Selasa, 21 Juli 2009

SEKOLAH PANIK MENGHADAPI UN?


Mengapa Ujian Nasional selalu menjadi momok yang menakutkan di negeri ini? Masalah UN selalu saja menjadi perdebatan pro-kontra yang tak habis-habisnya. Apalagi dewasa ini, untuk meningkatkan kualitas Pendidikan Nasional, pemerintah terus berupaya menaikkan angka standar kelulusan UN. Saat ini, angka standar kelulusan UN adalah 4,25. Reaksinya, kita dapat melihat kekuatiran yang langsung terjadi di kalangan orang tua yang anaknya akan menghadapi UN. Sementara, siswa dicekam ketakutan, sehingga mempengaruhi kemampuannya belajar. Namun ironinya, sekolah sebagai ujung tombak penyelenggara pendidikan yang diharapkan mampu mempersiapkan siswa-siswanya menghadapi UN juga panik. Sekolah takut banyak peserta didiknya tidak lulus UN.
Kepanikan sekolah menghadapi UN, tentu disikapi oleh kalangan yang kontra diselenggarakannya sistem UN di Indonesia dengan alasan beragam. Ada yang beralasan sistem UN tak layak diberlakukan di Indonesia karena tidak sesuai dengan kemampuan dan kataristik masing-masing daerah atau sekolah, sehingga tak layak untuk diberlakukan sama-rata satu sama lain. Ada yang menganggap kebijakan ini telah merampas hak guru sebagai pelaksana ujian, bukan pemerintah sebagaimana yang diamanatkan UU Sisdiknas. Ada yang melihat pertama, kualitas manejemen sekolah yang tidak menerapkan budaya mutu. Kedua, di mana etos belajar siswa yang rendah sebagai dampak pemberlakukan ebtanas yang lalu dan memungkinkan sekolah meluluskan seluruh peserta didik (100%). Ketiga, orang tua yang cuci tangan terhadap pendidikan anaknya, karena merasa telah membayar seluruh biaya pendidikan. Padahal, pendidikan dalam keluarga merupakan basis utama dalam melahirkan dan membentuk anak yang cerdas.
Hal lain, UN tidak sejalan dengan pengimplementasian manajemen berbasis sekolah (MBS) atau manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS). Sebab, inti penilai hasil belajar siswa juga tidak dapat dipisahkan dari pengelolaan kurikulum dan belajar-mengajar di sekolah. Padahal, dalam kerangka MPMPS ini terdapat Sembilan aspek yang dapat digarap oleh sekolah. Kesembilan aspek itu adalah (1) perencanaan dan evaluasi program sekolah, (2) pengelolaan kurikulum, (3) pengelolaan proses belajar-mengajar, (4) pengelolaan ketenagaan, (5) pengelolaan peralatan dan perlengkapan, (6) pengelolaan keuangan, (7) pelayanan siswa, (8) hubungan sekolah dan masyarakat, (9) pengelolaan iklim sekolah.
Sementara, kepanikan sekolah dapat dilihat, ada kepala sekolah mengambil kebijakan dengan mengintensifkan seluruh waktu belajar di sekolah untuk mata pelajaran yang di-UN-kan saja pada semester 6 dengan menghilangkan pembelajaran mata pelajaran yang tidak di-UN-kan. Di samping itu, kepanikan sekolah ada yang mendatangkan pelatih bimbingan belajar dari luar sekolah. Hal ini, tentu dinilai sangat melecehkan kemampuan guru sekolah yang bersangkutan. “Masalahnya anak didik dipaksa belajar keras dalam waktu singkat hanya dalam rangka lulus UN.” Bimbel juga menambah beban orang tua siswa karena ada pungutan tambahan. Sementara, siswa miskin semakin termarginalkan.
Terlepas pro-kontra pelaksanaan UN oleh pemerintah, namun suatu hal yang mutlak harus dilakukan adalah upaya meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan pendidikan di sekolah. Untuk meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan pendidikan di sekolah, maka setiap sekolah harus memiliki tim pengembangan dan kaji mutu di bawah bidang kurikulum sekolah. Juga, perlu diberdayakan etos belajar siswa secara intensif.
Tim pengembangan dan kaji mutu ini harus berisikan tenaga yang memiliki integritas, visi dan misi sebagai agen perubahan meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan pendidikan di sekolah. Sebab, tak dapat dipungkiri ada kecenderungan di kalangan guru di setiap sekolah yang anti perubahan dengan alasan beragam. Sebab, seperti yang pernah diucapkan Prof. Suyanto PH.D, sebenarnya semua orang termasuk guru pada hakekatnya tidak suka berubah tanpa ada upaya yang nyata dari para inovator untuk mengubahnya. Keadaan umum ini juga pernah diingatkan oleh Jack Welch, seorang Chief Executive Officer perusahaan raksasa kelas dunia General Electric yang digambarkan dalam kalimat: “Change has no constituency. People like status quo. The like the way it was.” Oleh karena itu, untuk suksesnya peningkatan mutu dan pelayanan pendidikan di sekolah perlu agen perubahan yang mampu mengajak para guru untuk berubah, mau mengadopsi inovasi ke dalam praktik pembelajaran yang menjadi tanggung-jawabnya.
Tugas-tugas tim pengembangan dan kaji mutu di sekolah meliputi di antaranya: (1) Menyusun program pengembangan kurikulum. Guru tidak boleh terpaku pada kurikulum dan harus mau mencari inovasi dalam meramu materi dan menciptakan metoda pembelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan. Sebab, dalam proses pendidikan yang penting metoda dan materi pembelajaran. Kurikulum itu jangan dijadikan sesuatu yang mutlak. Guru harus menafsirkan dengan sesuatu yang baru dan kreatif. (2) Mengkaji dan mempersiapkan model pembelajaran baru. Tim harus mampu mempersiapkan dan mengadakan pelatihan yang dirancang bersama, seperti: pembuatan satuan pelajaran, evaluasi, alat bantu dan pola interaksi pembelajaran yang efektif dengan siswa. Bila perlu mendatangkan para trainer professional untuk melatih para guru atau mengajukan usulan pada Dinas Pendidikan untuk mengadakan pelatihan.
Hal yang tak kalah penting, yaitu menciptakan etos belajar siswa yang efektif. Sebab, selama ini etos belajar siswa terabaikan dan tidak menjadi fokus perhatian. Sebahagian besar siswa terjebak dalam pola belajar menghafal. Padahal, metoda menghafal hanya membuat siswa hanya pintar membeo dan pengetahuan yang diperolehnya sangat dangkal, yaitu ingatan belaka. Pada siswa terlihat mudah sekali kehilangan gairah belajar. Apalagi, siswa dihadapkan pada beban materi pelajaran yang didrillkan itu terlalu sarat. Hal ini membuat siswa kehilangan kebebasan untuk belajar, mudah sekali dihinggapi oleh rasa jemu dan bosan dalam belajar. Kemampuan konsentrasi siswa pun hanya mampu bertahan antara 10-15 menit saja setiap mengikuti satu mata pelajaran.
Ketidakmampuan siswa membangun intensitas konsentrasi belajar ini, sehingga bagaimana mungkin siswa mampu menguasai materi pelajaran secara utuh dan bagaimana siswa mampu mengoperasionalkan keilmuannya. Hal seperti ini wajar, jika mutu produk pendidikan sangat rendah. Harapan untuk membentuk kompetensi siswapun seperti panggang jauh dari api.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan etos belajar siswa mutlak dibutuhkan sadar metode belajar. Kalau kita merujuk pada visi pendidikan yang dirumuskan UNESCO dapat diketahui, bahwa pendidikan adalah mendidik anak untuk belajar berpikir, belajar hidup, belajar menjadi diri sendiri, belajar untuk belajar hidup. Hal ini menunjukkan subjek didik menyadari proses pendidikan berarti belajar mengendalikan, mengarahkan, menggerakkan dan menyetir pikiran, sikap maupun psycho motornya untuk mencapai tujuan tertentu atau menjadi tertentu. Anak belajar tidak hanya mengetahui sebuah informasi saja, namun mengetahui makna mengapanya dan bagaimananya sesuatu yang dipelajari, sehingga kompetensi anakpun terbangun sebagaimana yang dikehendaki.
Tentu kita semua mengharapkan siswa memiliki metode belajar yang efektif sebagai panduan pengarahan fokus pemikiran, sikap dan psycho motornya dalam belajar untuk mengurai dan menjelaskan atas objek yang dipelajari. Dengan alat tersebut siswa mampu menangkap dan memahami bentuk bentuk operasional yang menghubungkan antarunsur atau bagian yang dipelajari secara menyeluruh membentuk sebuah pengertian atau maksud. Dengan metode tersebut membantu menjembatani komunikasi timbal-balik antara siswa dengan pemberi stimulus belajar (guru). Pada diri siswa pun terus terpacu untuk membangun jalan pikirannya untuk menjadi atau menguasai sesuatu hingga tuntas. Dan yang lebih essensial lagi pada siswa sadar akan dirinya yang belajar, sehingga belajar dilakukan dengan penuh larutan kegembiraan untuk belajar.
Untuk memperkenalkan dan melatih metode belajar yang efektif ini pada siswa dapat dilakukan secara intensif dan terprogram oleh guru bimbingan dan konseling di sekolah atau para orang tua yang peduli terhadap perkembangan pendidikan anaknya di rumah. Oleh: Hendra Surya.

Sabtu, 18 Juli 2009

BIMBEL MEMBUAT CERDAS ATAU PEMBODOHAN?

Benarkah kredibilitas sekolah di Indonesia sudah merosot tajam dan tak mampu mencetak siswa berkualitas? Sebaliknya, bimbingan belajar (bimbel) menjamur dan begitu populer, bak seperti tumbuhnya cendawan di musim hujan. Momen Ujian Nasional pun menjadi tolak ukur dan ajang persaingan antara bimbel dan sekolah dalam mencetak siswa berprestasi. Apalagi, setiap tahun ajaran baru atau bagi rapor merupakan momen yang memiriskan hati, sebab bimbingan belajar begitu menonjol bersaing memikat hati para wali siswa dan siswa. Di depan gerbang sekolah kita dapat menemukan begitu gencarnya agen bimbingan belajar menyebarkan brosur yang memikat dan menjanjikan kualitas pembelajaran dan output berprestasi. Bahkan ironinya, tidak sedikit para oknum di sekolah bekerja sama dan menjadi agen bimbingan belajar.

Namun, bukankah menjamurnya bimbel ini merupakan tamparan keras bagi pemerintah dan sekolah yang tak mampu memberikan jaminan pelayanan pendidikan yang berkualitas? Atau, memang kehadiran bimbel sangat dibutuhkan untuk mengalihkan tanggungjawab dan meringankan tugas yang seharusnya diemban pemerintah dan sekolah?! Tapi sebaliknya yang perlu jadi pemikiran, apa kehadiran bimbel tidak mendorong proses pembodohan?!

Kalau kita melihat daya tarik bimbel melalui brosur yang disodorkan agen bimbel tentunya sungguh memikat hati. Coba bayangkan, bimbel mampu memberikan janji pelayanan dengan metoda pembelajaran yang up to date. Di mana metoda pembelajaran yang diberikan lebih menjanjikan bagaimana siswa dapat belajar efektif, smart dan penerapan strategi belajar cepat. Bukan itu saja, ada paket pendamping belajar siswa dengan memberi pelayanan konseling dan pemecahan masalah siswa. Di samping itu, pembelajaran didukung dengan fasilitas lengkap yang merangsang siswa belajar asyik. Terbayang, siswa masuk bimbel sudah terarah pada target belajar yang jelas hendak didapat siswa.

Yang membuat tumbuh suburnya bimbel adalah adanya kegalauan para wali siswa maupun siswa terhadap pelayanan sekolah. Sekolah dianggap tidak mampu memberi bekal secara teknis keilmuan maupun kesiapan mental siswa menghadapi UN maupun ujian masuk PT.

Para siswa merasa bimbel merupakan pilihan alternatif yang dianggap mampu memberi bahan praktis up to date khusus untuk menghadapi UN atau Ujian Masuk PT. Mereka mendapat informasi dan bahan tentang soal-soal yang pernah keluar, tehnik praktis mengerjakan soal serta diberi materi yang dianalisis bakal keluar. Yang lebih menggiurkan bimbel dapat menyajikan data kakak kelas siswa yang berhasil masuk PT favorit. Pendek kata, siswa melalui bimbel mendapat bekal mental, materi, teknik dan keterampilan fisik untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Kegalauan siswa ini, membuat mereka berani mengeluarkan biaya berapapun agar dapat pelatihan dan informasi yang bermutu. Bagi wali siswa mengeluarkan biaya tinggi untuk bimbel dianggap sebagai sebuah investasi untuk keberhasilan anak menjadi mahasiswa di PT terfavorit.

Kegalauan para wali siswa maupun siswa ini disambut oleh para penyelenggara bimbingan belajar (bimbel) sebagai suatu peluang emas. Penyelenggara, ada yang tergerak mendirikan bimbel dengan alasan konseptual, yaitu merasa tergerak untuk terlibat dalam menyelesaikan persoalan peningkatan kualitas Pendidikan Nasional. Ada yang beranggapan ingin menjembatani antara SMTA dengan PT. Namun kalau diperhatikan lebih banyak dengan alasan realitis pragmatis, bahwa mereka butuh mata pencaharian untuk mendapatkan uang dan perlu menciptakan lapangan kerja bagi yang mempunyai kemampuan mengajar.

Kalau kita melongok bagaimana praktik pendidikan di sekolah, ternyata sebahagian besar masih terlihat kurang mengembangkan kompetensi siswa. Kecuali, hanya menghafalkan pengetahuan yang sudah jadi. Guru sangat terpaku pada kurikulum tanpa mau mencari inovasi-inovasi dalam meramu materi dan menciptakan metoda pembelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan. Padahal, Dalam proses pendidikan yang penting metoda dan materi pembelajaran. Kurikulum itu jangan dijadikan sesuatu yang mutlak. Guru harus menafsirkan dengan sesuatu yang baru dan kreatif.

Seorang guru itu hendaknya kreatif menciptakan berbagai model pembelajaran yang diyakini memiliki dampak positif terhadap hasil belajar siswa. Misalnya: menciptakan alat pembelajaran yang sangat efektif bagi terciptanya pembelajaran aktif, kreatif dan menyenangkan. Namun, realita pola pendidikan yang diterapkan tidak melahirkan unjuk kerja siswa secara bermakna. Siswa banyak tahu informasi, tetapi siswa tidak mampu mengoperasionalkan tahunya tersebut.

Perbedaan antara harapan dan realita di atas, maka tak heran kemampuan sekolah sangat diragukan dalam memberi pelayanan yang berkualitas, sehingga bimbel menjadi pilihan alternatif untuk memenuhi harapan wali siswa maupun siswa.

Namun yang perlu dikaji lebih mendalam, apakah bimbel tidak menyebabkan proses pembodohan?

Hal yang perlu menjadi pemikiran, siswa bukan robot yang mempunyai kemampuan prima untuk belajar sepanjang waktu. Siswa itu manusia biasa yang mempunyai keterbatasan fisik dan mental. Coba bayangkan, siswa mengikuti proses pembelajaran di sekolah antara pukul 7 sampai pukul 15 siang. Belum lagi diperhitungkan waktu tempuh pergi dan pulang sekolah. Tentunya, siswa mengalami keletihan secara fisik dan mental setelah menjalani proses pembelajaran dan plus waktu tempuh pergi/pulang sekolah + 8-10 jam sehari. Kemudian, siswa diharuskan mengikuti bimbel antara 2-4 jam, mengerjakan PR sekolah dan persiapan belajar untuk ke esok harinya.

Tentu kita memahami, seseorang yang sedang mengalami keletihan fisik dan mental, maka kemampuan bernalar dan tenaga pun menjadi drop. Dengan demikian, bagaimana siswa mampu menguasai materi pelajaran secara maksimal. Bisa jadi, siswa terjebak dan kewalahan mengatur waktu dan jadwal belajarnya. Alhasil, siswa mengalami kesulitan belajar di sekolah dan tak mampu menyerap materi pembelajaran di bimbel.

Hal lain yang kerapkali muncul, siswa mengalami kebingungan menentukan prioritas belajar, sehingga tidak sedikit siswa yang masuk bimbel menjadi menyepelekan pelajaran sekolah maupun gurunya di sekolah.

Dan yang juga perlu dikaji, sistem pembelajaran bimbel yang lebih menekankan pen-drill-an penyelesaian soal dalam menghadapi ujian itu apa sudah menjamin siswa memiliki kemampuan standar keilmuan dalam mengoperasionalkan keilmuannya. Kalau ditelaah siswa yang berhasil mengikuti bimbel, ternyata siswa tersebut di sekolah juga termasuk siswa yang punya kemampuan menonjol dan berprestasi. Siswa yang di sekolah termasuk siswa yang menonjol, maka setelah mengikuti bimbel tentunya menjadi lebih pintar.

Pengkajian dampak negatif bimbel perlu menjadi pemikiran kita bersama dan pembuat kebijakan pendidikan untuk lebih meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan di sekolah. Pemerintah berkewajiban untuk mengajak para guru untuk berubah mau mengadopsi inovasi ke dalam praktik pembelajaran yang menjadi tanggung jawabnya.

Konsekwensinya, guru harus dilatih bagaimana mempersiapkan semua model pendekatan baru dalam implemetasi praktik pembelajaran. Seperti: pembuatan satuan pembelajaran, evaluasi, alat bantu, perubahan filosofi, pergeseran paradigma interaksi pembelajaran dengan siswa dan sebagainya. Tanpa ada perubahan yang baik dilihat dari aspek profesionalisme guru, sulit dibayangkan akan terjadinya keberhasilan praktik pembelajaran. Begitu juga, leadership kepala sekolah juga perlu memberi dukungan terhadap perubahan di sekolah.

Minggu, 05 Juli 2009

Gaya Bookish Jatuh Cinta


-->
Bagi Ridho meraih prestasi hal biasa, tapi mengalami jatuh cinta merupakan hal luar biasa. Bookish satu ini gitu terkesima pada Wulan. Dia berangan, Wulan ini jadi kekasihnya. Masalahnya, untuk pedekate aja, bookish satu ini kayak mau Ujian Nasional aja. Dia sibuk amat mempersiapkan jurus-jurus asmaranya dari buku pintar.
Tapi Ridho ketemu batunya, ternyata cewek yang didekatinya itu sudah malang melintang di dunia percowokan. Makanya, ketika cowok lugu ini masang aksi, dia pun ingin mempermainkan Ridho.
Lebih serunya, usaha Ridho mendekati Wulan mendapat tentangan habis temannya sendiri, yaitu: Dina, Ellin, Magda, Heru, Rambe dan Toro. Mereka merasa tak rela kalau Ridho jatuh ke dalam pelukan cewek yang mereka anggap nggak bener. Berbagai cara mereka lakukan untuk menggagalkan usaha Ridho. Ridho jadi kalang-kabut dan reputasinya pun dipertaruhkannya di Kampus.
Masalahnya tambah rumit karena Ello, pacarnya Wulan terdahulu gak rela melepaskan Wulan. Makanya, dia dan ganknya berusaha keras menjauhkan Wulan dari Ridho. Ridho pun nggak mau tinggal diam. Lagi-lagi dia mempersiapkan jurus pamungkasnya dari buku pintar.
Berhasilkah Ridho mengatasi rintangannya? Dan bagaimana sikap Ridho setelah mengetahui siapa sebenarnya Wulan? Nah, jawabannya jangan anda lewatkan membaca novel ini. Kocak dan seru banget deh!!!