan dan menimbulkan antusias siswa untuk mempelajari pelajaran lebih lanjut, misalnya menyiapkan alat peraga yang menarik.

Oleh karena itu, sebagai konstribusi yang perlu diperhitungkan dan harus ada adalah sebuah panduan metodologi belajar bagi siswa. Selama ini dirasakan belum adanya panduan yang riil untuk membantu siswa mengetahui bagaimana belajar itu harus dilakukan. Bagaimana cara-cara merespon stimulus yang dihadapkan padanya, merencanakan belajar dan sistematis belajar, baik belajar dalam bimbingan guru maupun belajar mandiri. Bagaimana anak membangun proses penalaran, sikapnya dan psikomotornya.

Kalau kita merujuk pada visi pendidikan yang dirumuskan UNESCO dapat diketahui, bahwa pendidikan adalah mendidik anak untuk belajar berpikir, belajar hidup, belajar menjadi diri sendiri, belajar untuk belajar hidup. Hal ini menunjukkan subjek didik menyadari proses pendidikan berarti belajar mengendalikan, mengarahkan, menggerakkan dan menyetir pikiran, sikap maupun psycho motornya untuk mencapai tujuan tertentu atau menjadi tertentu. Anak belajar tidak hanya mengetahui sebuah informasi saja, namun mengetahui makna mengapanya dan bagaimananya sesuatu yang dipelajari, sehingga kompetensi anakpun terbangun sebagaimana yang dikehendaki.

Untuk dapat mengorganisir jalan pikiran, mengendalikan pikiran, mengarahkan pikiran, sikap dan psikomotor dengan baik dalam belajar, siswa mutlak membutuhkan metodologi belajar yang efektif. Metodologi belajar tersebut menjadi “alat” atau “kail” yang mengatur dan mengorganisir step by step jalan pikiran yang digunakan untuk menangkap, mengamati, mencerna, menginterpretasikan, menafsirkan, merangkai dan menyimpulkan ilmu pengetahuan dengan baik. Dengan kata lain, anak dengan alat tersebut dapat mengerti apa yang dipelajarinya, mengetahui bagaimana mempelajarinya dan mampu mengoperasionalkan ilmu yang diperolehnya.

Tentu kita semua mengharapkan siswa memiliki metode belajar yang efektif sebagai panduan pengarahan fokus pemikiran, sikap dan psycho motornya dalam belajar untuk mengurai dan menjelaskan atas objek yang dipelajari. Dengan alat tersebut siswa mampu menangkap dan memahami bentuk bentuk operasional yang menghubungkan antarunsur atau bagian yang dipelajari secara menyeluruh membentuk sebuah pengertian atau maksud. Dengan metode tersebut membantu menjembatani komunikasi timbal-balik antara siswa dengan pemberi stimulus belajar (guru). Pada diri siswa pun terus terpacu untuk membangun jalan pikirannya untuk menjadi atau menguasai sesuatu hingga tuntas. Dan yang lebih essensial lagi pada siswa sadar akan dirinya yang belajar, sehingga belajar dilakukan dengan penuh larutan kegembiraan untuk belajar.

Demikianlah sumbang-saran ini disampaikan dengan maksud sebagai bahan masukan pemikiran begitu “urgen”nya sebuah panduan metodologi belajar bagi siswa dalam meningkatkan prestasi dan mutu pendidikan di Indonesia. Semoga, MENDIKNAS yang baru mau memikirkan, menyusun dan menggerakkan pengembangan metodologi belajar bagi siswa sekolah di Indonesia. Untuk memperkenalkan dan melatih metodologi belajar yang efektif ini pada siswa dapat dilakukan secara intensif dan terprogram oleh guru bimbingan dan konseling di sekolah. Hendra Surya (Penulis buku: Menjadi Manusia Pembelajar)

Alamat : Jl. Al Abbasiyah 69B, Utan Jaya RT5/4, Kel. Pondok Jaya, Kec. Pancoranmas, Depok 16431

Telepon: 085281085906 - 02187982716

E-mail: hendra.surya@ymail.com, hendrasuryaw@gmail.com,Website: http://hendrasurya.blogspot.com

Rahasia Sang Maestro Cilik


Al kisah Hendi Bakti (11 tahun) seorang anak yatim dan miskin. Hendi ini sejak kecil menderita gagap. Karena gagapnya itu ia selalu jadi bahan olok-olokan temannya di sekolah maupun teman satu lingkungannya yang dikomando oleh Hartono dan Tommy (11 tahun). Pendek kata, tidak ada seorang pun yang mau bersahabat dengan dirinya. Kemana pun ia pergi selalu mendapat cecaran hinaan. Dia selalu dikucilkan dan dijauhi.

Ibunyapun (37 tahun) yang sudah terlalu letih mencari sesuap nasi tak luput dari cecaran hinaan karena Hendi itu, hingga ibunya menangis batin melihat anak sulungnya itu selalu mendapat hinaan, bahkan pukulan. Akhirnya ia melarang Hendi pergi bermain-main sepulang sekolah.

Untuk melepas kerinduan bermain, Hendi membuat rumah pohon di atas pohon jambu monyet di belakang rumahnya. Di dalam pertapaan rumah pohonnya itu, petuah Ibu Guru Erika (35 tahun) semakin matang dengan timbulnya ide untuk mengisi waktu luangnya dengan membuat lukisan tempurung kelapa. Ternyata idenya itu didukung oleh Kakek Hendi (60 tahun).

Lukisan tempurung kelapa yang dibuat Hendi itu ternyata mampu menyihir dan menarik minat Ibu Sulastri (40 tahun), seorang Pembina Dewan Kerajinan Nasional. Beliau menganjurkan pada Hendi untuk mengembangkan dan memproduksi lukisan itu untuk dipasarkan di Manca Negara. Beliau pun jadi managernya Hendi.

Kemahiran Hendi itu membawa cahaya yang mampu menarik perhatian banyak pihak dan Walikota (50 tahun) dan membuat para musuhnya bertekuk lutut. Hendi pun menakhlukkan kebencian dan sikap permusuhan dengan ilmu cinta kasih. Hendi yang dibenci dan dikucilkan itu mendadak berubah dikagumi dan diidolakan. Kedekatannya dengan Wanty Ati (11 tahun) memberi jalan bagi Hendi untuk mencari cara mengatasi gagapnya.

Bukan itu saja, Hendi sang maestro cilik ini mampu memberdayakan anak-anak putus sekolah dan pengangguran di kelurahannya. Hendi pun dengan lukisannya mampu memberikan hasil tambahan bagi banyak keluarga.

Perilaku inovatif dan kreatif Hendi mengantarkan dirinya memperoleh predikat siswa mandiri dan swakarya. Hendi pun mampu mengantarkan kelurahannya memperoleh penghargaan Kelurahan Teladan. Dirinyapun mendapat mustika prestasinya dengan penghargaan Upakarti. Ternyata, cacat atau kekurangannya bukan akhir dari segala-galanya…